Bab 1 : Pelarian Della dari Upacara Keluarga
Senja menyelimuti pelataran rumah Prameswari. Langit jingga-merah keunguan berpadu dengan siluet bangunan beratap Genteng Merah—kediaman besar keluarga bangsawan desa Tegalarum. Langkah kaki Della Ayu Prameswari bergema di atas ubin marmer dingin saat ia menyelinap keluar dari pintu belakang paviliun keluarga. Jantungnya berdegup tak karuan, seolah memukul dada hingga rasa sesak menjerat tenggorokannya.
Sejak pagi, Della merasakan kecemasan menumpuk. Keluarga besarnya telah merencanakan upacara pertunangan yang diumumkan kepada seluruh sanak saudara dan tetangga. Ia diatur duduk di mimbar tinggi, mengenakan kebaya putih berlengan panjang, mahkota melati di atas sanggul rapi—lambang kesucian namun sekaligus belenggu. Saat itu, seluruh tamu menatapnya dengan sorot tajam, menunggu sorot kilau berita bahwa “Della Prameswari akan segera melabuhkan hati pada pria pilihan keluarga.”
Namun di lubuk hatinya, Della tahu pesta itu bukan untuk kebahagiaannya. Semua sudah diatur: siapa pria itu, bagaimana tata upacaranya, hingga janji mas kawin yang akan mengikatnya seumur hidup. Sejak kecil, ia hanyalah pion dalam permainan kehormatan keluarga. Dan pagi ini, ia memutuskan untuk melawan.
Ia menahan napas, meremas ujung kebayanya di ketiak. Detak jam dinding di ruang tengah mengumandangkan pukulan satu—dua—tiga… dua kali lagi, upacara akan tiba pada puncaknya. Di balik tirai sutra kawasan belakang, dua pelayan menunggu dengan tatapan datar, memegang nampan berisi sesaji bunga melati dan dupa wangi. Mereka telah diinstruksikan untuk menghantar Della ke mimbar. Tapi Della meneguk ludah, menolak beranjak.
Waktu berhenti bagi Della ketika ia mendengar suara langkah kaki di koridor. Itu ayahnya, Prabu Prameswari, berpakaian jas adat hitam perak, memegang tongkat bermata naga—tanda kedudukannya. Ia meninggikan suaranya sekilas, seolah hendak memberikan semangat, padahal pesannya terdengar lebih seperti perintah. “Nak, semuanya sudah siap. Jangan buat malu keluarga.”
Kali ini, Della menjawab dalam hati. Ia menandaskan tekad. Tumbuh dari abu luka masa kecil—ketika ia dipaksa berhenti sekolah demi mempelajari etiket bangsawan—ia sadar satu hal: hidupnya hanya miliknya. Dan hari ini, ia takkan membiarkan kebohongan keluarga memenjarakan dirinya selamanya.
Sebelum ayahnya menutup jarak, Della menoleh, melempar senyum dingin. “Ayah, selamat acara. Maaf aku tak bisa ikut.”
Prabu Prameswari melunak sekejap, raut wajahnya gelisah. Namun teguh kembali. “Ini untuk kehormatan keluarga.”
Della mengangguk pelan, lalu menunduk. Detik berikutnya, ia memijakkan kakinya lebih cepat, menyalip dinding paviliun, menuju kebun belakang. Aroma bunga sedap malam dan melati bercampur hangat di udara petang. Daun-daun palem menari pelan tertiup angin peralihan musim. Di pinggir kolam koi yang berkilau, ia mencari tahu jalan keluar.
Bergerak dengan hati-hati, Della melewati pagar bambu rendah yang sedikit rusak di sudut pekarangan. Pagar itu menghadap ke jalan setapak sempit yang mengarah pada hutan kecil di balik desa. Sejak kecil ia sering bermain di hutan itu, meniti akar-akar pohon besar generasi nenek moyang. Kini, jalur itu menjadi satu-satunya rute pelarian.
Sebatang lentera kecil tergantung di ruas bambu, menandakan ujung kawasan milik keluarga. Della merenda nafas panjang, lalu melompat melewati pagar, kakinya mendarat di tanah lembap, mencipratkan butir-butir air hujan sore. Ia berjalan cepat, menghindari suara ranting patah di bawah kakinya. Di kejauhan, ia mendengar tetesan air dari daun-daun pinus.
Pikiran Della begitu cepat: di mana ia akan pergi? Kota Amaris, ibu kota provinsi, mungkin bukan pilihan buruk. Di sana, ia bisa sembunyi di antara keramaian dan memulai hidup baru. Namun semua itu butuh biaya, gelar, dan dokumen—hal yang sulit didapat tanpa nama besar keluarga. Ia menelan ludah, mengingat uang simpanannya hanya cukup untuk sebulan paling lama. Tapi ia bersumpah, akan bekerja keras. Kehidupan di kota tak akan semewah sebutir pernikahan bangsawan, tapi setidaknya bebas.
Langkahnya terhenti ketika melihat cahaya lampu sorot mobil mewah di jalan aspal sempit. Dua tubuh besar berdiri di samping pintu—pria dan wanita berpakaian formal tampak berbicara dengan suara rendah. Della menahan napas, berusaha tidak terdeteksi. Pria itu memegang remote kunci, sesekali menatap jam tangan. Ia mengenakan setelan hitam dengan dasi sutera, wajahnya runcing, sorot mata tajam. Wanita di sisinya—entah pegawai atau pengawal—memegang telepon genggam, mengetik cepat.
Della mengukir senyum sinis. Aha. Ia tak mengira akan ada kekuatan lain yang menunggunya. Sejak beberapa minggu lalu, rumor tentang CEO Adrian Rahardja—dijuluki “Duke of Glass”—beredar di kalangan menengah ke atas. Ia dikenal kejam, dingin, dan sangat protektif terhadap citra perusahaannya. Katanya, ia sering menjatuhkan kontrak mitra bisnis pada pihak yang dianggap membawa skandal. Della pernah membaca artikel: “Rahardja Corp. dan Ambisi Tanpa Batas.” Menggetarkan, tapi ia tidak menyangka pria itu ada di desa kecil ini.
Adrian Rahardja melihat kerumunan tamu di lobi utama rumah Prameswari. Ia tampak menahan gelak kecil, lalu melirik ke pengawalnya. “Pastikan dia keluar dari acara itu,” bisiknya pelan. “Aku ingin bertemu gadis itu… sebelum keluarga Prameswari menyerah.”
Pengawalnya mengangguk. Della membeku. Bertemu? Apa maksudnya? Ia menahan langkah mundur, tapi kakinya sudah terpaku. Dua pengawal lain mendekat, menyalakan senter genggam. Bayangan cahaya menari di sekitar pohon-pohon pinus. Mereka bergerak cepat, mengepungnya.
Della menelan ludah. Inilah saat genting. Jika ia tertangkap, ayahnya pasti menyeretnya kembali ke pesta. Ia menimbang: kembali menyerah pada perjodohan, atau mengambil risiko lain. Kali ini, melawan keluarga saja belum cukup. Melawan CEO raksasa—yang namanya berarti kekuatan kaca yang dingin—adalah tantangan baru.
Namun hatinya membara. Della menyedot tenaga sekuatnya, lalu berlari menembus semak belukar. Tiga pria berbaju hitam berbalik mengejarnya, sepatu mereka terperosok di lumpur. Della mencakar akar pohon, memanjat bukit kecil. Ketika pengawal itu lebih dekat, ia melompat jatuh di sisi lain, menggelinding keras di lereng. Rasa sakit menyambar pinggulnya, tapi ia tak peduli. Kakinya terus menapak, sulit diprediksi arah larinya.
Di dasar bukit, sebuah jalan setapak tersembunyi di balik dedaunan rimbun. Della menjatuhkan diri di semak terpal. Dadanya terengah, kepala pusing. Cahaya senter berkelip di kejauhan, suara panggilan pelan—“Miss Prameswari… berhenti!” Ia menutup telinga, menahan air mata. Semula ia merasa takut, tapi segera kesadaran menguatkan tekad.
“Aku lebih takut menyerah pada takdir yang bukan pilihanku,” gumamnya lirih.
Tiba-tiba, suara mesin motor meraung. Sebuah motor gede hitam bersandar di pinggir jalan kecil. Topeng helm terbuka, memperlihatkan wajah lelaki setengah baya—tukang ojek langganan Della saat kecil. Pak Darto, dengan jas hujan lusuh, matanya menyiratkan keheranan. “Nak Della? Apa kau di sini?” tanyanya terkejut.
Della melompat mendekat, mengenakan helm yang disodorkan. “Pak Darto, tolong sembunyikan aku. Ayahku… mereka akan mencari aku.”
Pak Darto menatap raut wajah murung Della. Ia mengenal gadis itu sejak balita. “Mengapa kau melarikan diri? Apa yang terjadi?”
Della menghela napas. “Mereka memperjodohkanku. Aku tidak mau. Aku akan ke Kota Amaris, cari kebebasan.”
Pak Darto menganggukkan kepala pelan, lalu membantu mengencangkan tali helm. “Naiklah. Tapi cepat—mereka pasti akan segera muncul.”
Della memanjat motor, duduk di belakang. Ia meremas pinggang Pak Darto, menahan gemetar. Motor melaju menembus kabut senja di jalan desa. Angin malam menyentuh pipinya, melapangkan dadanya. Suara deru mesin menggantikan denting jam dinding di rumah keluarga. Della menatap ke belakang, bayangan lampu sorot berwarna kuning samar tampak semakin kecil.
Di dalam benaknya, satu harapan tumbuh: hari ini adalah kematian sebuah kisah yang tidak pernah ia pilih. Esok pagi, matahari kota akan menyambutnya sebagai diri barunya. Ia masih takut, tapi lebih kuat dari ketakutannya: keberanian untuk menulis takdir sendiri. Dan di balik kabut gelap jalan desa, sosok CEO dingin itu tak henti membentuk garis baru dalam hidupnya—garis perjanjian yang tak ia pahami sepenuhnya, namun siap ia hadapi.
Motor menepi di pintu kecil stasiun kereta Amaris. Della turun perlahan, menoleh sekali terakhir ke jalan desa yang mulai sunyi. Pak Darto memeluk bahunya, melepas helm. “Segeralah naik kereta tengah malam. Aku titip salam untuk keluargamu… dan katakan padaku saat kau sampai.”
Della menitikkan air mata bahagia. Ia menekan tombol lift pintu, melangkah ke ruang tunggu ber-AC. Di sinilah ia benar-benar bebas—bebas dari kebaya putih dan mahkota melati, bebas dari belenggu tradisi. Di tiket kereta, tertulis kereta ekspres pukul 00.15 ke Stasiun Amaris Pusat. Dua puluh menit lagi. Ia duduk di kursi merah muda—warna akad masa lalu yang berubah makna kini menjadi permulaan.
Pukul 23.55, pintu peron terbuka. Suara announcer robotik mengumumkan, “Kereta ekspres ke Amaris Pusat akan segera berangkat. Harap penumpang menuju peron.” Della bangkit, meraih tas ransel kecil yang berisi uang tabungan dan beberapa pakaian. Sekali lagi, ia menoleh. Malam telah menelan desa Tegalarum. Lampu rumah Prameswari tampak redup di kejauhan.
Ia menarik napas panjang, menutup mata sejenak—memohon kekuatan pada semesta. Pelan, ia melangkah menuju gerbong paling depan. Ketika kereta mulai bergerak, Della menempelkan telapak tangan pada kaca jendela. Desa yang selama ini mengekangnya tertinggal satu per satu, bergantian dengan cahaya perkotaan yang berkelip.
Di hati Della, rasa bangga dan lega berkilau. Ia telah memilih sendiri jalan hidupnya. Esok, ia akan tiba di Amaris dengan nama yang sama, tetapi jiwa yang baru. Dan apa pun yang menanti—tantangan, kontrak, atau bahkan Duke of Glass—Della telah memulai perjalanannya: pelarian menuju kebebasan dan takdir yang benar-benar miliknya.
---
