Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9 Dicecar Oleh Orang Tua

Bab 9 Dicecar Oleh Orang Tua

Setelah melihat tubuh Maharani hilang di balik pintu gerbang rumahnya itu, Aarav segera menyalakan mesin mobilnya dan menancapkan pedal gas meninggalkan kawasan perumahan itu.

Saat ia sampai di rumahnya, jam menunjukkan pukul 11 malam, ia berpikir pasti orangtua sudah tertidur jadi ia memutuskan untuk langsung menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua.

Setelah menyalakan lampu di kamarnya itu, ia membuka kemejanya dan masuk ke dalam kamar mandi yang ada di kamarnya itu. Aarav keluar dari kamar mandi, setelah memakaikan bath-robe pada tubuhnya. Sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk ia berjalan menuju kasurnya dan duduk di pinggirnya.

Di tengah-tengah kegiatan mengeringkan rambutnya itu, ia tiba-tiba teringat peristiwa-peristiwa yang dialaminya hari ini. Mulai dari Maharani yang mengaku hamil di depan wartawan, kemudian ia jadi headline berita, ia yang harus membawa Maharani ke rumahnya ini, perbincangan pada makan malam tadi, dan yang lainnya. “Hari yang berat,” ucapnya sambil menjatuhkan tubuhnya ke kasur dan memejamkan kedua matanya.

Saat ia memejamkan matanya, dalam pikirannya itu terputar berbagai macam ekspresi Maharani yang ia lihat hari ini. Wajah tenang saat gadis itu sedang tertidur, saat bangun tidur, saat gugup, saat cemberut, saat merajuk, dan juga saat gadis itu tersenyum. Aarav tersenyum dan tanpa sadar berucap, “ Manis.”

Tak lama kemudian ia tersadar dan membuka matanya, ‘Barusan aku ngomong apa? Manis? Ke gadis labil kayak dia? Tidak mungkin?!” batinnya.

Ia bangun dari duduknya dan segera menuju lemari baju, mengambil piyama tidurnya, dan memakainya.

Setelah piyama tersebut sudah melekat di tubuhnya, ia mematikan lampu di kamarnya dan berjalan menuju tempat tidurnya. Beberapa menit kemudian ia terlelap.

Di sisi lain, setelah Maharani masuk ke dalam rumahnya, ia langsung disambut oleh rentetan pertanyaan dari orang tuanya, terutama ibunya, Andini.

“Ya ampun, Nak ... kamu dari mana saja baru pulang jam segini? Pergi ke mana kamu? Kenapa ponsel kamu tidak bisa dihubungi? Dan itu, berita yang di tv, benar itu kamu? Kenapa—”

Mendengar pertanyaan dari ibunya yang tidak ada hentinya itu, Maharani menghelakan napasnya dan segera memotong perkataan ibunya, “ Bu, boleh tidak interogasinya dilanjut besok saja? Badan Rani rasanya lengket dan pegal sekali. Rani ingin segera mandi dan tidur, Bu.”

“Intinya Rani tidak sedang hamil Bu. Rani tidak bisa dihubungi karena ponsel Rani tidak sengaja ke mode silent, jadi suara telepon Ibu, tidak Rani dengar. Untuk penjelasan lebih jelasnya, besok Rani jelaskan.”

“ T—tapi…” ucap Andini setengah hati.

Abimanyu, ayah Maharani merangkul istrinya dan berkata, “ Sudah Bu… kasihan Rani terlihat lelah begitu. Ini pun sudah sangat malam, kita bisa membicarakan ini besok.”

Akhirnya Andini mengalah dan setelah itu masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Abimanyu dan Maharani.

“Terima kasih Bapak,” ucapnya sambil tersenyum ke arah Abimanyu.

Setelah itu Abimanyu menyusul istrinya masuk ke dalam kamar meninggalkan Maharani.

Maharani menuju kamarnya, dan segera membersihkan tubuhnya yang sudah sangat lengket.

Setelah mandi dan memakai baju piyama kesukaannya, ia berbaring di atas kasurnya sambil memandang langit-langit kamarnya yang ditempel stiker-stiker bentuk bintang yang akan bersinar jika lampu kamarnya dimatikan.

Stiker-stiker itu sudah terpasang semenjak ia kelas 5 SD dan harus tidur sendiri, sejak kecil ia selalu takut jika ia berada di ruangan yang benar-benar gelap tanpa ada cahaya, atau lebih diketahui sebagai nyctophobia.

Setelah melihat langit-langit kamarnya cukup lama, ia mengingat kembali kejadian di mobil tadi, tanpa sadar senyum tercetak di wajah cantiknya itu. “Jutek begitu aku semakin suka,” ucapnya.

Ya benar, Maharani menyukai Aarav. Maharani menyukai Aarav sejak Aarav menghampirinya pada malam tepat Devon, mantan pacarnya yang bejat itu memutuskannya sepihak dan ditambah pada saat yang sama ibunya mengirimkan pesan bahwa besok ia akan dijodohkan dengan laki-laki berdarah Jawa yang dipilihkan orang tuanya. Tentu saja kedua orang tua nya tidak tahu kalo anak gadisnya itu berpacaran, selama satu setengah tahun Maharani dan Devon menjalani hubungan secara diam-diam.

Setelah Aarav meninggalkannya malam itu, di jalan pulang ia terus memikirkan cara agar perjodohannya dibatalkan, entah setan darimana ide untuk menikah dengan Aarav muncul di otaknya. Awalnya ia ingin membicarakannya secara baik-baik kepada Aarav, lebih seperti negosiasi. Saat dihari esoknya ia sedang dalam perjalanan ke restoran Mozzafiato, ia menyadari pasti ia akan langsung ditolak. Melihat banyak wartawan di depan restoran itu setibay di sana ide gila tersebut muncul dalam pikirannya, dan terjadilah ini semua.

“Aduh aku kok sepertinya jahat banget ya. Tapi, mau bagaimana lagi, tidak ada orang yang aku suka lagi selain laki-laki itu,” ucap Maharani setelah dia mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang ia alami akhir-akhir ini.

Tiba-tiba Maharani mengingat sesuatu, kemudian bangun dari posisi berbaringnya dan mengecek ponselnya.

“Oiya! Tadi kan, tukeran nomor telepon. Lupa aku save,” ucapnya.

“Hmm…aku save dengan nama apa ya? Om? Tua banget! No... no... Kakak? Ih! Kemudaan banget gak cocok! Mas? Mas Aarav? AAK MANIS BGT DEH! Seperti sudah nikah saja,” ucapnya sambil tersenyum salah tingkah.

“Sudah fix mas Aarav saja deh! Ternyata aku pede sekali ya, bakal jadi nikah sama dia, eh tapi tidak apa-apa deh, omongan itu kan doa!” tambahnya sambil menulis nama kontak Aarav di ponselnya.

Setelah menyimpan nomor Aarav di ponselnya, Maharani kembali berbaring di kasurnya sambil melihat nama kontak Aarav, “ Bagaimana ya nanti jadinya kalau aku jadi istrinya? Mas Aarav kan, cool dingin begitu sifatnya, biasanya kalau laki-laki dingin sama perempuan artinya cinta, eh tapi kan dia tidak mencintaiku, eh! Lebih tepatnya belom deh! Ya sudah, nanti aku buat dia cinta sama aku, pasti beruntung banget kalau dia jadi tergila-gila padaku, serasa jadi wanita paling bahagia!” ucapnya dengan rasa percaya diri tinggi.

“Oiya, kalau diingat-ingat lagi, tante Kanaya baik banget. Di terus rangkul aku sampai di meja makan Terus kak Naura, dia juga baik banget! Dia peka kalau aku canggung. Huh, kalau tadi tidak ada mereka tidak tahu lagi deh aku jadi apa. Mati kutu sepertinya. Huah! Pokoknya aku bakal bahagia banget kalo punya ibu mertua sama kakak ipar seperti mereka berdua!” cerocosnyanya tak kalah semangat.

Setelah itu ia mengangkat kedua tangannya, berdoa, “ Ya Allah… ya Tuhanku… jodohkanlah aku dengan mas Aarav… aamin.”

‘Nanti kalo udah nikah bulan madunya ke mana ya kira-kira? Ke Bali? Lombok? Atau pulau Maldives? Nanti di sana liat sunset berdua terus sambil pelukan terus… aduh! Baru aku bayangin saja, sudah salah tingkah begini… sudah ah, lebih baik aku tidur sekarang… cukup Rani cukup menghalunya hari ini!’ batinnya.

Setelah itu, ia memperbaiki posisi tidurnya, dan menekan saklar lampu yang berada di belakang kepala kasurnya. Lampu di kamarnya sudah mati, Maharani memejamkan matanya dan memeluk guling kesayangannya. Dan tak lama kemudian, Maharani terlelap.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel