Bab 11 Saran Teman-Teman
Bab 11 Saran Teman-Teman
Tidak banyak yang ia lakukan di hari Minggu, Aarav sengaja menjadikan hari Minggu menjadi hari bebasnya, tidak pergi ke restoran, tidak memikirkan pekerjaan, lebih tepatnya hari Minggu adalah hari tersantainya dibandingkan dengan hari-hari yang lainnya.
Setelah sarapan, yang ia lakukan adalah berolahraga sekitar satu jam, usai berolahraga dan membersihkan dirinya, tidak ada yang ia lakukan lagi selain menonton film sambil bersandar di atas kasurnya yang empuk.
Usai beberapa film ia tonton, ia merasa jenuh dan memutuskan untuk turun ke bawah, menghampiri Kanaya yang sedang sibuk membuat adonan kue.
Memang jika kakak-kakaknya sedang menginap di sini, Kanaya pasti akan sibuk membuat kue, mencoba resep-resep kue dari internet yang sudah ia simpan.
“Kue apa hari ini, Ma?” tanya Aarav sambil matanya sibuk melihat satu persatu bahan-bahan kue yang sudah dipersiapkan Kanaya.
Kanaya menghentikan pekerjaannya itu sejenak dan menjawab pertanyaan Aarav, “Blueberry Muffin! Dari kemarin banyak teman-teman Mama yang buat itu, dan kata mereka enak... Mama jadi penasaran, jadi ingin buat juga,” ujarnya sedikit bersemangat. “Nanti kamu cobain ya? Chef gantengnya Mama!” tambahnya.
Aarav menganggukan kepalanya seraya berkata, “Siap! Ibu Negara.”
Merasa rumahnya itu sepi sekali, ia kembali bertanya kepada mamanya yang sudah sibuk dengan adonannya, “Rumah sepi sekali, Ma. Yang lain pada kemana?”
Kanaya menjawab tanpa melihat ke arah anaknya itu, “Afsheena dan Ibnu, Mama minta tolong ke supermarket belanja bulanan, kalau Naura dan Adam, tadi sih izin ke mama mau pergi ke pernikahan temannya, Sayang.”
“Kalau dua kembar, ke mana?” tanyanya kembali.
“Kalau dua kembar sih, hangout sama teman-temannya tadi izinnya ke Mama, tahu sendiri hari ini hari Minggu,” jawab Kanaya sambil terkekeh.
“Kalau Papamu, sedang tidur di kamar jam-jam seperti ini, Rav,” timpal Kanaya.
Aarav hanya ber-oh ria, sambil menganggukkan kepalanya.
“Mama boleh minta tolong tidak? Kamu sedang bingung juga kan ingin apa? “ tanya Kanaya.
“Boleh dong, Ma... Ingin minta tolong apa memangnya, Ma?” jawab Aarav.
“Itu loh, tolong sirami bunga-bunga Mama yang di taman depan, si mang Ujang, tukang kebun kita yang biasa, sedang tidak datang hari ini, sakit katanya,” jawab Kanaya sambil menatap wajah Aarav dan tersenyum.
“Oh, seperti itu. Oke... Siap, Ma. Aarav siram sekarang ya, Ma. Bye, Ma! “ ujar Aarav sambil dirinya berjalan menuju pintu depan rumahnya itu.
“Aih... Terima Kasih banyak, Sayang!” jawab Kanaya, kemudian melanjutkan kegiatannya membuat kue.
***
Suara dering telepon membangunkan Maharani dari tidurnya, dan terlihat nama Maya, sahabatnya pada layar telepon pintar itu. ‘Tak kusangka aku sampai ketiduran, hingga siang seperti ini' batinnya setelah melirik sekilas pada jam yang tertera di teleponnya.
Kemudian ia segera mengangkat panggilan dari Maya, belum sempat kata “halo” keluar dari mulutnya, Suara cempreng Maya menghentikan Maharani. “Duh! Ran, kamu sedang apa sih?! Lama sekali angkatnya,” ujar Maya setengah menggerutu.
Maharani refleks menjauhkan teleponnya dari telinganya, kemudian menjawab Maya, "Aduh May, bisa dipelankan sedikit tidak suara kamu?” ujar Maharani, sambil mengusap telinga sebelah kanannya.
“Hehehe... Maaf deh, Ran. Habisnya kamu lama sih tadi angkatnya, kamu kan tahu aku tidak suka menunggu,” kekeh Maya.
“Hmm... iya, iya. Ngomong-ngomong kamu ada apa telpon aku?” tanya Maharani.
“Oh iya! Aku ingin mengajak kamu main, sama Rana dan Sani juga, tadi sepakat main di rumah Rana saja sih, kamu ikut ya? Harus ikut! Aku sudah on the way ke rumah kamu soalnya,” jawab Maya bersemangat.
Maharani memutar kedua bola matanya, sahabatnya ini memang inisiatifnya sangat tinggi jika diajak main, apalagi jika diajak hangout ke tempat-tempat yang biasa orang menyebutnya instagramable.
“Ya sudah, aku siap-siap dahulu,” jawabnya.
“Okee! See You, Ran! Aku matiin ya, bye!” jawab Maya, kemudian mematikan sambungan teleponnya itu.
Maharani bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan ke arah lemari pakaiannya, ia menimbang-menimbang apa yang harus ia pakai. Usai lima menit berlalu, akhirnya ia memutuskan untuk memakai celana kulot polos berwarna maroon dan dipadukan dengan baju berlengan pendek motif garis-garis berwarna senada.
Dia segera memakainya, dan duduk di depan meja riasnya, memoleskan wajahnya dengan sedikit bedak, sedikit liptint pada bibirnya dan terakhir sedikit liptint pada pipinya menjadikannya sebagai blush on.
Tak lama menunggu, suara salam Maya terdengar dari dalam kamarnya itu, ia segera meraih sling bagnya dan memasukkan telepon, charger, dan dompetnya ke dalam slingbag, kemudian berjalan keluar kamarnya.
Saat ia menutup pintu kamarnya, Maya sedang berbincang dengan kedua orang tuanya.
Setelah sekitar 5 menit berbasa-basi, Maya meminta izin kepada Andini dan Abimanyu untuk mengajak Maharani keluar, “iya, aku mau mengajak Rani main, Om... Tante... di rumah Rana saja sih sepertinya, kita tidak kemana-mana lagi,” jelas Maya.
“Oke, Nak. Hati-hati ya? Pulangnya jangan malam-malam,” pesan Andini sambil tersenyum.
Maharani dan Maya pamit kepada Andini dan Abimanyu adan berjalan ke arah mobil Maya yang terparkir di halaman rumah Maharani.
30 menit berlalu, akhirnya Maya dan Maharani sampai di rumah Rana, setelah Maya mematikan mesin mobil, mereka berdua turun dari mobil dan segera memasuki rumah Rana, saat mereka sedang di perjalanan tadi, Rana mengatakan bahwa saat nanti mereka sampai, langsung masuk saja karena kebetulan kedua orangtua Rana sedang tidak ada di rumah.
Dan di sinilah mereka, di kamar Rana yang tidak begitu luas tapi sangat nyaman dijadikan tempat berkumpul.
“Lama sekali kalian sampainya,” ujar Rana, si tuan rumah.
“Iya, tadi sedikit macet. Itu loh Ran yang putaran depan kompleks kamu, kan langganan macet di situ,” jawab Maya sambil mengambil posisi tiduran di atas kasur empuk Rana.
“Ran, kamu ada hutang cerita loh ke kita bertiga,” celetuk Sani tiba-tiba.
“Hah? Hutang cerita? Yang mana sih, San?” jawab Maharani bingung.
“Ck...itu loh yang berita kamu sama Chef blasteran kemarin,” ujar Sani mencoba mengingatkan Maharani.
“Oh itu ya, kok kalian bisa tahu sih kalau itu aku? Padahal aku sudah pakai topi dan kacamata hitam loh, hehehe...” kekeh Maharani.
“Ya iyalah, tidak usah kelihatan muka, dari postur tubuh saja kita sudah bisa kenali kalau itu kamu, cepetan cerita, Ran!” desak Rana.
“Iya, iya jadi gini...” Maharani memulai ceritanya, dari awal hingga akhir, ketiga sahabatnya itu mendengarnya dengan serius.
“Wow, jadi sebentar lagi kamu menjadi seorang istri, Ran?” sambar Maya, setelah Maharani menyelesaikan ceritanya.
“Hmm, belum tahu juga sih, tapi pas hari itu aku ke rumah Mas Aarav, ayahnya bilang tidak ada lagi solusi yang lebih baik selain kita berdua harus menikah,” jawab Maharani.
“Oh, eh sebentar, sebentar... tadi kamu bilang apa? Mas? Gila ya, sudah seperti istrinya saja kamu panggil Mas begitu, Ran,” cerocos Maya merasa takjub.
“Aduh, bukan gitu! Habisnya kalo panggil Om, ketuaan banget, sedangkan kita saja hanya beda 5 tahun,” jelas Maharani.
Ketiga sahabatnya itu hanya mengangguk mendengar penjelasan Maharani, hingga tiba-tiba Rana bertanya kembali, “tapi Ran, tadi kan kamu bilang, alasan kamu lakukan itu karena kamu ingin menghindari perjodohan yang direncanakan orang tua kamu, tapi apa kamu sudah pernah menemui si calon kamu itu?” tanyanya.
Pertanyaan Rana menyadarkan Rani, ’kalau dipikir-pikir aku memang belum pernah ketemu si Radja-Radja itu sih' batinnya, kemudian ia menjawab pertanyaan Rana, “Belum pernah.”
“Menurutku ya Ran, sedikit tidak adil sih kalau kamu langsung menolak begitu, sedangkan kamu saja sama sekali belum pernah bertemu dia secara langsung, apalagi kamu tadi bilang orangtua kalian berdua dekat sekali, menurutku agak kurang sopan saja begitu... Seenggaknya ketemu saja sekali, kalau pada akhirnya kamu tetap menolak setidaknya kamu punya alasan yang masuk akal.” saran Rana.
Sani dan Maya menyahut bersamaan, “Nah, benar itu kata Rana.”
“Iya deh, nanti coba kupikirkan lagi saran kamu, Ran. Sudah yuk, ganti topik. Eh iya San, kamu sama yang waktu sekarang bagaimana ceritanya?”
Obrolan mereka berlanjut hingga pukul 7 malam, Maharani mendapat pesan dari Andini untuk makan malam di rumah saja. Oleh karena itu, Maharani pamit pulang kepada teman-temannya dan tentu saja ia diantar kembali oleh Maya.
