Bab 4
Bab 4
Sarah tidak menyangka kalau Ben bisa berkata kasar padanya. Pria yang selalu ia kagumi dan bangga-banggakan bisa juga berkata seperti tidak dicerna lebih dulu. Ke mana sikap Ben yang selalu lembut?
"Kamu pikir dia baik?" Tiba-tiba Joshua muncul dari balik pintu.
Secepat mungkin Sarah mengusap air matanya. "Apa maksud kamu?"
Joshua menutup pintu lalu melenggak mendekat. Bukan menghampiri Sarah, melain kan menuju ruang ganti. Sebelum masuk, Joshua sempat berkata, "Kamu baru mengenalnya beberapa bulan saja. Sebentar lagi juga kamu bakal tahu watak aslinya."
Sarah terdiam menatap punggung Joshua yang akhirnya menghilang masuk ke dalam ruang ganti.
"Maksud dia apa?" gumam Sarah.
Oke, sekarang lupakan dulu bagaimana sifat Ben saat ini. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul enam pagi dan itu artinya Sarah harus segera bersiap. Setelah Joshua keluar, Sarah menunduk lantas berjalan maju hingga berselisihan. Joshua tidak menggubris hal itu. Dia lebih sibuk memakai dasinya yang tak kunjung usai.
"Aku pakai baju apa hari ini?" gumam Sarah. Ia memilih dari baju-baju yang kemarin malam dibawakan oleh ibu mertuanya.
Cukup lama, sekitar tiga menitan Sarah memutuskan untuk memakai blus merah muda berlengan panjang dan rok span hitam.
"Mungkin setelah pulang kerja aku mampir dulu ke rumah papa. Aku merindukan mereka." Senyum semringah mulai mengembang.
Saat Sarah keluar dari ruang ganti, Ben terlihat sedang duduk di sofa. Badannya membungkuk serasa memiringkan kepala menggapit ponsel antara telinga dan pundak. ketika Sarah berjinjit untuk memastikan ternyata Joshua juga sedang memakai kaos kaki.
"Mau aku bantu?" tanya Sarah.
Joshua yang sedang mendengarkan seseorang bicara di balik ponsel segera mendongak. "Memang kamu bisa?"
Sarah tersenyum kemudian jongkok di hadapan Joshua. "Ini hanya memakaikan kaos kaki, tentu saja aku bisa."
Ben menatap sekilas sebagian wajah Sarah sebelum akhirnya kembali fokus pada suara pada ponselnya.
"Ya. Elo urus saja dulu. Setengah jam lagi gue sampai," kata Joshua sebelum panggilan terputus.
Ketika Joshua menunduk, saat itulah Sarah selesak memakaikan sepasang kaos kaki.
"Sudah," katanya seraya mendongak.
Wajah mereka berdua pun bertemu. Sarah bisa melihat lensa biru itu begitu mengagumkan. Jika biasanya Sarah menatap sengit, tapi kali ini tatapannya begitu rupawan. Alis tebal, bulu mata yang tidak lentik tapi indah ditatap, dan wajah putih bersih tiada cacat. Terlihat juga bulu-bulu halus di sekitar dagu.
Ah, sangat menggoda!
"Berkedip, nanti kamu akan terpesona," seloroh Joshua yang seketika itu membuyarkan lamunan Sarah.
Sarah tentu segera membuang muka dan berdehem. Ia lalu berdiri dan berbalik badan supaya wajah memerahnya tidak terlihat. Uh! Sungguh memalukan."
Ketika Sarah sudah masuk ke dalam kamar mandi, Joshua diam-diam tersenyum tipis. Sebelum memasukkan kedua kakinya ke dalam lubang sepatu, bahkan cukup lama Joshua memandangi kakinya itu.
"Cih! Untuk apa aku harus terpesona," ceplos Joshua tiba-tiba. Tidak ada yang tahu kalau Joshua ternyata sedari tadi tengah mengagumi kecantikan Sarah.
Joshua kemudian berdiri. Ia meraih tas berisi barang-barang penting kemudian menjambret kunci mobil yang tergeletak di atas nakas. Sampai di depan pintu, tiba-tiba langkah Joshua terhenti. Ia balik badan menatap ke arah pintu kamar mandi.
"Haruskah aku pamit?" gumam Joshua. "Ah, sepertinya nggak perlu." Joshua kembali memutar badan lantas keluar meninggalkan kamar.
Pintu baru saja tertutup dan belum sempat melangkah, terlihat dari ruang lain muncul seseorang dengan pakaian rapi. Tentu saja dia adalah Ben.
Wajah keduanya nampak masam dan acuh. Dua kakak beradik ini memang dari dulu tidak terlalu dekat, dan kini semakin jauh setelah Joshua menikahi Sarah. Sebelum Ben berjalan, Joshua lebih dulu maju. Ia melangkah dengan cepat karena tidak mau terlalu dekat dengan Ben.
"Dasar pria keji!" seloroh Ben tanpa ada yang dengar.
***
Sampai di kantor, Ben langsung menuju ruangannya. Tiada yang lain dengan suasana kantor karena memang selalu seperti ini keadaannya. Ben yang dingin pada karyawan, membuat para karyawan terlalu takut untuk sekedar bercengkerama pada teman seprofesi.
Baru saja Joshua masuk ke ruangannya, muncul wanita cantik dari arah lorong. Dengan anggun ia melenggak melewati beberapa meja para karyawan. Hal itu tentu membuat mereka-mereka saling sikut dan berbisik.
"Itu Nona Lia, kan?" tanya salah satu karyawan dengan nada berbisik. "
"Yes," temannya menjawab singkat.
"Ngapain wanita itu ke sini? Kalau hari ini Nona Sarah berangkat gimana?"
"Entahlah," ia angkat bahu. "Toh kabarnya Nona Sarah sudah menikah dengan orang lain."
"Benarkah? Maksud kamu bos sudah putus dengan Nona Sarah?"
Obrolan itu mendadak berhenti ketika senior mereka tiba-tiba datang. Senior wanita itu menghampiri Lia sebelum masuk ke ruangan Ben.
Menyangkut pernikahan Joshua dan Sarah memang belum ada yang tahu. Kabar yang mereka dengan, Sarah telah berselingkuh dengan pria lain dan sudah menikah dengan selingkuhannya itu. Pernikahan tertutup itu tampaknya memunculkan berbagai dugaan yang tidak pasti.
"Ada perlu apa, Nona?" tanya senior wanita itu yang bertugas sebagai manajer di perusahaan ini.
"Aku ingin bertemu dengan Ben," jelasnya. "Dia ada kan?"
"Ada, Nona, tapi ..."
"Aku langsung masuk saja." Lia nyelonong begitu saja masuk ke ruangan Ben.
Ben yang sedang duduk menatap laptopnya seketika mendongak. Terlihat ia menaikkan satu alisnya saat pandangannya bertemu dengan Lia. Di belakangnya muncul sang manajer seraya membungkukkan bada.
"Maaf, Tuan. Saya sudah mencegahnya."
Ben berkedip dan mengangkat rendah satu telapak tangannya. Lantas Ben menyuruh bawahannya itu keluar dari ruangannya. Kemudian Ben kembali menata laptopnya yang masih menyala seolah tidak memedulikan kedatangan Lia.
"Ayolah, Ben. Kamu nggak sepatutnya mengacuhkanku seperti ini." Lia menghela napas lalu menarik satu kursi putar dan mendudukinya.
"Aku tahu sekarang kamu sedang sakit hati karena kekasihmu itu sudah berselingkuh. Tapi, lihatlah aku. Aku bisa memuaskan kamu."
Ben mendesah lalu menjulingkan mata malas. Wanita di hadapannya saat ini memang tidak pernah berhenti mendekati Ben sedari dulu. Meski tahu Ben sudah punya kekasih, tetap saja Lia terus coba memepetnya.
"Apa lo nggak bisa kalau nggak ganggu gue?" seloroh Ben sambil menutup laptopnya. "Lo kan bisa cari pria lain. Nggak ada hasilnya ngarepin gue."
Lia tersenyum kecut. Ia berdiri kemudian mendekati Ben sambil membungkukkan badan. Wajahnya yang penuh riasan sudah hampir menyentuh pipi Ben.
"Ayolah, Ben. Kamu lupa pernah menikmati tubuhku?" bisik Lia. Embusan napas Lia terasa menyapu telinga Ben membuat bulu kuduk berdiri.
"Wanita itu nggak akan bisa muasin kamu." Lia berkata lagi sambil menatap bangku kosong yang berada di dekat pintu masuk. Itu adalah meja kerja milik Sarah.
Ben ikut kenatap ke mana mata Lia memandang. Di situlah letak ketidaksukaannya Ben pada Sarah. Sarah orang yang sulit dirayu. Di luar sana begitu banyak pasangan yang melakukan kegiatan intim meski masih berstatus pacar. Namun, lain dengan Sarah yang memilih tidak melakukannya. Sarah akan dengan cepat menolak saat Ben meminta hal itu.
Ben menghela napas seperti kembali merasakaan kekecewaan pada Sarah. Penolakan itu, nyatanya tidak perlaku untuk Joshua. Ben adalah orang pertama yang memergoki Sarah tengah terlelap di atas ranjang Joshua tanpa busana. Jangan ditanya bagaimana perasaan Ben saat itu. Tentu saja sakit, marah dan kecewa bercampur jadi satu.
Rasa sakit itu semakin terasa saat melihat seringaian dari Joshua yang sama sekali tidak merasa bersalah. Untuk Sarah, Ben hanya menatapnya dengan tatapan kosong penuh kekecewaan.
"Kenapa diam? Apa aku salah bicara?" Tangan Lia sudah merambat merangkul pundak Ben. "Sarah nggak pantes untuk kamu, Ben. Kamu terlalu sempurna untuk dia."
Ben menoleh sambil menaikkan dagu. Tatapan bertemu dengan Lia dengan jarak begitu dekat. Semakin dekat dan satu kecupan singkat mendarat di bibir Ben.
"Oh, maaf aku mengganggu."
Mereka berdua menoleh ke arah yang sama secara bersamaan. Ternyata, ada Sarah yang entah sudah sejak kapan dia berada di sini. Sarah segera meletakkan tas dan berkas yang ia bawa lalu pergi tanpa menoleh sedikit pun ke arah mereka berdua.
***
