Bab 2 : Pertemuan Tak Terduga dengan Adrian
Senja di Kota Amaris membentang bak lukisan air, kilau lampu jalan memantul di trotoar yang mulai basah oleh gerimis tipis. Della menjejakkan kakinya di peron stasiun Amaris Pusat dengan perasaan campur aduk—lega karena berhasil melarikan diri, sekaligus gugup menghadapi kota besar pertama kalinya. Tas ranselnya hanya berisi beberapa helai pakaian, uang tabungan, dan sebuah kotak cat air warisan neneknya. Ia bertekad menjadi pelukis jalanan atau pelayan di kafe, apa pun demi memperoleh kebebasan.
Ketika kaki melangkah keluar pintu stasiun, angin malam menyambutnya dingin. Gedung-gedung tinggi menjulang, papan iklan elektronik memancarkan cahaya neon hijau dan ungu. Suara klakson tak karuan, deru motor dan sedan mewah, sirine ambulans di kejauhan—semua terasa asing sekaligus menegangkan. Della menarik napas dalam, lalu menutup mata sekejap.
“Aku bisa melakukannya,” gumamnya pelan.
Langkahnya membawa ia ke jalan utama. Di sudut jalan, ada halte bus, lampu merah berkedip. Della menepuk-nepuk pinggangnya, memeriksa saku—uangnya sudah cukup untuk naik angkot ke kawasan kost sederhana yang direkomendasikan Pak Darto. Di peta, kawasan itu bernama Jalan Cempaka Merah, antara gang sempit berjejer rumah susun.
Tiba-tiba, dari arah berlawanan, sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di depannya. Jendela pengemudi turun perlahan. Seorang pria muda berjas hitam tertutup rapat, dasi biru tua berwarna gelap, melempar tatapan dingin ke arahnya. Hidung Della mencium aroma cologne mahal—benar-benar wangi khas pria eksekutif.
“Jangan bergerak,” suaranya tegas, lembut namun berwibawa.
Tegang, Della mematung. Hatinya berdegup cepat, suara klakson bus koridor yang melaju di belakangnya tak mengusik ketegangan. Pria itu memiringkan kepala. Sorot matanya – abu-abu kehijauan – meneliti wajah Della, seolah menebak siapa dia. Rasa tidak nyaman menjalari tulang belakangnya.
“A-apa… ada apa, Pak?” suaranya gemetar.
Pria itu menunduk, lalu mengulurkan tangan—sebuah foto cetak hitam-putih. Di dalamnya terlihat wajah Della mengenakan kebaya putih, mahkota melati—potret pertunangan malam itu. Della menelan ludah. Foto itu nyaris identik dengan gambarnya di artikel gosip tabloid pekan lalu: “Gadis Prameswari Melarikan Diri dari Upacara Pertunangan.”
“Aku mencari gadis ini,” kata pria itu tanpa emosi. “Dia melarikan diri dari keluarga Prameswari. Nama lengkapnya Della Ayu Prameswari, benar?”
Della menggeleng. “Bukan. Aku… bukan dia.”
Pria itu menyipitkan mata. “Tidak perlu bohong. Kau mengambil resiko besar datang ke kota besar tanpa perlindungan. Keluargamu pasti sedang mencari—”
“Pak, sungguh, saya bukan Della Prameswari itu,” ujarnya cepat, pandangannya teralihkan ke sisi lain jalan. Mobil-mobil mewah berlalu, para pejalan kaki tergopoh. Ia menata napas, berusaha tidak panik. “Aku Ayu Prameswari… eh, bukan juga. Aku—”
“Tunggu,” potong pria itu. Ia meraup ponsel, menekan beberapa tombol. “Menurut bank, kartu kredit atas nama Della Prameswari telah digunakan dua jam lalu di kafe dekat sini.”
Jantung Della melompat kencang. Ia menolak mentah-mentah memakai kartu apapun yang tertulis atas nama Della Prameswari. Ia hanya membawa uang tunai. “Saya tidak pernah menggunakan kartu kredit!”
Pria itu menatapnya tajam, kemudian menarik napas. “Sepertinya ada orang yang menyalahgunakan identitasmu—atau memang itu kamu?”
Rasa takut memuncak. Della menurunkan pandangan, lututnya lemas. Ia bersandar di pintu sedan, pusing. Kendaraannya tiba-tiba bagaikan penjara berjalan. Tapi suara pria itu kini lebih lembut, meski tetap keras:
“Aku bisa membantumu—atau menjadikanmu tersangka.”
Tau bahwa ia berada dalam posisi genting, Della memaksakan senyum. “Tolong, pilih membantu.”
Pria itu menutup foto Della—tampak jelas potret gadis desa cantik, mata melankolis. Lalu ia membuka pintu mobil, keluar dan mengundang Della naik. “Naiklah. Terlalu berbahaya berdiri di sini.”
Della menatap pintu yang terbuka lebar, ragu antara kabur atau menyerah. Namun di balik keraguan itu, nalurinya mengatakan: peluang aman lebih besar bersama pria ini dibandingkan berlarian di tengah malam sendirian. Ia mengangguk, lalu melangkah masuk. Interior sedan itu mewah: jok kulit hitam, panel kayu gelap berornamen minimalis, lampu kabin lembut.
Pria itu menutup pintu, kemudian menoleh. “Nama saya Adrian Rahardja.”
Della membeku. Nama itu dikenal: CEO muda pewaris konglomerat Rahardja Corp. Ia dijuluki “Duke of Glass” karena reputasinya yang dingin dan mata tajamnya yang menusuk. Pria yang sama yang diceritakan media besar hanya tiga bulan lalu, tentang akuisisi perusahan… dan gosip pertunangan paksa seorang gadis bangsawan.
“A-Adrian… tu-tidak mungkin,” gumamnya.
Adrian mengerutkan alis. “Cukup banyak orang yang ‘tidak mungkin’ bahagia dengan pertunangan seperti itu. Tapi kabarmu sampai ke telingaku. Kau lari dari ritual di desa Tegalarum?”
Della menelan ludah, jantungnya serasa ingin meloncat keluar. “Ya… tapi saya tidak mau jadi berita—saya hanya ingin sembunyi.”
Adrian menatapnya lama, lalu memerintahkan sopirnya yang tiba-tiba muncul dari kursi belakang, “Bawa dia ke kafe terdekat. Lalu kabari aku.”
Sopir mengangguk, melaju perlahan meninggalkan jalan raya menuju gang kecil. Della hanya bisa menunduk, menatap tasnya yang berisi cat air. “K-kafe?”
Adrian mengulurkan tangan, membuka palet kayu di dasbornya. Di dalamnya ada beberapa bungkus teh celup, sekotak kue kering. “Minum dulu. Kau butuh istirahat.”
Della menerima mug porselen putih hangat. Uap teh melayang, aroma jahe dan madu menenangkan. Ia menyesap perlahan. Hujan gerimis makin deras menabur di atap mobil. Lampu jalan bergoyang samar di kaca jendela.
“Terima kasih,” suaranya tercekat. “Maaf merepotkan.”
Adrian mengerling. “Aku sedang dalam perjalanan balik ke kota, tapi aku punya urusan penting esok pagi. Melindungi budak-budak keluarga Prameswari bukan di daftar tugasku.”
Della mengangkat alis. “Budak? Aku—”
Adrian menunduk sejenak. “Maaf. Maksudku, seseorang yang terpaksa ikut aturan keluarga. Kau tampak berbeda. Aku tertarik.”
Raut wajah Della memerah. Ia memejamkan mata, menarik napas panjang. “Aku… terima kasih, Tuan Rahardja.”
Mereka tiba di kafe kecil bernama **“Pelukis Senja”**, di sudut Jalan Cempaka Merah. Lampu temaram, interior kayu dan bata ekspos, lukisan-lukisan lanskap terpajang di dinding. Aroma kopi dan roti hangat menyambut. Sopir membuka pintu untuk Della, lalu menunggu di luar.
Adrian membantu Della turun, lalu memasuki kafe bersama. Penjaga pintu memperkenalkan mereka, mempersilakan duduk di pojok paling privat. Della menunduk malu, sementara Adrian memperhatikan menu di atas meja—secarta buku tebal. Ia membalik halaman paket kopi single origin, kemudian memilih kopi hitam pahit.
Della melihat sekilas punggung pria itu. Bagaimana mungkin Raja Kaca ini memutuskan berhenti dan menolongnya malam-malam begini? Namun naluri seniiknya juga terangsang: interior kafe ini sempurna untuk melukis. Ia membayangkan menggambar sosok pria berjas hitam dengan latar lampu senja kota di balik kaca jendela.
Pelayan datang, menyajikan kopi Adrian dan teh Della. Mereka terdiam beberapa saat, ditemani denting gelas dan desahan mesin espresso di sudut kafe. Lalu Adrian memecah keheningan.
“Aku ingin tahu ceritamu,” ucapnya tenang. “Apa yang membuatmu lari?”
Della meneguk teh, memandangi permukaannya. “Semua sudah diatur—perjodohan keluarga. Mereka membutuhkan aliansi bisnis dengan keluarga lain. Namaku dijual.”
Adrian mengangguk, menandai halamannya. “Itu familiar. Desas-desus juga mengatakan mereka menyerahkanmu demi menjaga citra mereka.”
Della tersenyum pahit. “Bukan hanya citra. Harga diri keluarga itu ada di balik upacara. Dan aku terlalu lelah.”
Adrian menatapnya tajam. “Kau punya bakat, aku yakin. Tidak untuk dijual, tapi untuk diapresiasi.”
Kata-kata itu membuat dada Della sesak—untuk pertama kali ia mendengar seseorang menilai lebih dari status atau perintah keluarga. Ia menunduk, meremas mug panas. “Maaf, aku—aku tidak biasa dipuji.”
Adrian memiringkan tubuh, mendekat sedikit. “Kau akan terbiasa,” janji pria itu. “Besok pagi, aku punya jam meeting dengan investor. Tapi setelah itu, aku akan membahas sesuatu yang mungkin berguna untukmu.”
Della menatap matanya, mencari kejujuran. Hujan di luar semakin deras, kaca jendela berkabut. Lampu jalan memantul indah pada genangan air. Sesaat, dunia di luar seperti lukisan impresionis—tepat untuk seorang pelukis muda yang bertekad menorehkan warna pada takdirnya sendiri.
“Baiklah,” balas Della lirih. “Tuan Rahardja.”
Keduanya terdiam, membiarkan suara hujan dan mesin espresso mengisi ruang. Di sudut kafe “Pelukis Senja”, pertemuan tak terduga ini membuka babak baru—awal dari kontrak tanpa cinta, atau mungkin, kisah cinta rahasia di balik gelas kopi pahit dan kanvas kosong menunggu sapuan kuas.
