Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 James

Kawasan super padat Tondo, Manila, di Ibukota Filipina.

Respons kakek tua usia tujuh puluh tahun itu sangat menyebalkan, sesuai dugaannya.

"Itu bukan urusanku, Anthony". James terkekeh. Dia sedang duduk santai di teras lantai dua rumahnya, di pagi hari cerah. Jalanan padat, dipenuhi jeepney (angkutan umum khas Manila), motor, becak. Penduduk kota memenuhi pasar tumpah di sepanjang jalan dengan ruko-ruko berbaris. Payung lebar warna-warni yang menjadi atap lapak pedagang terlihat ujung ke ujung jalan.

"Itu juga urusanmu, James." Anthony menyergah, "Kau ada di sana saat duel itu terjadi. Kau bisa membujuk Alexander untuk membatalkan pertunangan tersebut."

"Astaga, Anthony. Aku harap pertunangan itu terjadi." James tertawa geli, "Jika kau mengajakku untuk melamar Natalia, aku dengan senang hati ikut menemanimu. Ah, orang tua ini sudah lama sekali tidak menghadiri acara pertunangan. Tapi jika kau meminta ditemani untuk 'mengurus' agar acara tersebut dibatalkan. Aku tidak tertarik. Itu bukan urusanku."

James adalah guru menembak Anthony. Selain ilmu beladiri, tentu saja Anthony harus bisa 'mengoperasikan' senjata api.

Suara klakson jeepney terdengar dari teras. Juga teriakan-teriakan pedagang yang menawarkan barang. Kuli-kuli angkut sibuk. Truk-truk merapat, menaik-turunkan barang. Anthony mengusap wajahnya yang disiram cahaya matahari pukul delapan pagi.

"Kau berutang banyak kepada mafia Nine Dragons, James".

"Heh, aku berutang kepada mafia Nine Dragons, bukan kepadamu! Lihat, kau bukan Tuan Besar lagi. Kau tidak bisa memerintahku. Lagipula, kalau mau dihitung-hitung soal utang, saldo utangmu kepadaku lebih banyak, Aku yang mengajarimu menembak. Membantumu saat dalam kesulitan. Menyelamatkan nyawamu, satu kali, dua, empat." James pura-pura menghitung jarinya.

'Dasar menyebalkan' Geram Anthony.

James tertawa lagi, "Duduklah, Anthony. Kau sejak tiba di sini hanya berdiri di situ. Wajah tertekuk, seolah dunia akan kiamat besok. Ayo, temani orangtua ini sarapan. Tidak setiap hari aku punya teman sarapan. "

Anthony menatap meja dengan dua botol besar dan piring berisi kue-kue kecil. Itu sarapan favorit James. Menu sederhana, sambil menikmati jalanan padat di depan rukonya. Hanya ada dua kursi dan satu meja plastik di teras. Anthony akhirnya duduk di kursi plastik yang kosong.

"Ayo, bersulang." James menjulurkan botol besar.

Anthony menggeleng. dia tidak minum minuman beralkohol.

Bagaimanapun juga Anthony sangat menjaga amanat dari mendiang ibunya, yaitu tidak boleh menyentuh minuman beralkohol, apalagi perihal wanita, dia bisa dibilang masih polos dan terjaga. Bahkan Anthony sering diejek oleh teman-temannya karena terlalu 'suci', padahal dia adalah seorang mafia.

"Eh?" James ikut menggeleng, "Ini bukan bir, Anthony. Aku tahu sejak kau masih ingusan, kau tidak menyentuh minuman haram. Ini campuran air madu. Botolnya saja yang terlihat seperti bir."

Anthony menatap James sejenak, 'Dia tidak bergurau'? Anthony menerima botol itu. Menenggaknya_ dia memang haus, sejak bergegas dari talang kemarin malam, lupa makan, lupa minum. Minuman khas setempat itu terasa segar di kerongkongan.

"Bagaimana kabar orangtuamu?" James bertanya santai, meluruskan kaki, "Kau baru saja menjenguk pusara mereka, bukan?"

Anthony mengangguk, "Mereka baik-baik saja. Tapi entahlah, aku tidak tahu kabar orang mati."

James nyengir. Mengangguk-angguk takzim.

"Asad?"

"Dia sibuk."

"Bisa dipahami. Anak itu terobsesi sekali menjadi Tuan Besar sejak dulu. Mafia Nine Dragons akan melesat jauh di bawahnya. Dia memimpin tanpa banyak pertanyaan, apalagi galau sepertimu. Asad fokus mengurus mafia Nine Dragons, seolah dia dilahirkan untuk itu."

Anthony diam. Meneguk lagi air dari botol.

"Omong-omong kau ke sini naik apa?" James mencomot topik lain.

"Pesawat jet pribadi." Jawab Anthony.

"Bukankah kau tidak lagi menjadi bagian mafia Nine Dragons, Anthony? Bagaimana kau bisa menggunakan pesawat jet pribadi?"

"Beberapa aset itu memang milikku, sejak Tuan Besar masih ada. Dia mengizinkanku mengelolanya sendiri."

"Bukan main. Berarti kau masih cukup kaya meskipun tidak lagi jadi Tuan Besar?" James menyelidik. Itu sebenarnya tatapan menyebalkan _ seperti sedang mengolok.

"Yeah. Kumpulkan harta sepuluh orang terkaya di kota ini, aku tetap kaya berkali-kali lipat." Anthony menjawab, tidak kalah menyebalkan.

James tertawa pelan.

"Aku tidak pernah mengerti. Harta sebanyak itu, mau kalian bawa ke mana saat mati, heh? Tuan Besar dulu misalnya, penguasa Underworld yang hebat. Saat dia mati, bukankah dia hanya dikuburkan sendirian, jauh dari siapa-siapa di sebuah perkampungan nelayan dekat sekolah agama? Tidak ada satu koin emas pun yang dimasukan ke kuburannya. Atau kalian bisa mentransfer uang ke alam kubur sana, Anthony?"

Yang dikatakan James memang benar. Dulu mafia Nine Dragons sedang kritis di saat ada penyerangan ke markas mereka yang dilakukan oleh Asad. Karena bagaimanapun juga sejak kecil Asad sangat terobsesi ingin menjadi Tuan Besar selanjutnya, namun tuan Robert malah memilih Anthony untuk menggantikan posisinya, karena itulah dia berkhianat.

Waktu itu Anthony membawa Tuan Besar yang sedang sakit-sakitan melarikan diri lewat jalan rahasia di kamar pribadinya, yang hanya diketahui oleh Tuan Besar. Mengikuti jalur lorong bawah tanah, sampai akhirnya mereka tiba di tempat tujuan, yaitu di sebuah perkampungan nelayan. Namun pada akhirnya Tuan Besar gugur, karena kondisinya semakin parah.

Tentu saja Anthony membalas dendam dengan mengumpulkan orang-orang yang masih setia kepadanya. Pada akhirnya pertarungan dimenangkan oleh Anthony, namun dia malah mengundurkan diri menjadi Tuan Besar dan memberikan jabatan itu pada Asad.

Memang pada kenyataannya, Anthony tidak pernah menginginkan posisi itu, jadi dia dengan ringan tangan memberikan posisi itu kepada Asad. Karena bagaimanapun, Anthony punya prinsip tersendiri.

"Aku sedang malas berdebat, James." Anthony mengusap rambutnya, "Dan berhentilah ceramah sok bijak. Kau juga penjahat dalam cerita ini. Kau adalah pembunuh bayaran no satu di Asia Pasifik bahkan sebelum usiamu dua puluh tahun. Lima puluh tahun terakhir, berapa orang yang kau bunuh dengan pistolmu, heh?"

"Aku tidak akan membantahnya. Itu benar. Aku membunuh banyak orang. Tapi setidaknya aku penjahat yang berbeda. Aku memiliki prinsip."

James mengangkat kedua tangannya, mencoba bergaya. Dia memang eksentrik. Lihatlah tampilannya pagi ini, hanya bercelana pendek, kaos oblong, sendal jepit. Perut buncitnya terlihat. Dia lebih mirip kakek tua penjaga toko kelontong. Tidak akan ada yang bisa menebaknya sebagai seorang pembunuh bayaran ternama. Penembak pistol terbaik.

"Astaga!" Anthony menepuk pelan dahi. Lupakan saja, dia meraih kue ringan di atas piring.

Lima menit lengang. Mereka bedua asyik sarapan. Suara klakson jeepney semakin sering terdengar, menurunkan sekaligus menaikkan penumpang, jalanan tambah padat. Pembeli bermunculan dari ujung jalan.

"Aku tidak tahu harus meminta bantuan selain kau, James." Anthony menghela napas pelan, kue-kue kecil di atas piring menyisakan bungkusnya, "Sedikit sekali orang yang bisa bicara baik-baik dengan Alexander. Kau salah satunya, Alexander selalu menghormatimu."

"Tidak juga. Kau bisa meminta bantuan Inagawa-Kai. Dia dengan senang hati_"

"Gila." Anthony menggeleng, memotong, "Itu ide gila. Sekali Eiji atau istrinya (Ayumi) mendengar acara pertunangan itu, dia sendiri yang akan menyeretku ke Moskow. Ayumi akan semangat sekali menyiapkan jas, seserahan, bahkan menyewa tim khusus mendandaniku. Kau tahu sendiri, Ayumi sejak dulu ingin melihatku menikah."

James terkekeh lagi. Eiji Inagawa adalah kepala mafia penguasa Underworld di Jepang. Keluarga mafia itu dekat dengan keluarga mafia Nine Dragons sejak lama.

Anthony menatap kakek tua di sampingnya, "Setidaknya bantulah aku karena kita berteman, James."

James menggeleng, "Kita tidak pernah berteman, Anthony. Kau adalah muridku. Hubungan kita murid-guru. Hanya murid kurang ajar saja yang memaksa gurunya."

Anthony terdiam. Urusan ini, kenapa menjadi menyebalkan sekali.

"Atau setidaknya bantu aku menjelaskan ke Alexander agar urusan ini biarlah berjalan secara alami. Berikan waktu tambahan agar aku dan Natalia bisa lebih mengenal satu sama lain. Tidak harus baru-baru. Rencana pertunangan itu bisa di tunda beberapa bulan. Aku akan mengusahakan sering bertemu dengan Natalia, mengobrol, bersamanya. Setidaknya, bisakah ini berjalan normal seperti orang lain?"

James tersenyum, "Nah, seharusnya sejak tadi kau bicara seperti itu, Anthony. Kali ini kalimatmu lebih masuk akal. Bukan mendadak muncul, meminta semua dibatalkan. Heh, gadis itu cantik, pintar. Dan dia menyukaimu. Alexander tidak berniat jahat menjodohkan kalian."

Anthony menghembuskan napas pelan.

"Baik. Jika demikian, aku akan menemanimu pergi ke acara pertunanganmu itu. Semoga aku bisa bicara dengan Alexander agar dia mau mengundurkan acara pertunangan itu. Tapi ada syaratnya." James berdiri.

"Syarat apa lagi?"

"Salah satu muridku akan ikut." James membuka pintu teras, kepalanya melongok ke dalam bangunan, berteriak kencang, "BATA! Ke teras sekarang juga!"

Ruko tempat tinggal James menyatu dengan aula besar di belakangnya. James membeli lahan luas di sana, menjadikannya tempat latihan menembak pistol. Meskipun hanya terletak di ruko padat, kumuh dan juga becek, jangan salah, itu tempat latihan menembak pistol paling elit di Asia Pasifik. Melahirkan penembak pistol terbaik.

Ada dua program di latihan milik James. Resmi, itu berarti pesertanya penduduk sipil, juga beberapa perwira polisi, militer, menggunakan pistol yang terdaftar, berlisensi. Tidak resmi, itu artinya puluhan murid yang berasal dari jalanan. Anak-anak terlantar, pemulung, yatim piatu, pengasong, pencopet, James memberikan mereka tempat tinggal sekaligus mendidiknya. Jangan tanya dari mana pistolnya. Dia punya 'pasukan' penembak pistol di Manila.

Suara tangga yang di naiki terdengar berderak.

Sejenak, seseorang muncul di teras. Laki-laki usia belasan tahun, masih muda sekali. Tubuhnya tinggi_mungkin setinggi Anthony. Postur tubuhnya gagah. Rambutnya berombak. Dia lebih mirip aktor top Korea. Bedanya, dia tidak memakai bedak atau lipstik, anak satu ini santai mengenakan celana pendek dan kaos oblong. Tampilannya mirip dengan James, seperti pegawai kakek tua pemilik toko kelontong. Wajah belianya menatap antusias. Matanya hitam berkilat. Mata milik seseorang yang kokoh.

"Dia Si Harimau Sumatera. Beri hormat, Bata."

Anak muda itu membungkuk dalam-dalam. Tidak banyak bicara.

Anthony tersenyum tipis, mengangguk.

"Kau akan ikut denganku bepergian, Bata. Siapkan perbekalan. Lima menit."

Bata mengangguk. Sekejap, lagi-lagi tanpa bicara sepatah kata pun, dia sudah balik kanan, menuruni anak tangga.

"Bagaimana mungkin kau mengajak anak kecil itu, James?" Anthony separuh bingung, separuh keberatan, "Perjalanan ini boleh jadi berbahaya. Kita tidak tahu respons Organizatsya. Alexander boleh jadi tersinggung dan mengamuk."

"Justru itulah aku mengajaknya." James melambaikan tangan dengan santai. Mulai melangkah menuruni tangga, "Anak itu spesial. Dia berbakat besar dalam menembak."

"Usianya paling baru delapan belas_"

"Memang. Tapi itu bukan masalah. Dia akan berguna. Dia ikut, itu keputusanku."

Anthony merutuk dalam hati. Tidakkah James tahu, beberapa waktu lalu, Anthony juga mengajak seorang anak laki-laki usia tujuh belas tahun, Rusdi namanya. Sangat berbakat. Sangat menjanjikan. Putra satu-satunya Tukang Pukul kepercayaan di kota provinsi. Anthony mengenal keluarganya, itu pilihan yang brilian. Dia sengaja merekrutnya agar besok lusa mafia Nine Dragons memiliki penerus yang baik. Tapi apa yang terjadi? Bahkan sebelum Rusdi menginjakkan kaki di Ibukota, salah satu penembak jitu membenamkan peluru di kepalanya persis saat keluar dari pesawat jet pribadi. Rusdi tewas untuk melindungi Anthony. Ingatan itu masih kental di memory Anthony. Dan sekarang, Bata?

"Heh, Anthony, kita jadi berangkat atau tidak?" James berseru, menoleh ke anak tangga. Dia telah mengenakan topi anyaman. Gaya khasnya saat bepergian.

Dari ruangan lain, Bata terlihat menyeret dua koper. Dia telah selesai berkemas. Cepat sekali. Atau boleh jadi, koper-koper itu memang selalu siap dibawa. James sering bepergian mendadak.

"Jangan sampai aku terlanjur berubah pikiran. Kau urus sendiri Alexander sana!"

Anthony menelan ludah, menuruni tangga. Melintasi lantai bawah bangunan, menuju pintu. Kemudian bersisian bersama James menuju mobil sedan yang terparkir di antara jeepney dan pengunjung pasar tumpah. Bata berjalan di belakang.

"Omong-omong, Anthony. Aku minta maaf soal kalimatku tentang kau bukan temanku." James menoleh, tiba di samping mobil.

Anthony balas menoleh.

"Kau memang bukan temanku, Anthony. Kau adalah keluargaku. Yeah, begitulah, keluarga yang sangat merepotkan." James tertawa kecil, membuka pintu.

Anthony ikut tertawa, membuka pintu satunya.

Mobil sedan berwarna hitam mengilap itu segera melaju di antara payung warna-warni yang terkembang, menuju bandara.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel