Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Ketidakadilan

Dua jam kemudian.

Pesawat jet yang dipiloti Vincent terbang di atas Laut China Selatan. Langit biru sejauh mata memandang. Cuaca bagus sepanjang perjalanan.

"Dia bisu atau bagaimana?" Anthony menunjuk kursi belakang.

"Tentu saja dia bisa bicara. Tapi dia lebih suka keheningan."

Sejak dari Tondo, tiba di bandara, pesawat jet mulai terbang, murid yang dibawa James hanya diam. Kaki dan tangannya yang gesit bekerja, membawa koper-koper, juga jas dan pakaian Anthony. Murid James cepat beradaptasi, gerakan badannya, gesture wajahnya yang tenang, menunjukan dia menganggap interior pesawat jet itu sama seperti tempat kebanyakan, padahal baru kali ini dia naik pesawat. Termasuk saat menyiapkan dua gelas minuman segar untuk Anthony dan James. Anak itu dengan cepat mengetahui posisi lemari, tempat menyimpan makanan. Tanpa banyak bertanya, matanya menyapu cepat seluruh interior pesawat. Anak ini jelas spesial_ James tidak sedang membual. Setelah semua selesai, dia kembali duduk di kursi paling belakang, asyik membongkar sepucuk pistol. Salah satu koper berisi pistol dan peralatan montir.

"Aku belum pernah melihat anak itu sebelumnya."

"Memang. Dia baru tiba di Tondo tiga bulan lalu."

"Baru tiga bulan? Kau percaya padanya?"

"Tiga bulan tiba di Tondo, Anthony. Bukan tiga bulan mengenalnya. Aku mengenalnya sejak dia berusia tiga tahun. Selama ini dia tinggal bersama ibunya di selatan Filipina. Tentu saja aku percaya."

"Dari mana kau mengenalnya?" Anthony bertanya lagi.

"Panjang ceritanya."

"Ceritakan saja. Kita masih sepuluh jam lagi tiba di Moskow."

"Aku sedang malas mendongeng, Anthony. Dan kau sudah besar." James memperbaiki posisi duduknya di kursi pesawat yang empuk, juga posisi topi anyaman.

"Hei! anak itu naik ke atas pesawatku. Dia juga ikut bersama kita, aku berhak tahu siapa dia. Latar belakangnya, keluarganya. Apakah dia bedebah, pengkhianat, atau anak yang setia. Itu prosedur standar Tukang Pukul. Kau tahu persis."

James menyeringai, "Baiklah, Anthony. Akan kuceritakan. Tapi yang singkat-singkat saja."

James meluruskan kakinya. Memasang posisi duduk yang nyaman.

"Lima belas tahun lalu, malam hari, ada seorang ibu-ibu datang ke rumahku. Menangis, berteriak histeris. Waktu itu, aku sedang sakit pinggang. Berhari-hari pinggangku sakit digerakkan. Hanya bisa duduk istirahat di kursi malas, atau berbaring di dipan. Sial, ibu-ibu itu justru memaksa minta bertemu denganku, menggedor pintu ruko, murid-muridku tidak berhasil mengusirnya."

"Aku terpaksa menemuinya. wajahnya sembap, rambutnya kusut, pakaiannya kotor, dia membawa bungkusan kain. Aku mengira itu satu-satunya bekal di perjalanan. Dia bilang, dia datang dari kota nelayan kecil di selatan Pulau Mindanao, seratus kilometer dari kota Davao. Berhari-hari naik bus, ferry, menyebrangi banyak selat, berganti bus empat kali, juga ferry empat kali, hingga tiba di Manila. Sambil menangis, bilang dia minta keadilan."

"Aku sebenarnya jengkel sekali melihatnya menangis. Tapi ceritanya menyentuh hatiku. Mengingatkanku waktu dulu masih kecil. Keadilan apa yang diminta oleh ibu-ibu itu? Suami dan putra sulungnya yang menjadi nelayan, ditembak mati persis saat pulang dari melaut. Apa salah suami dan putra sulungnya? Sial. Itu saja salahnya."

"Sial?" Anthony bertanya_ memastikan tidak salah dengar.

"Yeah, sial. Saat nelayan itu menurunkan kotak berisi ikan, mereka tidak sengaja melihat muatan sebuah kapal di dermaga. Isinya narkoba. Kota kecil itu memang jadi kartel narkoba. Pemilik narkoba marah, mencabut pistol. Suaminya memohon tembak saja dia, tapi jangan putra sulungnya yang baru dua belas tahun. Biarkan anaknya tetap hidup, dia masih terlalu kecil, tidak bisa beraksi apapun. Tapi kartel tidak peduli. Dua tembakan terdengar di dermaga. Mayat suami dan putra sulungnya dibiarkan tergeletak di dermaga semalaman. Tidak ada yang berani mengambilnya."

"Baru dua hari kemudian penduduk membawanya pulang, dimakamkan. Ibu-ibu itu mengadu ke polisi setempat. Tidak ada yang peduli. Kepala polisi kota nelayan itu bilang dia tidak bisa melakukan apapun. Bahkan saat kejadian itu terang benderang disaksikan banyak orang, tidak ada yang berani menangkap pelakunya. Dia mengadu ke pejabat setempat, semua mendadak tuli. Dia pergi ke kota Davao, berharap petugas di sana lebih berani. Sama saja, Jenderal polisi di kota itu justru meringkusnya, menahannya selama tujuh hari. Baru dilepas dengan ancaman, lupakan masalah itu, atau dia masuk penjara lagi. Korup sekali penegak hukum kota tersebut."

"Berminggu-minggu, berbulan-bulan dia mencoba mencari keadilan, tapi siapa yang akan membantunya? Penembak suami dan putra sulungnya adalah pemimpin kartel narkoba besar di Mindanao. Jaringan mereka didukung oleh kartel Meksiko dan Kolombia. Ibu-ibu itu tidak berputus asa, dia memutuskan menjual rumahnya, perahu milik keluarganya, lantas membawa uang simpanannya, pergi ke Manila, mencariku. Dia mendengar namaku dari salah satu perwira militer yang pernah belajar menembak di tempatku. Perwira itu berbisik, 'Ada seseorang yang bisa memberikan keadilan untukmu, Althea. Pergilah ke Ibukota, temui Tuan James."

"Astaga. Pinggangku sedang sakit, dan ada seorang ibu-ibu yang bersimpuh di kakiku, menangis, menyerahkan bungkusan kain berisi semua uang miliknya. Dia ingin aku membalaskan sakit hatinya dengan upah sekecil itu. Aku awalnya tidak peduli, menyuruhnya pulang. Aku tidak ada urusan hal seremeh ini. Tapi saat dia bilang, dia melakukan itu demi anaknya yang masih kecil, berusia tiga tahun, anak itu dititipkan sementara ke tetangganya. Agar suatu saat, ketika anaknya dewasa, bertanya apa yang terjadi dengan Ayah dan kakaknya, dia bisa menjawabnya dengan lantang. 'Tolong balaskan sakit hati ini demi anak bungsuku, Tuan James.' Ibu-ibu itu bersimpuh di kakiku."

"Kusut. Sisi sentimentalku terpanggil. Kenangan atas orangtua angkatku yang dulu di tembak di toko kelontong, dan tidak ada polisi yang peduli, bertambah-tambah sudah membuatku berpikir tidak waras. Aku akhirnya mengangguk, meneriaki dua muridku agar bersiap. Misi balas dendam dimulai. Esoknya pagi-pagi aku menaiki penerbangan pertama ke kota Davao."

"Dua hari kemudian, setelah rencana kami matang, aku mendatangi markas kartel itu, rumah tiga lantai, dengan halaman rumput luas bagai istana. Aku menyamar menjadi tukang servis toilet bersama dua muridku. Pintu markas mereka terbuka lebar-lebar, tanpa tahu jika di trolley yang kami bawa berisikan pistol-pistol. Kami leluasa bisa masuk ke dalam. Dan sisanya kau bisa menebaknya sendiri, Anthony."

James sekali lagi meluruskan kakinya. Santai.

"Kau menghabisi seluruh isi rumah?"

"Yeah! Apa lagi? Tidak ada yang tersisa. Dua puluh mayat bergelimpangan. Persis seperti seekor ular, hancurkan kepalanya, ekornya langsung lumpuh. Sisa anak buahnya kabur entah ke mana. Mayat pemimpin kartel tersebut aku lemparkan ke sungai dekat rumah itu. Buaya liar memakannya." James mengangkat bahu_ seolah itu hanya membicarakan tentang kecoak.

"Tdak puas, aku juga berangkat ke kota Davao, aku menembak sendiri kepala jenderal polisi tersebut, saat dia sedang berendam di kolam air panas. Lucu sekali melihat tubuh buncit, berkancut itu tergeletak di tegel kolam. Misiku selesai. Kasus ditutup. Dan ajaib, sakit pinggangku mendadak sembuh. Ah, itu sangat menyenangkan. Ternyata 'berolahraga' sedikit bisa menyembuhkan sakit pinggang."

"Polisi tidak mengejarmu? Juga anak buah kartel tersisa?"

"Kau seperti tidak tahu saja, Anthony. Enaknya berurusan dengan kartel narkoba dan polisi korup di negeri ini adalah pesaingnya berpesta pora saat ada yang mati. Jenderal polisi lain, yang tidak kalah korupnya, diam-diam menemuiku di hotel Davao, menjabat tanganku, bilang terima kasih, dia bisa mengisi posisi kosong tersebut. Apa yang harus kucemaskan?"

"Sebelum kembali ke Manila, aku menemui ibu-ibu itu, mengembalikan bungkusan kainnya. Aku tidak tertarik dengan uangnya. Aku justru tertarik saat pertama kali melihat anaknya yang berusia tiga tahun, tiba-tiba aku punya ide brilian. 'Hapus air matamu, Althea. Masalahmu telah selesai.' Ibu-ibu itu masih bilang terima kasih berkali-kali sambil menciumi kakiku, 'Jika kau hendak sungguh-sungguh berterimakasih, didik anakmu menjadi anak yang kuat, Althea. Agar besok lusa dia bisa menuntut keadilan sendiri. Aku akan mengirimkan uang, juga guru untuknya.'"

"Kau bisa membayangkan apa yang terjadi saat seorang Ibu bersungguh-sungguh mendidik anaknya, Anthony. Ah, aku lupa, bagaimana kau akan tahu, menikah saja kau masih takut." James terkekeh.

"Tidak lucu!" Anthony melotot.

James melambaikan tangannya, dia hanya bergurau.

"Itu menjadi energi tak terkira. Ibu-ibu itu benar-benar menyiapkan anaknya menjadi kuat. Saat anak itu usia sembilan tahun, aku datang ke kotanya, dia telah menjadi anak yang berbeda sekali. Mandiri. Teguh hati. Fisiknya tumbuh cepat, mungkin karena gizinya terpenuhi dari uang yang kukirimkan. Niali-nilai sekolahnya tinggi. Aku menghadiahkannya sepucuk pistol saat itu."

"Saat dia usia tiga belas, lima belas, lagi-lagi aku datang untuk melihat kemajuannya. Anak itu semakin menakjubkan. Tubuhnya gagah, wajahnya tampan. Fisiknya terlatih. Dan kemampuan menembaknya, bakatnya amat mengagumkan. Jika terus dilatih, dia bisa melampaui kemampuan siapapun, termasuk melampauiku."

"Tiga bulan lalu dia datang ke Manila, mengetuk pintu rumahku. Bilang, ibunya mengirimnya agar bisa membalas kebaikan lima belas tahun terakhir. Usianya delapan belas tahun, dia telah menyelesaikan semuanya. Tidak ada lagi yang bisa ibunya lakukan. Termasuk pendidikan formalnya."

"Bukankah dia baru lulus SMA di usia delapan belas tahun?"

"Tidak, Anthony. Anak itu sudah menyelesaikan kuliah di kampus terbaik Davao. Jurusannya sama denganmu waktu dulu kuliah. Dia sekolah lebih cepat dari siapapun. Tidak tertahankan. Dia menguasai ilmu bahasa asing, jago dalam software komputer, terlatih melakukan meditasi, lihai bermain sepak bola dan pandai bermain catur. Siapa kepala keuangan di mafia Nine Dragons yang jago catur itu, heh? Ah iya, Armeen! Dia mungkin tertarik bertanding melawan Bata. Aku bertaruh, Bata akan menang."

Anthony menelan ludah. Cerita ini cukup menarik.

"Apakah 'Bata' nama aslinya?"

"Mana aku tahu."

"Bukankah kau memanggilnya Bata?" Anthony bertanya lagi.

Bukankah dalam bahasa Tagalog, 'Bata' artinya 'muda'?

"Aku lupa nama aslinya, dulu pernah ibunya memberitahuku. Nama itu terlintas saja di kepalaku saat dia datang. Tapi peduli amat, dia suka diteriaki Bata. Itu panggilan yang kuberikan. Setidaknya nama itu terdengar keren, dibandingkan namamu aslimu, Anthony. Apa sih artinya? Bajang? Ayah dan Bundamu dulu terlalu lama tinggal di talang, mereka tidak bisa memberi nama yang lebih baik. Bahkan lebih baik kau pakai saja namamu yang sekarang, daripada nama aslimu." James terkekeh.

James malah menyinggung nama asli Anthony, yaitu Bajang. Hanya segelintir orang yang tahu nama aslinya, di antaranya James. Menurut James, nama asli Anthony sangat aneh, dan oleh karena itulah dia sering mengolok-oloknya. 

Anthony menatap kakek tua itu, jengkel. Berbicara dengan James itu kadang menyenangkan, tapi lebih banyak membuatnya kesal.

"Baik. Anak itu sepertinya setia dan bisa diandalkan. Aku mulai menyukainya. Aku suka anak yang tangan dan kakinya sibuk bekerja, bukan mulutnya. Tapi terus terang, hanya satu yang membuatku kecewa."

"Apa?" James bertanya_tertarik ingin tahu pendapat Anthony.

"Kenapa anak itu harus meniru gaya berpakaianmu, James? Celana pendek, kaos oblong, sendal jepit. Tidak tahukah dia jika itu selera berpakaian yang jelek sekali, heh? Itu ketinggalan zaman berpuluh-puluh tahun lalu, bahkan babu pun lebih keren dari itu. Kau seharusnya tahu, anak itu sepuluh kali lebih tampan dibandingkan kau yang pendek, gemuk, wajah berminyak. Beri Bata pakaian yang terbaik, dia bisa berubah menjadi aktor drama terkenal, bukan malah dibiarkan meniru gaya berpakaianmu yang norak."

"Tutup mulutmu, Anthony." James melotot.

Anthony tertawa, sengaja membalasnya.

"Bangunkan aku jika sudah tiba di Moskow, Anthony. Aku mulai mual melihat wajahmu, lebih baik aku tidur sekarang." James menarik topi anyamannya, menutupkannya di wajah. Tidur.

Anthony masih menyeringai lebar.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel