Bab 10 Maharani Menolak Radja
Bab 10 Maharani Menolak Radja
Kicauan burung di depan balkon kamarnya juga pancaran sinar matahari yang menelusuk ke dalam kamarnya, membangunkan Aarav dari tidurnya.
Aarav mengambil ponselnya yang ia taruh di atas nakas, jam pada ponsel tersebut menunjukkan pukul 7 pagi, ia segera bangun dari tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci wajahnya dan sikat gigi.
Setelah itu ia keluar dari kamarnya dan menuruni tangga menuju lantai satu rumah itu, saat sedang menuruni tangga pemandangan yang ia lihat pertama kali adalah ibu, Afsheena, dan Naura yang sedang sibuk di dapur mempersiapkan sarapan hari ini.
Sudah menjadi kebiasaan di keluarga Aarav jika orang tua mereka mengajak anak-anaknya untuk sarapan di rumah ini, kakak dan adik perempuannya beserta suami-suami mereka harus menginap di sini beberapa hari baru diperbolehkan pulang ke rumah mereka masing-masing. Waktu ditanya jawaban Kanaya kurang lebih seperti ini, “Ya kan kalian sudah punya rumah sendiri jadi jarang ke sini, lihat Mama dan Papa. Sebagai gantinya kalau kalian ke sini harus disandera dulu baru boleh pulang, hitung-hitung quality time, oke? Tidak ada penolakan!”
Saat Aarav sampai di anak tangga terakhir, Afsheena menyadari kehadiran Aarav dan memulai aksi jahilnya, “Haiii…selamat pagi! OM Aarav sudah bangun nih!” ucapnya dengan menekankan kata ‘om’ sambil tersenyum jahil ke arah Aarav.
Aarav hanya memutar kedua bola matanya, mengabaikan Afsheena. Setelah itu ia menghampiri Kanaya dan bertanya, “Papa di mana Ma?”
Kanaya yang sedang menggoreng ikan menjawab pertanyaan anak laki-lakinya itu tanpa melihatnya, “ Tuh, di taman belakang sama Galen, Adam, Ibnu, Umar dan Utsman.”
Setelah mendengar jawaban Kanaya, Aarav meninggalkan dapur dan berjalan menuju taman belakang rumahnya.
Saat ia sampai di taman belakang rumahnya, para saudara laki-laki dan ayahnya sedang sibuk melakukan kegiatan mereka masing-masing. Noel dan Ibnu yang sedang bermain catur, Galen yang sedang push up, Umar dan Utsman yang sedang bergantian memukul samsak tinju, dan Adam yang sedang berlari di atas treadmill.
Merasa tidak ada yang menyadari kehadirannya, Aarav berdeham dan seketika semua orang di taman itu melihat ke arah Aarav.
Melihat kehadiran Aarav, Umar dan Utsman menyeletuk dengan kompak, “Wiih… yang sebentar lagi mau nikah sudah bangun nih!”
Semua orang di taman tersebut terkekeh kecuali Aarav. Aarav berjalan menghampiri Umar dan Utsman, kemudian memiting kepala dua anak kembar itu dan berkata, “ Coba bilang sekali lagi.”
Umar dan Utsman yang kaget tiba-tiba dipiting oleh kakak laki-lakinya, mereka berusaha melepas pitingan itu, tetapi tenaga Aarav lebih kuat, alhasil mereka menyerah dan berkata “ E-eh…ampun bang ampun.”
“Apa? Tidak dengar,” jawab Aarav jahil.
“Ampun… ampun!” ucap dua kembar bersamaan.
Setelah Aarav melepas pitingannya pada dua kembar itu, Noel, Adam, Tara menertawakan Umar dan Utsman yang sedang ngos-ngosan.
“Makanya jangan iseng sama abang ,” sahut Adam sambil berlari di atas treadmill.
“Nah benar tuh kata Kak Adam,” sahut Ibnu sambil memindahkan kuda caturnya.
Noel hanya tersenyum aja melihat kelakuan anak-anaknya itu.
Tak lama kemudian, Afsheena muncul dan berdeham, “Permisi bapak-bapak semuanya, saya ingin memberitahukan bahwa sarapannya sudah siap,” ucapnya dengan suara yang dibuat-buat.
“Wiihhh…akhirnya!” celetuk Umar dan Utsman bersamaan dan setelah itu segera meninggalkan taman belakang. Kemudian disusul Aarav, Galen, Noel, dan Ibnu.
Setelah mematikan mesin treadmill, Adam menghampiri Afsheena dan merangkulnya.
“Ih! Kamu jangan rangkul aku dulu! Kamu masih keringetan, masih bau!” respon Afsheena sambil melepas rangkulan Ibnu dan menutup hidungnya.
“Bau begini, kamu tetap cinta kan? Ayo ngaku!” jawab Ibnu sambil pura-pura mendekati Afsheena, melihat Ibnu yang semakin dekat, ia segera berlari ke dalam menghindari pelukan Ibnu. Alhasil mereka berdua kejar-kejaran hingga mereka sampai di meja makan.
Saat mereka sampai, Adam menyeletuk, “ Aduh… ini pasangan baru pacaran terus.”
“Iya dong! Harus itu!” jawab Ibnu dan Afsheena bersamaan.
Noel segera memotong,”Sudah… sudah… sebaiknya kita sarapan dulu, sebelum masakannya dingin.”
Setelah itu mereka semua memulai sarapan mereka dengan tenang.
Di sisi lain, Maharani sudah bangun sejak pagi tadi. Dan sekarang seperti biasanya, ia membantu ibunya membuat sarapan di dapur.
Setelah masakan yang dimasak matang, Andini menyuruh Maharani meletakkan piring-piring yang sudah diisi lauk-lauk tadi di atas meja makan. Sedangkan ia menuju kamarnya untuk membangunkan suaminya yang masih terlelap.
Setelah Abimanyu bangun, Andini dan Abimanyu segera keluar dari kamar mereka dan menghampiri Maharani yang telah duduk di depan meja makan.
Tidak ada perbincangan di antara mereka, Abimanyu dan Andini memutuskan untuk sarapan terlebih dahulu sebelum menginterogasi anak perempuannya itu.
Setelah kegiatan sarapan mereka selesai, tanpa mengulur waktu Abimanyu segera bertanya kepada Maharani, “ Jadi apa yang akan kamu jelaskan nak?”
‘interogasi dimulai’ batin Maharani.
“Seperti yang aku katakan semalam, aku sama sekali tidak hamil… pak… bu,” mulainya.
“Lantas mengapa di depan wartawan kemarin kamu tiba-tiba mengaku hamil?” tanya Abimanyu lagi.
“Soalnya aku tidak mau dijodohkan!” jawab Maharani.
“Kenapa kamu tidak mau? Radja itu sangat memahami adat istiadat Jawa, dia juga baik, berpendidikan, lemah lembut, dan sangat menghormati orangtuanya, Radja adalah pasangan yang terbaik untuk kamu. Perjodohan ini tetap harus berjalan!” ucap Andini, emosinya sedikit tersulut setelah mendengar jawaban Maharani tadi.
“Oh, jadi namanya Radja? Siapa pun namanya dan background keluarganya, aku tetap tidak mau dijodohkan dengan dia!” ucap Maharani sengit.
“Kamu ini kenapa sih? Diberikan pasangan yang terbaik kok malah menolak? Ibu dan bapak tahu siapa yang terbaik untuk kamu Rani. Perjodohan ini harus tetap dilaksanakan,” ujarnya.
Maharani menghelakan napasnya, “ Bahkan untuk pasangan hidup, aku masih harus tetap mengikuti keinginan bapak dan ibu, 20 tahun tidak cukup ya? Mulai dari aku yang harus mempelajari adat istiadat Jawa sedari kecil, pergi diantar supir, ke mana aku pergi harus selalu dilaporkan, waktu aku ingin kuliah di luar kota ibu dan ayah sontak menolak, tidak boleh ikut banyak organisasi, dan masih banyak lagi.”
“Apa aku tidak diperbolehkan sama sekali memilih dalam hidupku, apa selamanya harus mengikuti perintah bapak dan ibu? Rani sudah 20 tahun, anak perempuanmu ini sudah 20 tahun, pak… bu...” tambahnya.
Tanpa sadar air mata mengalir di pipinya, setelah itu ia berlari kearah kamarnya meninggalkan Abimanyu dan Andini.
“Rani—“ panggil Andini, tapi terlambat karena Maharani sudah masuk ke dalam kamarnya.
“ Aku pikir sudah saatnya kita membiarkan dia memilih jalan hidupnya sendiri, dia sudah bukan anak kecil lagi yang bisa ditipu, dia sudah bukan lagi gadis remaja yang labil, sekarang ia sudah memiliki pendiriannya sendiri. Kita sebagai orang tua hanya bisa mendukung pilihannya, membimbingnya agar sukses melewati rintangan-rintangan yang akan ia hadapi ke depannya, dan selalu mendoakan.”
Di dalam kamarnya, Maharani menangis tersedu-sedu sambil memukul guling kesayangannya itu. “Menyebalkan! Pokoknya aku tidak mau dijodohkan! Aku cuma mau nikah sama mas Aarav, titik!”
“Kira-kira mas Aarav sedang apa ya sekarang? Hari ini hari Minggu, apa di hari minggu dia pergi ke restoran juga? Atau dia sedang di rumah? Rebahan? Atau lagi olahraga? Aduh! Bahkan cuma memikirkannya saja, tangisku berhenti. Ajaib banget!” tambahnya.
Setelah itu untuk memperbaiki moodnya,Maharani memutuskan untuk marathon drama korea sampai ia mengantuk dan tertidur.
