Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2

Bab 2

Sampai di kantor, Joshua langsung diserang dengan berbagai macam pertanyaan dari rekan kerjanya. Mereka-mereka masih tidak menyangka kalau Joshua bisa menikah dengan kekasih adiknya sendiri. Joshua bukan orang kantoran seperti Ben. Dia adalah seorang pengusaha kuliner yang memiliki beberapa restoran di pusat kota. Tentunya dia lebih sering di rumah karena sudah mempercayakan semuanya pada bawahannya. Jika Joshua datang ke restoran, biasanya hanya saat sedang suntuk atau sekedar bergosip dengan para karyawan dan para juru masak.

Ngomong-ngomong, hanya rekan Joshua saja yang tahu tentang pernikahannya.

Lagi-lagi Joshua tidak seperti Ben yang memiliki sifat dingin pada para bawahan. Ben hanya akan bicara pada orang yang setara dengannya saja. Tentu hal itu tidak terlalu diketahui oleh Sarah sebelumnya.

"Gila! Lo sungguh gila!" seloroh salah satu karyawan yang paling dekat dengan Joshua. Namanya Rendi. Dia yang paling berani bicara tanpa intonasi halus pada Joshua.

"Elo yang gila!" sembur Joshua seraya menoyor kepala Rendi. Yang lain hanya tertawa.

"Tapi ya ... sumpah kita nggak nyangka lo bisa nikah sama dia. Dan tentang ..

Em ..." Rendi menghentikan kalimatnya dilanjut dengan gerakan aneh pada tangannya.

"Brengsek!" sembur Joshua lagi setelah paham dengan gerakan jari Rendi. "Ngapain dibahas?"

"Oh ayolah! Elo itu pria ternama. Bagaimana mungkin bisa melakukan hal bodoh begitu?" seloroh Rendi.

Mereka yang lain saling sikut dan menaikkan alis, menunggu penjelasan dari Joshua. Bukannya memberi penjelasannya, Joshua malah berdiri seraya buang napas.

"Nggak ada yang perlu gue katakan," kata Joshua kemudian. Mereka semua spontan mendesah sesal bersamaan.

"Hei!" Rendi menyusul Joshua yang sudah sampai di ambang pintu. "Bagaimana bisa? Jelaskan ke gue."

Joshua terus melangkah hingga sampai di samping mobilnya yang sedang terparkir. "Apa yang mau lo ketahui?" tatap Joshua.

Rendi menepuk pundak Joshua. "Gue tahu siapa elo. Bukan tipe elo kalau sampai memperkosa anak orang." Rendi memperlambat kalimat terakhir.

"Tapi nyatanya itu yang gue lakuin." Joshua angkat bahu seolah apa yang terjadi adalah hal sepele.

"Plis, Jo. Ini bukan elo!" Rendi sampai meninju pelan dada kiri Joshua. "Apa yang terjadi sebenarnya? Apa ini menyangkut Sonya?"

Joshua tidak bereaksi apa pun selain menghela napas. Ia memijat pangkal hidungnya dan bersandar sekilas pada badan mobil. "Untuk saat ini, elo nggak perlu tahu. Yang jelas gue nggak ada maksud nyakitin siapa pun."

Joshua masuk ke dalam mobil sementara Rendi masih bertengger dengan wajah kesal karena tidak mendapat penjelasan. Saat Rendi hendak berbalik, Joshua memanggilnya dari balik kaca mobil yang terbuka.

"Kalau Sonya datang nyari gue, katakan saja gue sudah tewas."

"A-apa?" Rendi ternganga dengan bola mata membulat sempurna. "Apa dia gila!" tidak ada yang peduli tiga kata itu karena mobil sudah melesat jauh.

***

Di dalam kamar, Sarah masih termenung menikmati nasibnya yang entah mau jadi apa setelah ini. Ia harusnya datang ke kantor karena status dia masih sebagai sekretaris Ben, tapi tadi saat Rossa hendak pamit pergi, mama melarangnya. Beliau bilang untuk tetap beberapa hari di dalam rumah karena katanya tidak baik pengantin baru keluyuran.

Lalu kenapa Joshua bisa pergi? Ck, tidak adil!

Sarah turun dari atas ranjang dan berpindah ke sofa sambil membawa bantal. Ia letakkan bantal tersebut di dekat pembatas sofa lalu membaringkan kepalanya di sana.

"Oh, aku lupa." Sarah kembali berdiri. Ia maju meraih remot tv di laci tanpa pintu di bagian bawah.

Sarah kembali berbaring lagi setelah menyalakan tv. Berikutnya, muncul sebuah berita dari layar tv yang sudah menyala. Berita hujan badai, salju yang tebal ada pula mengenai para petinggi negara. Sungguh Sarah tidak tertarik akan hal itu. Sudah beberapa kali Sarah mengganti siaran tv tapi tetap saja tidak ada yang bermutu.

"HAISH!" hardik Sarah tiba-tiba. Ia terduduk sambil mengacak-acak rambutnya.

Setelah puas dengan rambut panjangnya, Sarah terduduk termenung. Cukup lama sampai tidak terasa air mata sudah menitik. Rasa sakit kembali menjalar. Kejadian malam itu kembali terngiang-ngiang di kepalanya. Di ranjang itu, entah kenapa Sarah bisa terbaring tanpa busana di balik selimut. Ada rasa perih, dan Sarah mendapati ada bercak merah pada seprei.

Di sampingnya, ada Joshua yang memperkuat bahwa semalam memang sudah terjadi sesuatu yang gila. Meski kepala masih terasa pening, Sarah ingat betul bagai mana dengan buas Joshua memperlakukannya malam itu.

Ceklek!

Saat itu juga Sarah terbangun dari lamunannya. Sarah segera berkedip dan meraup wajah sebelum menoleh untuk melihat siapakah yang datang.

Ya, tentu saja itu Joshua. Memang siapa lagi? Jujur saja Sarah masih takut jika berada di dekat pria itu. Wajahnya yang bengis dan acuh, terus saja mengingatkan akan kejadian mengerikan itu.

"Ka-kamu sudah pulang?" tanya Sarah gugup.

"Ya" jawab Joshua singkat.

Sarah tidak tahu lagi harus berbuat apa setelah ini. Tadi, mama sempat bicara banyak mengenai Joshua. Em, tidak terlalu banyak, hanya seperlunya saja. Misalnya, mengenai hal apa yang Joshua suka atau benci. Sarah pikir itu tidak penting karena toh mungkin Joshua tidak butuh pelayanan darinya. Namun, mama Tania terus memohon supaya Sarah tetap sabar dan mau mencoba menjadi istri yang baik untuk Joshua.

What the .... sungguh lucu!

Di sini harusnya mereka menentang pernikahan ini karena dua orang sudah tersakiti. Ben yang harusnya menjadi suami Sarah pastilah sangat terpukul. Pun dengan Sarah yang sampai detik ini masih mencintai Ben.

"Kenapa dengan rambut kamu?"

"Eh!" Sarah spontan menjerit kecil seraya mendaratkan dua telapak tangan di atas kepala. Lalu dengan cepat Sarah merapikan. "Tidak kenapa-kenapa. Mungkin tadi kena angin puting beliung."

Joshua memutar mata jengah. "Wanita gila!" selorohnya lirih.

"Dia pikir aku nggak dengar apa!" gerutu Sarah dalam hati.

Setelah melepas sepatu dan mengganti pakaiannya, Joshua menghampiri Sarah dan ikut duduk. Merasa takut, secepat mungkin Sarah bergeser hingga setengah meter jaraknya dari Joshua.

"Kita bicarakan masalah ini," kata Joshua usai menekan tombol on/off pada remot tv. Setelahnya Joshua melipat kedua tangan menatap Sarah. "Tentunya supaya kamu nggak salah paham."

Sarah mendecih dan buang muka. "Bagaimana mungkin aku nggak salah paham. Dan tunggu, memang apa yang dimaksud salah paham. Aku terluka di sini."

"Hei!" tegur Joshua sambil menjentikkan jari.

Seketika Sarah mengangkat kepala menatap Joshua. "Apa?"

"Saat aku mengajakmu bicara, jangan sekali-kali membuang muka. Itu juga kalau kamu mau aman."

Glek!

Susah payah Sarah menelan ludah. Tenggorokan mendadak kering, nyali terasa menciut mendapati tatapan mata biru itu begitu tajam. Tapi setelah dipikir-pikir beberapa detik, bukanlah Joshua yang harusnya marah di sini, melainkan Sarah.

Sarah lantas berdehem dan memutar posisi duduknya dengan lurus saling berdekatan. "Di sini harusnya aku yang menggertak. Aku yang tersakiti alias korban di sini. Nggak sepatutnya kamu mengaturku."

Joshua menyeringai kemudian memajukan wajah hingga posisi duduknya mencondong. "Hei, kamu lupa siapa aku. Aku suamimu di sini. Aku berhak mengatur kamu sesuka hatiku."

Sarah kembali menelan ludah dan memosisikan duduknya kembali seperti semula yaitu menghadap ke arah tv. Dadanya sudah berkecamuk ingin mengamuk tapi tidak bisa. Sifat manja yang ia dapatkan dari kedua orang tua membuatnya terlalu lembek saat bertindak.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel