Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9

Bab 9

"Joshua nggak nyakitin kamu kan?" tanya Mita pada sang putri.

Sarah duduk di sofa seraya memangku bantal persegi, lalu menggeleng. "Nggak sih, cuma kadang dia menyebalkan."

Mita tersenyum tipis kemudian duduk bergeser lebih dekat. "Dia memang begitu. Joshua kadang acuh kadang juga lembut. Tapi percaya deh, dia nggak galak kok."

Sarah menaikkan satu alisnya. "Sepertinya mama tahu banyak tentang Joshua?"

"Nggak juga," elak Mita. "Mama cuma tahu dari besan mama."

Sarah membulatkan mulut lalu mengangguk-angguk.

"Oh iya ..." belum sempat lanjut bicara, pelayan datang membawa dua gelas minuman dan sepiring bolu potong.

"Kenapa, Ma?" tanya Sarah setelah pelayannya kembali ke ruang belakang. Saat itu, Sarah juga udah meraih satu potong bolu dan menggigitnya.

"Itu ... tentang Ben. Dia nggak macem-macem sama kamu kan?"

Pertanyaan Mama membuat Sarah kembali menaikkan satu alisnya. Bolu yang hendak ia gigit bahkan menjauh dan urung masuk ke dalam mulut. "Memangnya kenapa?" tanyanya.

"Nggak apa-apa, mama cuma khawatir kalau Joshua nggak jagain kamu dengan baik."

Sarah memanyunkan bibir seraya menepuk-nepuk pelan bantal yang ada di atas pangkuan. Joshua memang tidak pernah melukai selama menikah satu bulan ini. Semua terlihat normar seperti rumah tangga pada umumnya. Sarah, dia selalu menyiapkan pakaian dinas, sarapan dan keperluan lain untuk Joshua.

Hanya saja, terkadang Sarah merasa risih ketika berpapasan dengan Ben yang bertingkah seperti tidak saling mengenal saja. Belum lagi, terkadang Ben sesekali memberi sindiran masam yang menyinggung perasaan Sarah.

"Sarah," panggil Mita. Sarah tidak mendengar karena masih termenung.

"Sarah." Sekali lagi Mita memanggil dan kali ini menepuk pundak Sarah.

"Eh iya, Ma, ada apa?" celetuk Sarah cepat.

"Kamu ngelamun?" tanya Mita.

Sarah meringis sambil garuk-garuk tengkuk. Ada banyak hal yang sering membuat Sarah melamun, termasuk dengan sikap Ben yang masih acuh. Sarah hanya berharap setidaknya bisa menjadi ipar yang baik kalau tidak ditakdirkan bersama. Akan tetapi, sepertinya Ben tidak suka hal itu. Ada lagi yang terkadang membuat Sarah terheran-heran, hal itu mengenai Joshua yang sampai sekarang belum menyentuhnya. Maksudnya tentang sentuhan yang lebih intim.

Oh, jadi intinya Sarah menginginkan itu dari Joshua? No!

Suara asing terdengar berteriak di kepalanya hingga membuar Sarah bergidik dengan cepat dan beberapa kali menepuk kedua pipinya.

"Kenapa, Sayang?" tanya Mita heran.

"Nggak, Ma. Nggak kenapa-kenapa kok," sergah Sarah. "Oh iya, Ma? Boleh aku tanya?" lanjutnya.

"Boleh ..."

Sarah menggosok-gosok dagu dengan punggung telapak tangan. Wajah terlihat ragu untuk bicara mengenai apa yang sejak lalu mengganjal di hatinya.

"Apa, Sayang?" tegur Mita.

"Emm, itu ... tentang hal sensitif." Sarah mengangkat tangan dan menyatukan ibu jari dan telunjuk. "Apa nggak apa-apa?"

"Tentu saja nggak apa-apa. Kan kamu ceritanya sama mama."

Sarah menghela napas lega, setelahnya melempar senyum. Lalu bibirnya yang lebih tebal di bagian bawah mulai bergerak.

"Apa setelah kejadian waktu itu ... aku, aku akan hamil?"

Glek!

Mita tertegun sambil menelan ludah seketika. Memang ini adalah hal yang sensitif untuk dibicarakan. Saat Mita tak kunjung memberi jawaban, wajah Sarah sudah mulai datar. Mita yang sadar akan hal itu segera berdehem dan terkesiap.

"Kenapa kamu tanya hal itu?" tanya Mita.

Sarah menggeleng. "Enggak, aku hanya heran. Yang kutahu setiap orang yang berhubungan badan pasti akan hamil, tapi sudah satu bulan lebih sepertinya nggak terjadi apa-apa."

Mita tersenyum kecut sambil sekilas membiang muka untuk menggigit bibir karena agak bingung untuk menjelaskan hal ini pada Sarah.

Mita kemudian kembali berdehem dan menatap Sarah pakem. "Jadi begini, nggak semua wanita akan langsung hamil. Terkadang ada yang prosesnya lebih lama."

Sarah mengangguk-angguk paham.

"Kenapa kamu tanya hal itu, Sayang?" tanya Mita lagi.

Sarah tersenyum tipis dan menundukkan wajah sebentar. Ia kembali mendongak berbarengan dengan menarik napas dalam-dalam. "Aku hanya berpikir, mungkin dulu aku nggak usah langsung menikah dengan Joshua. Toh nggak ada yang perlu dipertanggung jawabkan kan?"

Mita melihat ada kesedihan di wajah Sarah saat mengucapkan kalimat panjang tersebut. Mita tahu perasaan Sarah. Sarah hanya masih belum mengerti mengenai hal yang lebih sensitif karena sebelumnya tidak pernah menjalin hubungan dengan siapa pun selain Ben.

"Nggak begitu konsepnya, Sayang." Mita meraih pipi Sarah. "Joshua yang sudah melakukannya, maka dia wajib bertanggung jawab atas itu. Dengan kata lain, kamu adalah tanggung jawab Joshua sekarang. Mengenai hamil atau enggaknya, itu bukanlah alasan untuk kalian nggak bisa bersatu."

Sarah belum seratus persen mengenai hal itu, tapi Sarah tidak mau membahasnya lagi. Selain waktu sudah mulai sore, sepertinya membicarakan hal ini juga akan percuma karena status Sarah sudah menjadi milik Joshua.

***

Sampai di rumah, Sarah sudah disambut masam oleh sang suami. Dan sialnya, Sarah disambut tepat di depan pintu kamar. Sarah melihat sang suami bersandar miring di sama sambil melipat kedua tangan.

Uh! Tatapan itu yang paling Sarah benci. Hanya saja entah kenapa tidak bisa begitu benci. Cukup dengan kata benci saja. Ah, sudahlah!

"Dari mana kamu?" tanya Joshua.

"Rumah," jawab Sarah singkat.

"Jangan biasakan pulang sampai petang." Joshua berbalik badan lantas masuk ke dalam kamar.

Dari belakang, Sarah melenggak menyusul ikut masuk. "Aku sudah biasa, sewaktu masih kerja," jawabnya seraya menutup pintu.

Joshua menoleh. "Tapi sekarang kamu pengangguran. Aku nggak ngizinin kamu pulang sendirian sampai petang. Itu bahaya."

Apa dia sedang mengkhawtirkanku?

Sarah memandang tanpa berkedip lalu tak terasa bibirnya menyungging senyum.

"Nggak usah kepedean. Aku hanya nggak mau mama ngomel karena nggak becus jagain kamu."

Gubrak!

Senyum tipis itu seketika sirna. Sarah membuang napas kasar lalu melenggak usai menghentakkan kaki. Sempat juga Sarah mendecih sebelum masuk ke dalam kamar mandi.

"Tentu saja aku mengkhawatirkan kamu. Kamu kan istriku!" gerutu Joshua sambil melenggak keluar meninggalkan kamar.

Baru saja menutup pintu, terlihat Ben melintas di hadapannya. Seperti biasanya, dia nampak acuh dan tentu saja Joshua tidak mau peduli.

Ben sampai lebih dulu menuruni anak tangga sementara Joshua ada di belakangnya berjarak sekitar satu meter.

"Kenapa elo nglakuin ini sama gue?" Ben mendadak berhenti dan menoleh.

Joshua ikut berhenti. "Harusnya elo udah tahu alasanya kan?"

"Apa ini tentang Sonya?" tanya Ben.

"Itu salah satunya,"

Ben mendengkus dan sedikit mengerutkan wajah. "Elo tahu kalau gue nggak suka sama Sonya. Kalau itu alasannya, elo terlalu kejam!"

Joshua melangkah turun hingga sejajar berada di hadapan Ben. "Elo pikir cuma itu? Nggak!"

"Apa maksudnya?" Ben meraih pundak Joshua. "Gue tahu elo cemburu karena Sonya lebih menyukai gue. Tapi yang harus elo tahu, gue bahkan sedikitpun nggak ada hati untuk dia."

"Terserserah!" tepis Joshua. "Semua itu sudah nggak penting karena sekarang gue sudah menikah."

"Tapi yang elo nikahi itu pacar gue! Elo ngerebut dia dari gue!" Ben mulai menyalak. "Elo ngerusak hubungan orang."

Joshua tidak peduli dan pergi begitu saja meninggalkan Ben yang masih di anak tangga. Dalam posisinya saat ini, Ben hanua bisa mengeraskan rahang dan mengepalkan kedua tangan.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel