Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6

Bab 6

Joshua sedang berada di luar kota menemui seseorang. Karena terlalu buru-buru dan mendadak, sepertinya Joshua tidak pulang sekak perginya tadi pagi. Di sini, dia di temani seorang wanita cantik yang sudah lama ia percaya untuk membantu bisnisnya.

Di sebuah restoran dekat pantai, kini mereka sedang berbincang sambil menikmati pemandangan sunset dan juga ditemani coklat hangat dan camilan ringan.

"Mohon maaf kalau saya sampai di sini menjelang sore." Joshua menjabat tangan Tuan Bastian kemudian ikut duduk.

"Nggak pa-pa. Salah saya juga karena ngabarin mendadak," balas Tuan Bastian.

Tidak lama kemudian makanan datang. Beberapa menu dihidangkan di atas meja bulat. Mereka lebih dulu menyantap makan malam barulah berikutnya membahas bisnis.

Masih menikmati makan malamnya, ponsel Joshua berdering. Joshua yang sedang mengunyah makanan, merogoh saku celananya.

"Permisi Tuan. Saya angkat panggilan dulu," pamit Joshua sambil berdiri.

"Ya, silakan." Tuan Bastian mempersilahkan.

Joshua berjalan sedikit menjauh dari restoran. Dia keluar hingga langkahnya menyentuh pasir. Deru ombak dan angin yang berembus, membuat suasana malam terasa begitu dingin. Joshua lalu menatap layar ponselnya setelah sebelumnya berhenti berdering dan kini ponsel itu kembali berdering.

"Mama?" lirih Joshua heran.

Joshua menyugar rambutnya yang terkena embusan angin lalu segera mengangkat panggilan tersebut. "Ya, Ma. Ada apa?" tanyanya.

Suara berisik dari balik ponsel membuat Tania sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga. Tania menatap sebentar ponselnya sebelum kembali menempelkan kembali pada daun telinga.

"Kamu di mana, Jo? Kenapa berisik sekali, sih!" tanya Tania dengan nada menyalak.

Di hadapan Tania, saat ini ada Sarah yang sedang duduk. Sarah terdiam memandangi ibu mertuanya yang sedang menelepon. Sebenarnya tidak perlu menelepon Joshua, karena sungguh Sarah akan senang kalau pria itu tidak ada.

....

"Kamu tuh ya! Kenapa keluar kota nggak bilang-bilang?"

....

"Kamu nggak kasihan sama Sarah?"

Seketika Sarah kembali mendongak dengan sedikit mulut terbuka. Sungguh harusnya tidak perlu seperti itu. Sarah akan baik-baik saja tanpa pria itu. Tidak pulang itu akan lebih bagus. Sarah berharap ungkapan dalam hatinya itu terkabul.

Namun, doa itu tidak terkabul begitu saja karena ketika Tania memutus sambungan panggilan, ia meminta nomor ponsel Sarah untuk dikirimkan pada Joshua.

"Untuk apa, Ma?" tanya Sarah. "Nanti malah ganggu. Joshua lagi kerja kan?"

Tania mendengkus kesal. Bukan pada Sarah, melainkan pada sang putra yang dengan tega mengacuhkan istrinya.

"Dia harus sadar kalau sekarang sudah punya istri," tegas Tania.

Sarah hanya bisa tersenyum kecut sambil mengaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.

Karena tidak ada pilihan, Sarah akhirnya mendikte nomor ponselnya dan segera dikirimkan pada Joshua. Tidak lama setelah nomor tersebut terkirim, Ben muncul dari arah ruang tamu. Dia baru pulang, entah dari kantor atau dari mana hanya dia sendiri yang tahu.

"Kamu baru pulang, Ben?" tanya Tania. "Lembur?"

"Hm." Ben acuh.

Sarah semakin merasa kalau Ben memang berniat menjauh. Menoleh sedikit pun rasanya seperti enggan. Di Saat Sarah berdiri, Ben sempat menatap sekilas. Namun, kemudian membuang muka dan melenggak pergi.

Sarah tertunduk dengan wajah sedih. Rasa cintanya pada Ben, tidak berguna lagi saat ini. Tania yang tahu perasaan Sarah, merangkulkan satu tangan dan mengusap pundak dengan lembut.

"Maaf mengenai semuanya," kata Tania penuh sesal. "Mama nggak bisa berbuat banyak."

Sarah tersenyum lalu melepas rangkulan itu dan beralih berdiri menghadap ibu mertuanya. "Nggak usah di bahas lagi. Ini sudah malam, aku tidur dulu ya, Ma."

Tania membalas senyum tipis itu seraya memberi usapan lembut di pipi kanan Sarah. "Ya, Tidurlah."

Sarah berbalik badan. Ia melangkah menaiki tangga dengan mata nanar. Mata bulatnya yang indah, kembali berkaca-kaca menahan luka yang terasa lagi. Mungkin semua terlihat mudah karena terjadi karena tidak kesengajaan, tapi tetap lain karena memang ego masing-masing tidak ada yang sama.

Ben, ia tidak mau memberi kesempatan Sarah untuk menjelaskan. Kedua mertuanya, memutuskan menikahkan Sarah dengan Joshua tanpa berpikir panjang dan meminta pendapat pada yang bersangkutan. Sementara mama dan papa, dia terlalu syok hingga memutuskan untuk menurut saja.

Sungguh tidak adil!

Tidak sadar, Sarah sudah sampai di lantai atas. Dia berjalan menaiki tangga sambil menunduk memandangi kuku kaki yang ia cat dengan warna merah. Begitu kepala terangkat, saat itu juga Sarah terenyak. Tidak jauh dari hadapannya, ada Ben yang tengah bersandar pada ring pembatas sambil memasukkan kedua tangan pada kantong celana.

Mereka saling pandang seperti sedang menebak-nebak isi kepala masing-masing. Mulanya Sarah sudah hendak berbelok menuju kamarnya, tapi tiba-tiba Ben bicara.

"Gimana rasanya menikah, Sarah?" tanya Ben.

Sarah menoleh. "Apa maksud kamu?"

Ben mendekat, melenggak sambil sesekali menatap kakinya yang menendang pelan lantai berwarna putih itu. "Kamu bahagia kan?" tanyanya sinis.

Sarah tersenyum getir. "Bagaimana mungkin aku bahagia sementara aku menikah dengan orang yang harusnya menjadi kakak ipar aku?"

Ben menghela napas lalu meraup wajahnya dan kembali mundur untuk bersandar. "Harusnya kamu tahu gimana perasaanku, Sarah. Kamu tahu aku sangat mencintai kamu, kan?"

"Kamu pikir aku nggak cinta sama kamu!" Sarah menyalak. "Kamu adalah pria pertama yang aku suka."

"Lalu kenapa kamu bisa tidur sama Joshua, Sarah? Kenapa?" Ben sudah maju dan mencengkeram kedua pundak Sarah dan mengguncang cukup keras.

"Katakan, Sarah!" seru Ben lagi.

"Aku nggak tahu, Ben!" jelas Sarah. "Aku hanya ingat ... ingat ka-kalau Joshua ... dia ..."

"Dia apa!" Ben melepas cengkeraman setengah mendorong badan Sarah. "Ah sudahlah! Bilang saja kamu menikmatinya."

Kalimat sindiran itu terlontar lagi dari mulut Ben dengan mudah tanpa hambatan. Sarah sedikit membuka mulut, merasakan getaran pada kelopak mata dan bendungan air mata pun tumpah.

"Kamu mengatakan itu lagi, Ben." Suara Sarah benar-benar sudah parau.

"Memang apa lagi!" seru Ben sambil mengangkat kedua tangan sedikit menaikkan pundaknya. "Memang itu kenyataannya kan?"

Sarah merasakan tubuhnya lemas. Ia sempoyongan hingga mundur bersandar pada pintu kamarnya. Dadanya terasa sakit dan napas tersengal-sengal.

Setelah menekan sedikit dadanya dan menarik napas dalam-dalam, Sarah memberanikan diri maju dan menatap Ben dengan tajam. "Terima kasih karena kamu sudah nggak percaya. Terima kasih juga untuk kalimat kamu yang menjijikkan itu."

Tangan Sarah yang mengacung menunjuk wajah Ben, perlahan mulai mengepal kuat. Begitu mata terpejam dan terasa rahang menguat diikuti dengan napas berat, tangan itu turun dan Sarah masuk ke dalam kamar.

Brak!

Sarah membanting pintu, setelahnya berlari lalu menjatuhkan diri di atas ranjang. Ia tengkurap memeluk satu bantal dan membenamkan wajah di sana seraya membiarkan tangisnya kembali membanjir.

"Aaaaargggh!"

Ben tidak tahan lagi dengan situasi seperti ini. Sampai di dalam kamarnya dia menggeram begitu kuat lalu beberapa kali meninju dinding hingga membuat luka pada setiap siku jarinya.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel