Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8

Bab 8

"Nggak usah nangis," cibir Joshua ketika sudah keluar dari ruang ganti.

Secepat mungkin Sarah mengusap wajahnya lalu menarik ingusnya yang keluar. "Aku, aku nggak nangis kok," elak Sarah.

Suara parau itu tentunya tidak bisa membohongi Joshua. Joshua kemudian berjalan mendekat, berdiri di hadapan Sarah yang kini tengah memunguti lembaran uang yang berserakan di lantai. Sarah kembali menata lalu memasukkannya lagi ke dalam amplop, sementara Joshua tetap berdiri melipat kedua tangan seraya menaikkan satu ujung bibirnya.

Ketika Sarah berdiri, Joshua langsung merebut amplop itu dari tangan Sarah. "Kamu mau menerima uang ini?" Joshua mengangkat amplop itu tinggi-tinggi.

Sarah langsung kembali merampasnya. "Tentu saja. Itu gajiku selama satu bulan, tahu!"

Dan amplop itu kembali berpindah di tangan Joshua. "Aku bisa memberi kamu lebih banyak dari ini."

Joshua menjauh dari Sarah, berjalan menuju balkon. Sampai di sana, Joshua membuka amplop tersebut lalu membalikkan posisinya hingga uang itu merosot berjatuhan. Dari dalam kamar, Sarah ternganga dengan mata membulat sempurna. Ia yang begitu terkejut sampai spontan mengangkat kedua tangannya dan berakhir mendarat pada bibirnya mulutnya yang terbuka.

"Hei! Apa yang kamu lakukan!" teriak Sarah kemudian yang langsung menyusul Joshua.

Bersamaan dengan uang itu melayang di udara, saat itu juga Ben melintas di bawahnya. Saat satu lembar uang jatuh di atas kepala, Ben langsung mendongak. Lembaran uang itu berjatuhan menabrak wajah Ben dan terlihat dari pandangannya ada Joshua di atas sana dengan seringaian picik.

"Apa-apaan ini!" Gerutu Ben.

Ben sudah menunduk memandangi lembaran uang itu yang sudah mendarat di berbagai tempat.

"Ada apa, Ben?" tanya Toni ketika sampai di teras.

Ketika Toni maju, ia mendapati apa yang sedari tadi membuat Ben tertegun. Lalu saat kepala mendongak ke atas, sudah tidak ada Joshua di sana.

"Uang siapa ini, Ben?" tanya Toni.

"Nggak tahu." Ben melengos kemudian masuk ke dalam mobilnya.

Toni yang bingung sedikit maju kemudian membungkuk--memungut selembaran uang itu--kemudian memeriksanya. "Ini uang asli," katanya seraya membolak-balik.

"Guntur!" seru Toni tiba-tiba.

Guntur, alias penjaga rumah tergopoh-gopoh berlari keluar memenuhi panggilan dari tuannya.

"Ada apa, Tuan?" Guntur membungkuk. Posisi tersebut membuat Guntur terheran-heran melihat ada lembaran uang yang berserakan di hadapannya.

"Pungut uang itu. Kamu bisa membaginya dengan pelayan lain," ujarnya tegas. "Sepertinya ada orang gila yang sudah nggak butuh duit," lanjutnya mencibir.

Tanpa perlu banyak bertanya, Guntur segera menjalankan perintah tuannya memunguti uang tersebut. Sementara Guntur sedang memunguti, Toni mendesah berat lalu masuk ke dalam mobilnya.

Akhir-akhir ini ada-ada saja hal yang membuat keadaan rumah terlihat kacau.

Setelah terpungut semua, Guntur toleh kanan kiri untuk memastikan keadaan sekitar. Bukan Guntur mau mengambil uang itu untuk diri sendiri, melainkan hanya ingin menghitung berapa banyaknya uang tersebut.

"Hei!" kejut Niah dari arah belakang.

"Eh bangke, bangke ayam!" Kedua tangan Guntur terangkat membuat Niah cekikikan.

"Kamu tuh ya! Ngagetin saya!" dengus Guntur.

"Maaf, deh! Nggak sengaja kok." Niah tersenyum sembari meliuk-liukkan badan. "Lagian ngapain sih, di sini?"

"Nih!" Guntur menunjukkan setumpuk uang yang berada dalam genggamannya.

"Uang?" Niah membulatkan mata. "Uang siapa itu?" Mata Niah berbinar terang ketika melihat uang. "Buat aku ya, Kang Guntur."

"Sembarangan!" Dengan cepat Guntur menarik tangan dan mencengkeram uang tersebut lebih kuat.

"Lalu?"

"Tuan meminta saya untuk membagikan ke yang lain juga," jelas Guntur.

"Niah dapat dong ya?" Niah meliuk lagi dengan nada bicara manja seperti biasa.

Guntur menerobos masuk ke dalam. "Iya."

Sementara di dalam kamar, Sarah sedang merengut melihat tingkah Joshua yang gila. Dia ingin meradang, tapi tidak tahu harus mulai dari mana. Belum lagi melihat Joshua yang santai seolah tidak merasa bersalah.

"Itu gajiku satu bulan, tahu!" sungut Sarah lagi.

"Ya, aku sudah dengar kamu bilang begitu tadi," sahut Joshua santai. "Sebaiknya kita bicara tentang hal yang tertunda sejak kemarin." lanjutnya.

"Nggak mau!" tolak Sarah sambil membuang muka. Ingin rasanya menangis, tapi entah kenapa mata ini tidak mau menurunkan hujan. Yang Sarah rasakan hanya kesal dan kesal. Pokoknya sangat kesal!

"Memang siapa yang mengizinkan kamu untuk menolak?" kata Joshua santai.

Joshua berjalan tenang menuju sofa. Ketika sudah duduk, dia menepuk ruang kosong di sampingnya lantas menyuruh Sarah segera ikut duduk.

"Nggak mau!" Sarah masih memalingkan wajah dan justru duduk di tepi ranjang.

"Oh, atau mau aku paksa?" Joshua berdiri lagi dan melotot tajam.

Sarah berdecak sambil mengentakkan kaki bergantian. Sifat manja yang dulu selalu ia tunjukkan hanya di hadapan orang tuanya, kini bisa muncul di hadapan pria yang sudah berstatus menjadi suaminya.

"Astaga kenapa dia bisa imut begitu?" batin Joshua.

Sarah kini sudah ikut duduk di sofa yang tadi ditepuk-tepuk oleh Joshua. Wajahnya masih merengut dan bibirnya nampak manyun seperti moncong bebek.

"Apa kamu selalu seperti itu?" tanya Joshua.

"Ha?" Sarah mengerutkan kening.

"Tidak apa. Tidak usah dibahas," tepis Joshua. "Kita langsung bahas saja yang lain."

Sarah mendengkus dan memutar bola mata jengah. "Terserah kamu."

Joshua berdehem sambil mengusap ujung hidung dengan siku jari telunjuk sebelum mulai pembicaraan. Di sampingnya, Sarah cukup enggan jika harus berdiskusi apa pun dengan Joshua, tapi karena harus, ya Sarah nurut saja.

"Kamu tahu status kamu apa sekarang, kan?" tanya Joshua.

Sarah mengangguk. "Aku adalah wanita menyedihkan yang terperangkap dengan orang gila."

Spontan Joshua melotot dan mengeraskan rahang membuat Sarah memalingkan wajah seraya menggigit bibir bawah.

Sial! Kenapa dia sangat mengerikan kalau sedang melotot!

Sarah sedang gedumel dalam hati sampai tidak sadar jemarinya mulai pegal karena cukup keras ia memilin-milinnya.

"Kamu sekarang adalah istriku. Apa pun yang mau kamu lakukan harus atas dasar ijinku. Kamu paham?" Joshua menaikkan kedua alisnya.

Sarah mengangguk saja. "Terus?"

"Aku minta kamu lupakan apa yang pernah aku lakukan sama kamu malam itu," lanjut Joshua.

"Enak saja!" sembur Sarah sambil berkacak pinggang dalam posisi duduknya. "Kamu sudah membuatku kehilangan milikku. Seenak jidat kamu minta aku melupakannya."

Joshua menghela napas panjang. Kini dia mulai tahu bagaimana sifat Sarah yang cenderung lebih suka merengek dan tidak mau disalahkan. Itu semua adalah info yang Joshua dapat dari kedua orang tua Sarah.

Bagaimana bisa? Sejak kapan Joshua bicara dengan kedua orang tua Sarah?

"Terus kamu maunya gimana?" tanya Joshua. "Kembali sama Ben? Cih!" Joshua menjulingkan mata.

"Kamu tuh, ya!" Sarah spontan mengangkat satu tangan dan hendak melayangkan satu pukulan untuk Joshua. Ketika Joshua sudah mengatupkan mata, saat itu juga Sarah kembali menarik tangannya. "Maaf."

Joshua perlahan membuka mata dan setelahnya melotot kemudian menjitak kening Sarah.

"Aw!" jerit Sarah sambil menunduk. "Kenapa aku dijitak?"

"Karena kamu membuatku kesal. Ish!" Joshua mengeratkan gigi dan dua bibirnya terbuka saat mendesis kesal.

Sarah kembali memanyunkan bibir seperti moncong bebek. Tingkah konyol itu tentu membuat Joshua merasa gemas tapi tetap harus ia tahan.

"Cukup," tekan Joshua berikutnya. "Aku hanya ingin bicara serius di sini."

Sarah angkat bahu kemudian menjatuhkannya. "Ya, silakan."

"Intinya, layani aku yang sekarang sudah menjadi suami kamu. Siapkan aku pakaian, sarapan, makan malam atau apa pun yang semestinya dilakukan oleh sang istri."

Glek!

Sarah menelan ludah karena pikirannya yang dangkal mulai terbayang-bayang dengan hal intim. Apa maksudnya tentang melayani di atas ranjang?

Oh no!

Sarah tiba-tiba menjerit membuat Joshua spontan menutup mata dan telinga dengan kedua tangannya.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel