
Ringkasan
Dipaksa menikah dan terlahir dalam keluarga yang kurang peduli. Annala Rusja hanya ingin bebas. Hingga pada suatu hari, badai besar membawanya ke masa depan. Jauh berabad-abad setelah zamannya. Di sana, dia bertemu pemuda tinggi yang dingin namun pemarah, dan sangat terobsesi dengan penjelajah waktu secara tidak sengaja. Takdir terus membawa Anna untuk selalu dekat dengan pria tersebut. Hingga, tanpa disadari ada benih-benih cinta yang tumbuh di antara mereka. Namun, cinta antara dua zaman tidak pernah mudah. Mampukah mereka melewati semua rintangan yang datang?
1. Janji Sebelum Petir Menyambar
"Apa pilihan hanya diciptakan untuk orang-orang punya keluarga yang sangat mencintai anaknya? Aku juga mempunyai keluarga, tapi kenapa aku tidak disediakan pilihan juga? Apa itu berarti bahwa mereka semua tidak pernah menyayangi aku?"
Mulut gadis itu bergumam sembari jemarinya bermain menuliskan tulisan yang diucapkan mulut dan hati Anna.
Anna menghapus air matanya yang entah dari kapan mengalir. Dia berdiri dan masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang gelisah.
Sesampainya dia di ruang tengah, suara sang ayah bergema di telinga Anna. "Anna!" teriak Sutan, begitulah orang-orang memanggil ayahnya.
Jantung Anna berdegup kencang, bahunya terangkat dengan bibir yang mencebik menahan tangis, "Sudah Anna bilang, Yah. Anna tidak mau!" teriak Anna lantang.
Mata Sutan menyalang, dagunya menggertak, wajah pria itu berubah merah padam. Dia berjalan menghampiri Anna, dan tanpa belas kasihan menarik rambut panjang anaknya sendiri.
"Keterlaluan kamu, Anna! Ayah, kan sudah pernah bilang bahwa pernikahan ini bukan tentang kamu, tapi tentang keluarga kita!"
Bibir Anna bergetar, dia melirik sang ibu yang sedari tadi hanya diam. Dia tidak melihat ibunya berusaha untuk menolong. Bahkan ibu Anna sibuk dengan adik laki-lakinya.
Hati Anna makin teriris, dengan lirih dia memanggil sang ibu. "Ibu tolong Anna! Anna mohon, Bu!" Mata Anna berkaca-kaca. Dengan sekuat tenaga dia menguatkan kaki kurusnya agar tetap berdiri tegap.
Suara lirih Anna sepertinya tidak berhasil menyentuh hati nurani sang ibu. Wanita baya itu hanya sibuk mengobrol dengan Baho yang masih berumur 5 tahun.
"Ibu, Kakak memanggil!" seru Baho. Tangan kecilnya berusaha meraih tangan besar sang ibu.
Namun wanita bernama Roro itu tidak mau mendengar, dia seakan menutup telinganya rapat-rapat dalam hal yang menyangkut Anna.
Anna menangis keras, kaki ringkihnya sudah tak mampu menahan tubuh Anna yang bergetar. Gadis bernama Annala Rusja itu terjatuh tak berdaya di depan kaki sang ayah.
"Ayah, Anna mohon! Anna tidak mencintai lelaki itu. Bahkan mengenalnya saja Anna tidak pernah, Yah!" Anna meraih kaki sang ayah, dia bersujud di sana, meratapi nasib.
Ayah Anna pergi tanpa memperdulikan anak pertamanya tersebut. Anna berusaha berdiri sendiri, tak ada yang berniat membantu.
Dengan mata yang sembab, malam itu di akhiri Anna dengan menangis sepanjang malam.
....
Angin sore menggerakkan pohon rindang, aroma basah tanah menyatu dengan aroma melati yang menenangkan pikiran. Seperti biasa, suasana yang damai dan hening selalu menemani penduduk desa. Hanya suara kaki kuda pembawa kereta kayu berlalu lalang yang membuat desa tersebut ramai.
Anna duduk seorang diri di halaman depan rumah. Di belakangnya berdiri dengan megah, sebuah rumah yang tak ubahnya dengan istana.
Rumah besar itu terdiri dari tiang-tiang yang terbuat dari marmer. Di sekeliling rumah terdapat beberapa lampu minyak yang menyoroti langit. Semuanya terasa mewah namun kuno, karena aroma lilin yang terbakar menyeruak di setiap ruangan.
Anna menatap langit lama. "Seandainya saja ada keajaiban yang bisa membuatku bahagia. Aku berjanji akan menikahi orang yang pertama kali menolongku ketika hari itu datang," monolognya seorang diri.
Tiba-tiba suara petir menggelegar, kilat menyambar ke sana kemari. Sore itu berubah gelap gulita, awan-awan berkumpul, menggulung diri seperti naga yang bangkit dari tidur panjang. Udara hangat kini berubah dingin sedingin salju. Seperti Anna berada di tengah-tengah kutub utara.
Anna berdiri di sana sendirian, tidak ada yang berlalu-lalang lagi. Semuanya telah masuk ke dalam rumah menyelamatkan diri masing-masing. Gaun tebal Anna yang bertumpuk-tumpuk berkibar tertiup angin yang semakin menggila. Sanggul Anna yang sebelumnya terikat sempurna terlepas dari pertahanan.
Anna berusaha berlari, dengan rambut panjang yang terurai dan gaun yang berkibar. Dia berusaha kembali ke rumah, namun langkahnya terasa berat seakan bumi menahan Anna di satu titik.
Tiba-tiba, petir menyambar pohon yang berada tidak jauh darinya. Kilatan itu menyambar pohon tanpa ampun menghasilkan cahaya begitu terang, membuat mata cantik Anna terpejam.
"Badai ini tidak biasa!" seru Anna.
Hal aneh telah terjadi, Anna merasakan sesuatu yang tidak biasa, seakan sekitarnya sedang mengalami perubahan.
Tiba-tiba hujan turun dengan deras mengguyur Anna yang sudah sangat kedinginan. Namun seketika semuanya berhenti, suasana menjadi hening, sangat hening seakan tidak pernah terjadi badai sama sekali.
Tubuh Anna lemah, dia berusaha bangkit, matanya tertuju pada pusaran angin yang membentuk lingkaran tak jauh di depannya. Pusaran angin itu memancarkan sinar keemasan yang sangat menyilaukan mata.
"Apa itu?" Pelan-pelan kaki Anna melangkah, mendekati pusaran angin tersebut.
Langkah Anna terhenti, ketika kilatan keemasan itu juga mendekati dirinya. Semakin dekat, Anna semakin diselimuti oleh pusaran angin tersebut. Tak lama kemudian, terdengar suara keras persis seperti ledakan dan setelah itu semua berubah gelap.
"Di mana aku?"
Arghhh!!!" Arghh ... kau siapa?" Pria berbadan proposional yang bertelanjang dada, dibuat terkejut oleh kedatangan Anna.
Anna masih mencerna apa yang telah terjadi. Tiba-tiba perempuan berambut panjang itu berada di tempat ini.
"Hei! Kamu siapa?" Karena tak ada jawaban dari gadis tersebut pria bernama Reihan itu kembali berteriak.
Anna menatap Reihan dengan tatapan polos. "Maaf! Aku tidak tau kenapa bisa sampai di sini."
"Kamu penguntit, ya?"
Mendengar kata itu, raut wajah Anna berubah merah. Pipinya digembungkan membuat bibir kecilnya mengerucut lucu. "Aku, kan sudah bilang, aku tidak tahu kenapa sampai di tempat ini!"
Reihan tertawa remeh, "Alasan klasik!" serunya. Reihan mendorong Anna dari ruang ganti berukuran sedang tersebut. "Cepat keluar dari sini, untung saja aku belum membuka celanaku!"
Mata Anna membelalak, perkataan pria ini sungguh tidak enak didengar. "Aku juga tidak berminat melihat celanamu!"
Anna pun keluar, semua mata tertuju pada dirinya. "Kenapa kalian melihatku seperti itu?" Dahi gadis itu mengekerut.
"Kenapa kamu bisa di ruang ganti pria?" tanya seseorang yang berdiri lumayan dekat dari Anna. Mata pria itu melirik Anna yang berpakaian cukup aneh. Lumayan aneh jika dipakai ke sebuah Mall.
"Aku tidak tahu, aku juga bingung!" ujarnya polos.
Semua orang yang berada di sana sontak tertawa. "Konyol sekali wanita ini. Sebuah alasan klasik untuk mengelabui pria polos seperti kita," ujar salah seorang pria berbaju merah.
Anna meremat jari-jarinya. Kenapa semua orang malah menertawakan padahal dia sudah berkata jujur?
Tidak lama kemudian, Reihan keluar. "Ada apa ini?" tanyanya. Matanya menoleh pada Anna yang berdiri persis di sampingnya. "Kamu masih di sini?"
Anna menengadah, pria di sampingnya ini begitu tinggi. "Tolong aku, mereka menertawakanku," ujarnya.
Reihan terkekeh, "Aku tidak heran kenapa mereka semua tertawa," ujarnya tanpa rasa bersalah.
Gigi Anna menggertak, ternyata pria itu juga sama. Sama-sama tidak punya perasaan. "Di mana jalan keluar dari sini?" tanya Anna kemudian.
Reihan menghela napas. Tangan kanannya terangkat dan menunjuk pada ke arah ujung. "Di sana!"
Anna mengangguk paham, lalu kemudian berjalan mengabaikan semua pandangan aneh orang-orang yang ada di dalam sana.
...
Anna melirik setiap sudut tempat itu. Terlihat sangat megah dan mewah. "Tempat apa ini? Apa ini surga?" monolognya.
Anna berkeliling, tanpa alas kaki, gadis itu berjalan sendirian membelah keramaian. Setiap Anna melihat benda baru, dia selalu menatap benda itu lama dan mengaguminya selama beberapa menit.
Setelah beberapa jam berjalan, gadis itu pun berhenti karena sudah kehabisan tenaga. Anna duduk di salah satu kursi sembari memegangi perutnya yang keroncongan.
"Aku lapar!" monolognya.
Gadis itu merogoh semua bagian di bajunya. Berharap ada koin yang terselip untuk membeli sedikit makanan pengganjal perut. Namun sayang, Anna tidak menemukan apa pun, karena pakaian yang dikenakannya tidak memiliki kantong sama sekali.
"Apa di sini bisa menerima barter?" monolognya.
Anna kembali berjalan, berharap menemukan koin yang bercecer di jalan. Kepala gadis itu menunduk guna memantau, kalau ada koin yang tergeletak.
Anna berdecak sebal, dia tidak menemukan apa pun. Sementara, perutnya terasa makin keroncongan. Hingga tiba-tiba, mata gadis itu melihat sosok pria yang baru saja ditemuinya.
"Pasti dia orang kaya!" serunya sumringah.
Anna bergegas mengikuti pria itu, dan ... yap! Anna benar-benar bertindak sebagai penguntit.
Merasa ada yang mengikuti, Reihan memutuskan untuk berbelok, dia mencari jalan pintas agar bisa memergoki perempuan itu dari belakang.
"Ke mana perginya pria itu?" tanya Anna. Dia kehilangan jejaknya, padahal mata Anna tidak lepas dari pria tersebut, namun pergerakan Reihan lebih cepat dari tatapan gadis itu.
"Pria yang mana?" Suara tegas mengejutkan Anna dari belakang.
"Anggur!" Gadis itu sontak menutup telinganya.
"Kenapa kamu mengikutiku?" Reihan berdiri berkacak pinggang. Pria itu mendengus.
Anna berbalik, sepertinya dia mengenali suara itu. "Kamu?" tanyanya polos.
"Ternyata benar dugaanku, kamu ini penguntit!"
Anna menggeleng cepat, dia bukanlah penguntit, yang dituduhkan pria itu sama sekali tidak benar.
"Aku bukan penguntit, aku hanya lapar!" serunya. "Aku lapar! Dan aku tidak punya koin,” mata gadis itu berkaca-kaca.
“Pulang sana! Biar dapat makan,” seru Reihan datar.
“Aku tidak punya rumah di zaman ini,” ujar Anna jujur.
“Berhenti bohong padaku! Aku tidak suka perempuan yang suka berbohong.” Reihan berjalan keluar meninggalkan Anna yang sudah sangat kelaparan.
"Kenapa kamu tidak memercayaiku, aku benar-benar lapar! Anna mendengus. Rasa laparnya membuat emosi gadis itu meningkat.
Reihan membuang napas jengah. Sepertinya dia harus berurusan dengan gadis ini sekali lagi, sebelum benar-benar terbebas dan hidup bahagia selamanya.
“Ya, sudah, mari ikut aku!”
Duarr!!!
Arghhhh!!
Belum sempat Reihan dan Anna melangkah, suara ledakan yang sangat keras terdengar. Segerombolan orang berjas hitam berlari mendekat.