Bab 8 Mengantar Pulang
Bab 8 Mengantar Pulang
Mobil Aarav sudah berjalan sekitar 15 menit yang lalu, tetapi selama itu juga hening mengisi mobil tersebut, hanya suara mesin mobil dan suara hisapan hidung Maharani yang meler akibat ia menangis tadi. Sejujurnya Aarav tahu bahwa gadis di sampingnya ini tadi menangis, tetapi ia hanya mendengarkannya saja dan setelah itu ia meneruskan jalannya keluar menuju ke mobilnya.
Maharani dalam hatinya merutuki dirinya sendiri karena tidak dapat menahan tangisannya di rumah Aarav tadi, ‘Duh kenapa tadi tiba-tiba tangisku pecah seperti tadi sih? Aku jadi malu sekali membayangkan kembali ekspresi seluruh keluarga Om Aarav saat melihatku menangis seperti tadi, hidungku juga meler seperti ini, merepotkan sekali!’ batinnya.
Aarav menyodorkan smartphone nya ke arah Maharani, layar smartphone nya menampilkan aplikasi penunjuk jalan. “ Ketik alamat rumah kamu di sini,” ucapnya tanpa melihat ke arah Maharani.
Maharani yang tadinya sedang fokus pada tissue-tissue di tangannya itu, menoleh karena mendengar suara besar Aarav memasuki gendang telinganya.
Maharani melihat ke arah tangan Aarav, yang sedang menjulurkan smartphone ke arahnya. Ada jeda beberapa detik hingga suara Aarav kembali memasuki gendang telinganya, “Jangan pakai lama.” Aarav berkata sambil melihat ke arah Maharani sekilas kemudian kembali memusatkan pandangannya pada jalan di depannya.
Setelah itu, Maharani segera mengambil ponsel Aarav dan mengetik alamat rumahnya di aplikasi penunjuk jalan itu. Keadaan di dalam mobil itu sunyi kembali setelah Maharani mengembalikan ponsel itu kepada pemiliknya.
Tak lama kemudian, sesuai arahan dari aplikasi petunjuk jalan dan Maharani, akhirnya mereka berdua sampai.
Mobil Aarav berhenti tepat di depan rumah yang dalam sekali lihat saja kita akan dapat menyimpulkan bahwa pemilik rumah ini adalah orang Jawa asli, dari desain pagarnya saja perpaduan besi dan kayu jati. Benar- benar Jawa kental! Beda sekali dengan rumah Aarav lebih ke design Italian modern.
“Om kita sudah sampai!” ucapnya sedikit bersemangat seraya tersenyum tipis ke arah Aarav.
“Iya,” jawab Aarav singkat.
Setelah mendengar jawaban Aarav, Maharani terdiam, ‘aku harus minta maaf, tapi aku takut ia akan marah lagi. Aduh aku harus bagaimana ini? Kalau tidak minta maaf kurang ajar sekali, padahal aku sudah menyulitkan dia hari ini,’ pikirnya.
“Kamu tidak ingin turun?” perdebatan dalam pikirannya itu seketika hilang setelah mendengar suara Aarav.
“E—eh mau kok Om, tapi ada satu hal yang ingin aku katakan pada Om sebelum aku turun,” jawab Maharani menatap wajah Aarav.
Mendengar perkataan Maharani, Aarav melihat jam di pergelangan tangan kanannya dan berkata, “Apa? Sebaiknya cepat, sudah jam setengah sembilan malam. Kamu harus segera turun.” Setelah itu ia menolehkan wajahnya kea rah Maharani.
Saat mata mereka bertemu, Maharani dibuat terpana dengan iris mata cokelat Aarav, bahkan di keadaan remang seperti ini warna iris mata Aarav terlihat sangat jelas dan terlihat sangat indah.
“Kenapa malah bengong, hei?” Melihat gadis dihadapannya ini malah terdiam, Aarav menepuk tangannya kecil untuk menyadarkan gadis ini dari lamunannya.
Mendengar tepukan Aarav tepat di depan wajahnya, membuat Maharani tersadar dari sesi terpananya tadi. “M-maaf, Om,” ucapnya.
“Kamu ingin mengatakan apa sih sebenarnya? Kalau tidak ada sebaiknya kamu turun sekarang karena penjaga rumah kamu sudah melirik ke arah sini sejak tadi,” ucapnya geregetan.
“ I’m sorry.” Maharani mengucapkan dengan suara yang sangat kecil, tetapi masih bisa terdengar ke telinga Aarav.
“Hanya itu yang ingin kamu katakan sejak tadi? Apa kamu tidak bosan dari tadi minta maaf terus?” jawab Aarav.
“ Ta—tapi kan aku salah Om, aku merasa harus minta maaf secara langsung juga pada Om,” jawab Maharani terbata-bata.
“Bagus kalau kamu merasa bersalah, tapi apa permintaan maaf kamu sekarang berguna untuk menyelesaikan ini semua? Tidak, kan? Semuanya sudah terlanjur, satu-satunya yang bisa dilakukan adalah mencari solusi terbaik untuk menyelesaikan ini.” Kata-kata itu keluar dari mulutnya seperti pisau yang tajam dan menembus tepat ke hati Maharani.
Tapi perkataan Aarav ada benarnya, permintaan maafnya tidak dapat menyelesaikan ini semua, yang bisa dilakukan adalah mencari solusi untuk ini, seketika ia teringat apa yang dikatakan Noel tadi, “Tapi tadi ayah Om bilang, satu-satunya solusi adalah kita harus menikah, jadi maksud Om solusi terbaiknya adalah itu?” dengan polosnya Maharani menanyakan itu kepada Aarav.
Mendengar kata menikah, membuat kepalanya pening kembali, “ Bisa tidak jangan bahas itu lagi untuk malam ini? Mendengarnya saja membuat saya pening kembali. Kita bicarakan lagi dilain waktu, bisa kamu turun sekarang?” ucap Aaraf sambil memijat pangkal hidungnya.
‘Bentar, jadi aku diusir ceritanya? Menyebalkan sekali, padahal aku hanya Tanya,’ sahut Maharani jengkel di dalam hatinya. Kemudian dengan berani Maharani berkata, “ Ya sudah, kalau begitu aku minta nomer Om, setelah itu aku turun.” Sambil menyerahkan ponselnya ke arah Aarav.
“Untuk apa?” jawabnya.
“Bukannya kita akan bertemu lagi ke depannya? Aku minta nomer telepon Om, agar lebih mudah dihubungi jika kita harus bertemu di hari berikutnya,” jawab Maharani lagi.
“ Kamu ini kenapa yakin sekali sih kita akan bertemu lagi? Lagi pula kenapa harus nomor saya?” jawabnya tanpa menyadari apa yang ia ucapkan.
‘Lah...?’ pikirnya, “ Ya bukannya kata Om tadi kita harus menyelesaikan ini semua? Jadi, aku harus minta nomor Om, karena ini menyangkut kita berdua. Kalau Om tidak mau kasih nomor Om sendiri, ya udah kasih saja nomor ayah, ibu , atau kakak perempuan om, terserah,” cecar Maharani jengkel. Kemudian melipat kedua tangannya di depan dada dan melihat ke arah jendela di sisi kirinya, ia malas sekali melihat wajah Aarav.
‘Gadis ini marah?’ batin Aarav, “ Ya sudah, berikan ponselmu,” ucapnya mengalah.
Maharani memberikan ponselnya kepada Aarav setelah sebelumnya membuka kunci sandi pada ponselnya tersebut. Ia memberikannya tanpa memandang Aarav sama sekali.
Melihat itu, Aarav hanya bisa menghelakan napasnya, kemudian mengetikkan nomornya di ponsel Maharani dan memanggilnya. Setelah ponselnya berdering tanda panggilan dari ponsel Maharani, ia mengembalikkan ponsel itu kepada pemiliknya.
“Sudah puas kan? Kamu tinggal simpan sendiri nomornya,” ucapnya datar. Sebisa mungkin mengontrol nada bicaranya agar tidak terlalu sinis.
Sepersekian detik setelahnya, senyum tercetak di wajah cantik Maharani. “Nah begitu dong Om dari tadi, kaleau gitu kan, aku tidak harus marah-marah dulu,” ucapnya semangat.
Melihat perubahan sikap Maharani yang sangat cepat itu membuat Aarav bingung, ‘apa benar ini gadis yang sama yang beberapa menit yang lalu marah padanya?’ batinnya.
“ Ya sudah, aku turun ya Om, hati-hati di jalan,” tambah Maharani sambil melambaikan tangannya kepada Aarav.
Aarav hanya melirik nya saja dan menjawab,”Hmm…,” sahut Aarav tanpa membalas lambaian tangan Maharani.
Maharani cemberut melihat respon Aarav. “ Iiih! Kok lambaian tanganku tidak dibalas sih Om! Jahat banget!” ucapnya persis seperti anak kecil.
“ Kamu ini banyak sekali sih permintaannya? Ya sudah, cepat turun!” Jawab Aarav sambil melambaikan tangannya setengah niat.
“ Hehehehe… terima kasih Om! Aku turun sekarang ya! Assalamualaikum!” ujar Maharani semangat dan setelah itu ia keluar dari mobil Aarav dan berjalan menuju pintu gerbang rumahnya itu.
