Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3

Bab 3

Sarah mungkin bisa terlihat bersikap biasa meski hatinya masih hancur. Sebelumnya Sarah adalah gadis periang yang lebih sering mengabaikan sebuah masalah. Lebih tepatnya Sarah akan memaafkan siapa pun yang membuatnya kecewa.

Apa termasuk Joshua?

Sarah menghela napas lalu mengguyur wajahnya dengan air. Ia memberi sabun wajah hingga berbusa. Sekitar dua menitan, Sarah kemudian membasuh kembali wajahnya lantas mengeringkan menggunakan handuk. Saat keluar dari kamar mandi, Sarah mendapati sang suami masih tertidur dengan begitu nyenyaknya.

Ya, semalam memang Sarah tidur seranjang dengan Joshua, tapi percayalah, tidak ada hal apapun yang terjadi. Sarah tidur miring ke kiri, sementara Joshua sebaliknya.

"Aku masih belum percaya kalau sekarang sudah menikah. Aku bahkan sudah tidak gadis lagi," gumam Sarah nyaris tak bersuara.

Malam itu sejujurnya Sarah tidak merasakan nyeri pada selakangannya, tapi bercak merah itu membuat Sarah tidak bisa mengelak apa pun. Harusnya Sarah marah, berontak atau apa pun yang bisa menunjukkan dirinya terluka, tapi entah kenapa hal itu tak bisa ia lakukan.

Bodoh!

Sarah meletakkan handuk pada gantungan di samping pintu kamar mandi. Ia berbalik badan seraya membenarkan gulungan rambutnya yang merosot.

"Aku harus ngapain sekarang?" tanya Sarah.

Jam persegi yang menempel pada dinding masih menunjukkan pukul empat pagi, kemungkinan para penghuni rumah belum terbangun dari tidur nyenyaknya. Setelah beberapa detik termenung menatap punggung seonggok daging yang masih terbaring, kemudian Sarah memutuskan untuk ke luar kamar. Meneguk air hangat mungkin akan sedikit membantu menghilangkan rasa berat di kepala.

Cukup hati-hati saat Sarah membuka pintu kamar. Ia tidak mau kalau sampai membuat Joshua terbangun di jam yang bukan seharusnya. Ketika sudah berada di luar dan selesai penutup kembali pintunya, terdengar helaan napas lega.

"Semoga tidak ada siapa pun di bawah," kata Sarah lirih.

Sebelum melangkahkan kaki, Sarah sempat menoleh ke arah sebuah pintu kamar yang tertutup rapat. Jaraknya tidak terlalu jauh dari posisinya berdiri saat ini. Itu adalah kamar Ben.

"Harusnya aku berada di kamar itu," desah Sarah. "Apa Ben begitu membenciku?"

Sarah membuang napas lalu segera berpaling. Ia tidak mau berlama-lama memikirkan hal-hal yang aneh mengenai kegagalan dirinya yang tak jadi menikah dengan orang terkasih.

Sampai di dapur, Sarah berjalan menuju meja di dekat kulkas. Ia meraih satu gelas berkaki kemudian menuang air putih dari poci. Sarah memutar badan, lalu duduk di kursi ruang makan. Rasa haus yang ia rasakan, segera menghilang saat beberapa tegukan air putih mengalir membasahi tenggorokan.

Selesai meneguk habis minumannya, Sarah bersendawa kecil sambil menyandarkan punggung. Namun, belum juga posisi punggung mendarat dengan benar, Sarah kembali tertegak. Ia mendengar ada suara langkah kaki mendekat.

"Ben?" celetuk Sarah saat pandangannya sudah menoleh. Sarah buru-buru berdiri dan mulai gugup. "Kamu di sini?"

Ben melenggak acuh. "Santai saja, nggak usah panik begitu. Suami kamu nggak akan cemburu."

"A-apa?" Sarah ternganga tidak mengerti.

Ben sudah berdiri di samping kulkas sembari menuang air ke dalam gelas. Tak jauh darinya, Sarah masih tertegun menunggu Ben kembali bicara.

Ketika Ben berbalik, Sarah masih menatap dengan jeli bahkan saat Ben sedang meneguk minumannya hingga habis.

"Apa kamu begitu membenciku?" Akhirnya Sarah yang buka suara.

Ben tersenyum getir seperti menunjukkan raut kekecewaan di wajahnya. Rasa kecewa entah pada siapa. Ben mulai melangkah maju hingga menyentuh bibir meja. Ia mengusap kuat hingga menghasilkan bunyi pada tepian meja. Sungguh suara itu membuat Sarah risih dan sedikit takut.

Jemari itu sudah berhenti dan menjauh dari meja. Kini beralih mengusap dagu seraya memberi tatapan lurus ke arah Sarah.

"Kamu tanya aku apa aku benci kamu?" Ben membungkukkan badan dengan dua telapak tangan menekan meja.

Di hadapannya, Sarah mulai merasa takut dan sekali lagi ia menelan ludah dengan cepat. Satu tangan yang masih memegang gelas, bahkan terlihat gemetaran.

"Berhentilah bersikap begitu sama aku, Ben," kata Sarah penuh sesal. "Kamu tahu ini bukan salah aku."

Ben mendecih dan menarik badan mundur--membuang muka. Ia berdiri memunggungi Sarah dengan posisi satu tangan berkacak pinggang dan satu tangan lagi menyugar rambutnya.

"Apa kamu yakin, kamu nggak ikut salah dalam hal ini?" Ben menoleh tajam. Badannya kembali membungkuk membuat Sarah sedikit menarik badan menjauh.

"Kamu pasti menikmatinya," lanjut Ben.

"A-apa maksud kamu?" Sarah perlahan berdiri.

Ben mendengkus diikuti seringaian. Membayangkan bagaimana Sarah bisa berada di atas ranjang bersama Joshua, jujur saja Ben merasa jijik.

"Kalau kamu nggak menikmatinya, mana mungkin kamu bisa tidur dalam pelukannya?" seloroh Ben dengan tatapan sinis. "Bilang saja kalau kamu menikmati permainannya malam itu."

Plak!

Tangan Sarah melayang dan mendarat sempurna di pipi Ben hingga meninggalkan bekas merah di sana.

"Tega sekali kamu, Ben!" Mata Sarah sudah berkaca-kaca dan terdengar napasnya sudah memburu.

Ben yang sudah memegangi pipi kirinya, perlahan menaikkan pandangan lagi hingga bertemu dengan mata nanar milik Sarah. "Kamu menamparku, Sarah?"

Napas sarah masih naik turun, rahang mengeras dan gigi saling menekan kuat. "Kamu sangat keterlaluan. Kamu jahat, Ben!"

Sarah tidak bisa menahannya lagi dan air mata tumpah ruah begitu saja. Merasa dada semakin sakit, Sarah memilih berlari menjauh. Sarah menaiki anak tangga dengan cepat sampai ia tidak sadar sempat berpapasan dengan ibu mertuanya di jalan menuju dapur.

"Ben ..." Tania menatap bingung. Saat masuk ke dapur, Tania melihat Ben sudah suduk di kursi seraya memijit keningnya.

Sarah harusnya tadi ingin mengejar Sarah, tapi tidak keburu. Dan lagi Sarah tidak menanggapi saat Tania memanggilnya beberapa kali.

"Ben, apa yang terjadi?" Tania meraih pundak Ben. "Kenapa Sarah nangis? Kamu apakan dia?"

Ben sontak mendongak. "Apa maksud mama? Aku bahkan nggak ngapa-ngapain dia. Dia yang sudah melukaiku, Ma!"

"Ben!" Sarah menghardik. "Sarah nggak salah di sini. Ini bisa terjadi karena ulah kamu dan juga Joshua. Apa yang terjadi saat ini karena kekacauan yang kamu dan Joshua pernah perbuat dulu."

Dulu? Apa yang terjadi dengan dulu? Sudah lama Ben tidak mengingat hal itu karena memang sudah begitu lama.

"Ah, sudahlah!" Ben mengibas tangan kemudian pergi begitu saja meninggalkan ibunya.

Saat keluar dari dapur, Ben sempat berpapasan dengan sang ayah. Toni yang mendengar keributan tentu segera keluar dari kamar, tapi sampai sini tidak mendapati apa-apa kecuali wajah masam Ben.

"Ada apa? Apa yang terjadi?" tanya Toni sambil mengusap pundak Tania yang tengah membungkuk bersangga satu tangan di atas meja.

Tania hanya sekedar menggeleng tanpa memberi jawaban.

Keributan pagi ini, pada akhirnya membuat suasana menegang dan para pelayan sampai ikut muncul dengan tatapan bingung penuh tanya.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel