2. Terjerumus Ke Keluarga Aneh
“Ayo pulang Tuan Amor, ini perintah nenek.” seorang pria berbadan kekar membungkuk di depan Reihan yang dipanggilnya Amor.
Reihan berdecak, “Berhenti menakuti teman-temanku!” ucap Reihan sembari mengacak rambutnya kesal.
“Kami tidak menakuti Tuan, kami hanya menjalankan perintah,” ucap pria tersebut.
“Bilang ke nenek, aku tidak seperti keparat tua itu. Jadi, nenek tidak perlu mengekangku!” seru Reihan.
Sementara itu, Anna yang berdiri sedikit jauh di belakang, hanya diam terpaku. Dia masih terkejut dan tidak pernah menyangka akan adanya peluru yang melayang di atas kepalanya. Suasana berubah menjadi mencekam. Semakin lama Reihan berdebat dengan pria berpakaian hitam tersebut, maka semakin berdegup jantung Anna.
Anna benar-benar tidak tau apa yang sedang terjadi. Bukannya para pria berseragam serba gelap tersebut ingin membunuh mereka berdua? Tapi, kenapa Reihan tidak mencoba untuk berlari dan kabur untuk menyelamatkan diri? Sungguh aneh, Anna tidak dapat memprediksi tingkah laku orang-orang di zaman ini.
“Tapi, Tuan, ini perintah. Tuan Amor harus pulang dan jangan bergaul dengan wanita!” ujar salah satu dari sekian banyak pria berbadan kekar yang berdiri di sana.
Reihan mengusap wajah kasar. “Berhenti memanggilku dengan sebutan Amor! Aku tidak sudi menyandang nama itu!” teriaknya.
“Dan kalian semua,” ujar Reihan. Dia berhenti sejenak sembari menunjuk semua pria tersebut.
“Berhentilah menjadi budak nenek. Aku tau kalian butuh uang, maka bekerjalah denganku!” serunya yakin.
Anna semakin dibuat bingung. Sebenarnya apa masalah Reihan dengan para pria berotot tersebut? Untung saja mereka berada di tempat yang cukup jauh dari keramaian. Jadi tidak terjadi kegaduhan ulah peluru yang sukses mengejutkan mereka berdua.
Sementara mereka semua berdebat, rupanya para cacing di perut Anna pun sudah memulai perdebatan mereka. Anna memejamkan matanya. Dengan modal nekat, dia berteriak, “Behentilah berdebat di depanku!” teriaknya cukup keras.
Semua orang menoleh kepada Anna termasuk Reihan. Mendengar adanya pemberontakan, para pria kekar itu bergegas maju menghampiri Anna, berniat untuk menangkapnya.
Namun, Reihan berhasil menahan mereka semua. “Jangan!” serunya lantang.
Sontak mereka yang awalnya berniat untuk maju, akhirnya mundur dan kembali ke tempat semula.
“Baiklah! Aku akan pulang, tapi gadis ini akan ikut bersamaku,” ucap Reihan mantap.
Semua pria di sana saling tatap. Tentu saja hal itu adalah sebuah pelanggaran dari peraturan yang telah ditetapkan oleh nenek untuk Reihan.
“Kalian tenang saja, aku yang akan mengurus nenek. Aku pastikan kali ini kalian semua tidak akan mendapatkan murka nenek,” ucap Reihan.
Namun, berbeda dengan Reihan yang akhirnya setuju untuk pulang. Anna yang tidak tau apa-apa, malah menarik tangan pria tersebut dan membawanya berlari.
“Ayo lari!” seru Anna lantang.
Merasa tangannya telah ditarik, Reihan pun reflek berlari. “Kenapa kamu menarikku?” tanya Reihan yang berlari di belakang gadis yang baru saja dia temui beberapa jam yang lalu.
“Apa kamu ingin mati? Penjahat tadi ingin membunuh kita,” ucap Anna dengan napas yang terengah-engah.
Reihan memutar mata malas. Dia berhenti berlari.
Arghh!
Bukk!
Karena tindakan tiba-tiba dari Reihan, membuat Anna yang masih menariknya sambil berlari, tertarik ke belakang dan jatuh tepat di dada bidang pria itu. Punggung Anna terasa hangat ketika bersentuhan dengan dada pria yang ada di belakangnya saat ini.
Beberapa saat kemudian Reihan mendorong Anna kasar, karena dadanya terasa perih ulah benturan yang baru saja terjadi.
Anna berdecak kesal. “Apa tanganmu itu tidak bisa bertindak pelan-pelan?” tanya Anna.
“Tidak bisa!” seru Reihan dengan wajah datar.
“Kenapa kamu berhenti berlari?” tanya Anna lagi.
“Kenapa aku harus ikut berlari bersamamu?” jawabnya singkat.
“Apa kamu tidak takut denga pria berotot tadi?” tanya Anna polos.
Reihan menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Dia berusaha menahan emosi agar tidak memaki gadis lugu yang berdiri di depannya ini.
Dirasa emosinya sudah stabil, Reihan pun kembali berbicara. “Mereka itu adalah orang kepercayaan nenekku. Dan kamu sukses membuat mereka semua makin curiga padamu,” ucap Reihan.
Reihan kembali menyambung ucapannya. Dia merubah posisi berdiri yang awalnya bertolak pinggang, menjadi memangku tangan di depan dada. “Padahal aku sudah berniat membawamu untuk makan di rumahku. Tapi, kamu menghancurkan semuanya.”
Mata Anna mengerjap beberapa kali. Dia merasa sangat bodoh. Seharusnya dia tidak bertindak gegabah dan semua ini tidak akan pernah terjadi.
“Maafkan aku, aku tidak tau,” ucap Anna pelan dengan kepala yang tertunduk sedih sekaligus malu.
Tiba-tiba, perut Anna berbunyi cukup keras. Gadis itu terlihat pucat pasi dan seperti sangat kelaparan.
Reihan melihat Anna yang sepertinya sangat lemah pun luluh. Dia mengesampingkan egonya dan mulai berbicara lembut kepada gadis tersebut.
“Ayo kita makan!” ucap Reihan singkat. Dia berjalan terlebih dahulu meninggalkan Anna yang masih diam terpaku.
Anna pun menurut dan mengikuti kemana langkah pria itu pergi. “Terimakasih!” ucap Anna pelan, namun masih terdengar oleh lawan bicaranya.
Reihan hanya tersenyun miring. Dia terus berjalan menuju mobil hitam miliknya dan masuk ke dalam mobil tersebut.
Anna juga ikut masuk. Walau pun dia belum mengetahui benda apa yang sedang di tumpanginya saat ini. Mobil pun melaju kencang membelah keramaian malam.
…
Kursi kayu bernuansa gold berderit seiring ayunan tubuh seorang perempuan tua yang sudah memiliki banyak uban di kepalanya. Tongkat hitam yang bersender tak jauh darinya, kini diambil lalu, ditancapkan ke lantai marmer dan wanita itu pun berdiri perlahan.
“Mana cucu nakalku?” tanyanya dengan nada dingin.
“Maaf nyonya, kami gagal membawanya pulang,” ucap seorang pria yang paling dipercaya di antara para bodyguard lainnya.
Mendengar hal tersebut, tongkat kayu yang sedari tadi dipegang nenek tua itu pun melayang. Semua pria berusaha menghindar, walau ada beberapa yang terkena hantaman dari tongkat tersebut.
“Kalian memang tidak becus! Menangkap anak satu saja tidak bisa!” serunya lantang. Mata nenek tua itu menyalang tajam. Bibirnya yang merah menukik ke bawah pertanda dia sangat marah.
“Maaf nyonya, tadi kami hampir membawa tuan Amor pulang. Tapi, ada seorang gadis yang menariknya kabur,” jelas salah satu pria yang berbaris paling ujung.
“Gadis?” Wajah perempuan tua itu semakin memerah. Emosinya kini berada di puncak kemarahan.
“Beraninya dia melanggar peraturanku!” Tongkat kayu yang sudah dikembalikan ke tangannya, kini kembali melayang.
Buk!
Kepala seorang pria yang duduk paling belakang pun terbentur tongkat dan darah mengucur deras di dahinya.
“Cepat bawa gadis itu ke hadapanku!” ucapnya lantang dan mengakhiri pertemuan dengan belasan pesuruh kepercayaannya.
….
Sementara itu di sisi lain, Anna dan Reihan sudah selesai dengan acara makannya. Sekarang waktunya bagi Reihan untuk pergi dari gadis aneh tersebut.
“Nah, sekarang adalah waktunya. Jangan pernah menampakkan diri lagi di hadapanku,” ucap Reihan datar.
Anna mengangguk pelan. Mereka berdua pun berpisah di depan restoran.
Arghhh!
Belum jauh Reihan melangkah, teriakan Anna sukses membuat kaget pria tersebut.
“Aku tidak mau!” teriak Anna.
