Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7

Bab 7

Rasanya hangat, lembut seperti sentuhan kapas. Sarah merasakan dirinya sudah tersenyum dan jatuh dalam sentuhan itu. Sebuah sentuhan yang terasa nyata, tapi juga hanya seperti bayang-bayang. Jemari kekar tapi halus itu, kini menyentuh bibir kenyalnya yang merah muda. Samar-samar, Sarah melihat wajah gagah itu tidaklah asing.

Sarah semakin jatuh ke dalam merasakan mimpinya yang begitu nyata. Belaian itu terus menjalar membuat dada berdegup kencang.

Oh, jangan yang itu!

Sarah memekik saat merasakan sentuhan itu menyentuh miliknya yang membulat indah. Bersamaan dengan itu, bola mata pun terbuka lebar. Sarah menjerit sekali lagi dan terkesiap duduk menyudut pada sandaran ranjang.

"Ka-kamu?" Sarah mendaratkan lengan di dada untuk menutupi miliknya yang hampir terlihat karena kancing piama sudah terlepas.

Di hadapannya, kini duduk sang suami yang memasang wajah aneh. Wajah terlihat tampan hanya saja ada gambaran mengerikan di sana. Sebelum Sarah kembali berkata, Joshua sempat menyeringai.

"Apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Sarah masih dengan memeluk kedua lututnya.

Joshua menaikkan satu alisnya. Mata berlensa biru itu memberi tatapan aneh pada Sarah. "Aku suami kamu. Aku berhak melakukan apa pun sama kamu," jelasnya.

Sarah menelan ludah dan semakin mengeratkan pelukannya. "Aku mohon ..."

Joshua menurunkan kedua kakinya dari atas ranjang sambil tertawa. Sarah yang melihat hal itu hanya mengerutkan dahi. Setelah kedua kaki menapak di atas lantai, tawa itu berhenti menjadi tatapan aneh lagi. Hanya saja tatapan kali ini seperti sedang mengintimidasi.

"Katakan, apa kamu menangis?" tanya Joshua.

Sarah tertegun dan beberapa detik tidak berkedip. Sarah terkejut dengan pertanyaan itu. Secepat mungkin Sarah mengusap-usap wajahnya sambil membuang muka.

"Apa bekas semalam masih ada?" batin Sarah sembari terus mengusap wajahnya dan mengucek-ucek matanya. "Mungkinkan mataku lebam?" lanjutnya masih dalam hati.

"Nggak usah diumpetin begitu," Sindir Joshua.

Sarah menoleh dengan cepat. Ia sekali lagi meraup wajah lalu menyelipkan rambut pada sisi kedua telinganya. "Aku nggak nangis. Mungkin kurang tidur."

Joshua kembali tertawa kemudian menepuk kedua paha seraya mengela napas. "Kamu pikir aku nggak tahu?"

Sekarang Joshua melangkah ke arah meja rias dan berdiri di sana sambil melepas kancing kemejanya satu persatu. "Apa seburuk itu menikah denganku?" tanyanya tanpa menoleh.

Sarah mendongak lagi, menatap lurus. "Apa maksud kamu?"

Sementara Joshua masih memunggunginya, Sarah kembali menunduk mengancing piamanya yang tadi sempat terlepas karena ulah Joshua. Sepertinya sih, begitu. Sarah hanya masih merasa kalau yang ia rasakan tadi masih sekedar mimpi.

Dan tunggu! Bukankah Joshua sedang ada di luar kota? Kenapa sepagi ini sudah berada di rumah?

Joshua berbalik sambil melepas kemejanya hingga menampakkan dadanya yang bidang memamerkan setumpukan roti sobek yang menggiurkan.

Glek!

Sekali lagi Sarah menelan ludah. Sebelum Joshua menyadari kalau sedang ditatap penuh kekaguman, Sarah segera membuang muka.

"Apa kamu begitu cintanya pada Ben?" tanya Joshua lagi.

Sarah masih belum paham maksud pertanyaan itu. Peduli apa Joshua dengan perasaan Sarah sampai harus menanyakan hal itu?

"Kok diam?" Joshua semakin melangkah maju. Dada yang terbuka itu membuat Sarah kembali menelan ludah saat kemeja sudah terlempar ke dalam keranjang.

"Kenapa tanya hal itu? Apa pentingnya untuk kamu?" Tanya Sarah balik. "Dan ... em, tolong pakailah dulu bajumu. Aku nggak terbiasa dengan ini."

Joshua tidak peduli kalimat Sarah dan justru melangkah semakin maju. Seketika Sarah kembali menyudut dan menekuk kedua lututnya lagi.

"Apa aku seperti monster?" Joshua memicingkan mata.

"A-apa?"

"Kamu bahkan terlihat begitu takut melihatku."

"Oh, itu ..." Sarah sesaat membuang muka hingga kemudian berdehem. "Itu tentu karena kamu memang seperti monster. Kamu sudah memperkosaku hingga membuat hubungan aku sama Ben hancur. Dan ... kamu harusnya sadar betapa bejatnya kelakuan kamu!"

Sarah yang semula menyudut dan lebih tenang, mendadak menaikkan badan bertumpu pada kedua lutut di atas ranjang. "Kamu sangat kejam!"

Joshua mendecih dan memalingkan wajah--kembali memunggungi--lalu melenggak ke arah kamar mandi. "Kamu pikir dengan menikah sama Ben, kamu akan bahagia?"

Sarah tidak sempat membalas kalimat itu karena Joshua sudah menghilang masuk ke dalam kamar mandi.

"Apa yang dia katakan?" gumam Sarah. "Kenapa bilang kaya gitu?"

***

Sarah sudah turun dari atas ranjang. Dia menuju ruang ganti untuk mengambil pakaian ngantor hari ini. Harusnya kemarin dia pergi ke rumah ayah dan ibunya, tapi karena merasa kesal dengan para wanita yang datang menemui Ben di kantor, membuat Sarah urung.

"Aku nggak peduli dengan perlakuan Ben padaku akhir-akhir ini. Aku hanya mau profesional saja dalam bekerja," tegas Sarah dengan suara pelan.

Baru saja keluar dari ruang ganti, terdengar seseorang mengetuk pintu kamar. Sarah meletakkan pakaiannya lebih dulu di atas sandaran sofa sebelum beranjak membukakan pintu.

"Ben?" ucap Sarah saat pintu sudah terbuka. "Ada apa?"

Ben tidak berekspresi sama sekali selain bermuka masam dan datar. "Ini," katanya sambil mengulurkan sebuah amplop putih.

Sarah tidak langsung menerima amplop tersebut. "Apa itu?" Sarah sudah menatap aneh.

"Terima saja." Ben mendorong amplop itu hingga mendarat di dada Sarah. Sarah langsung mundur dan menerima dengan cepat.

Sifat Ben yang sekarang, sungguh tidak bisa sarah mengerti. Ben menjadi kasar dan tidak berperasaan. Setelah memberikan amplop tersebut, Ben langsung melenggak pergi.

"Apa ini?" Sarah mulai membolak-balik amplop itu dengan perasaan yang sudah tidak nyaman.

Sarah belum juga berpaling dari amplop itu meski sedang menutup pintu dan berjalan kembali masuk ke dalam kamar. Sungguh perasaan sudah tidak nyaman, membuat ragu untuk lekas membuka amplop tersebut.

"Kenapa?" tanya Joshua heran.

Sarah sampai melupakan keberadaan Joshua karena terlalu fokus dengan amplop tersebut. Sarah bahkan tidak terlalu menghiraukan Joshua yang saat ini hanya memakai handuk yang melingkar di pinggan saja.

"Nggak tahu. Ben yang ngasih," jawab Sarah.

Joshua mendecih. "Sepertinya Ben sudah nggak butuh kamu lagi di kantor."

Sarah menoleh dan saat itulah baru menyadari kalau Joshua sedang bertelanjang dada. Secepat mungkin Sarah pun memalingkan wajahnya.

"Aku nggak ngerti maksud kamu," acuh Sarah.

"Kalau gitu, buka saja. Nanti kamu pasti mengerti isinya." Joshua pergi masuk ke dalam ruang ganti.

Sarah kembali menatap amplop tersebut dan perasaannya semakin tidak nyaman. Sarah kemudian mulai menarik tutup amplop tersebut hingga lembaran kertas yang terlipat di dalamnya terlihat. Dan Sarah terkejut saat mendapati ada lembaran uang yang cukup banyak di dalamnya.

"Apa ini?" Tangan Sarah sudah gemetaran.

Perlahan Sarah meraih lembar kertas itu lalu membuka lebar-lebar. Bola matanya bergerak-gerak mengikuti barisan kecil warna hitam dalam lembaran tersebut.

"A-aku, aku dipecat?"

Sarah ternganga tidak percaya. Ia sampai beberapa kali memastikan dengan membaca kembali tulisan itu hingga matanya terasa perih dan samar-samar.

"Dia, dia benar-benar memecatku?"

Air mata kembali menitik dan lembaran itu melayang jatuh ke atas lantai. Kemudian, tidak lama setelah itu, disusul amplop yang berisikan lembaran uang. Sarah hanya bisa ternganga tidak percaya kalau Ben sampai tega memecatnya tanpa ada alasan yang jelas.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel