Bab 1
Bab 1
Sebuah gereja terasa sunyi meski ada beberapa orang di dalamnya. Kicauan burung di luar sana seolah ikut terluka dengan rasa sakit yang Sarah rasakan saat ini. Senyap, kelabu dan mendung menggambarkan apa yang sudah terjadi.
"Kalian sudah resmi menjadi pasangan suami istri."
Degh!
Jantung Sarah terasa berhenti berdetak. Mata nanar mulai berkedut dan buliran bening menitik begitu saja membasahi pipi. Perlahan Sarah memutar pandangan mencari sosok penguat diri di deretan bangku utama.
"Mama, tolong aku," jika boleh, Sarah ingin meneriakkan kalimat itu dengan lantang.
Namun, kalimat itu hanya sampai di tenggorokan saja dan menguap begitu saja menjadi helaan napas yang perih. Sarah berpaling saat papa dan mama membuang muka. Bukan mereka tidak peduli, hanya saja mereka tidak sanggup menatap wajah sang putri yang begitu menyedihkan.
Di samping sang suami, Mita menjatuhkan wajah dan menangis sesenggukan. Genggaman kuat pada lengan, Anton balas dengan kuat juga.
"Putri kita akan baik-baik saja," lirih Anton.
Tiada yang lebih menyakitkan bagi seorang ibu selain melihat putri tercinta terluka. Sekecil apa pun luka itu, akan membuat hati seorang ibu teriris-iris. Sayangnya tidak ada yang bisa Mita lakukan selain membiarkan Sarah menikah dengan pria lain.
Di mana Ben? Dia ada di bangku paling ujung. Dia duduk tenang menyaksikan kekasihnya menikah dengan kakak kandungnya sendiri. Wajah tampan itu terlihat bengis di mata Sarah, seperti tak ada cinta lagi.
"Selamat, Sayang." Satu pelukan hangat Sarah terima dari wanita cantik yang sekarang resmi menjadi ibu mertuanya. "Mama akan menyayangimu. Kamu nggak usah takut." Kalimat terakhir itu terucap begitu lirih dan hanya Sarah yang mendengarnya.
Tangis Sarah semakin mengalir saat merasakan pelukan mama. "Aku harus gimana, Ma?" lirih Sarah.
Mita mengeratkan pelukan. Bukan tak peduli tapi Mita tak bisa berbuat apa pun. Saat pelukan terlepas, Mita menangkup kedua pipi Sarah dan mengusap wajah basah itu.
"Jadilah istri yang baik dan patuh." Hanya itu kalimat yang terucap sebelum Mita membalikkan badan dan melenggak pergi.
Sarah hanya diam memandangi kedua orang tuanya yang semakin menjauh dan kabur dari pandangan mata. Rangkulan dari ibu mertua, tetap saja membuat Sarah merasa terguncang. Belum lagi Sarah melihat Ben yang begitu dingin, bahkan ia pergi tanpa mengucapkan sepata kata pun pada Sarah.
***
Sarah sudah berada di sebuah kamar. Kamar yang akan menjadi tempat lelapnya mulai saat ini. Tidak ada yang istimewa di sini selain kamar yang mewah. Ah! Untuk apa terkagum dengan kamar ini? Tidak guna!
Sarah kembali merasakan perih saat melihat ranjang luas berbalut seprei putih tulang. Sebuah ranjang dosa, perenggut miliknya yang justru kini akan menjadi tempat termenungnya entah sampai kapan. Ya, di sanalah Joshua menodainya dengan brutal tanpa perasaan.
Apa alasannya? Sarah tidak tahu.
"Jangan sentuh apa pun yang bukan milik kamu," kata Joshua sambil melepas jasnya.
Sarah tersenyum getir. "Untuk apa aku menyentuh? Aku bahkan ragu berada di sini."
Joshua mendecih cukup keras. "Kalau ragu, ngapain kamu setuju menikah denganku?"
Sarah menoleh. Mata merah, sembab bekas tangis itu kini menatap Joshua dengan sengit. "Siapa yang akan bertanggung jawab kalau bukan kamu?"
Joshua memutar bola mata jengah. Ia melepas jas ke sembarang tempat dan mulai membuka kancing kemejanya. Saat itu juga Sarah segera memalingkan pandangan.
"Kenapa?" Joshua memicingkan mata. "Kamu bahkan sudah pernah melihat seluruh tubuhku waktu itu."
"Pria brengsek, kamu!" maki Sarah tanpa berani menoleh.
"Oh, come on! Nggak usah buang muka begitu. Nikmati saja pernikahan kita."
Tawa itu terdengar menggelegar hingga senyap saat Joshua sampai di dalam kamar mandi. Sarah termenung sesaat sebelum akhirnya terjatuh di atas sofa.
"Sebenarnya apa mau dia? Kenapa dia melukai aku? Aku bahkan nggak kenal dia sebelumnya." Sarah menangis lagi.
Ya, mungkin hanya menangis yang saat ini bisa Sarah lakukan.
Tidak lama kemudian Joshua keluar dari kamar mandi. Dia hanya memakai handuk yang melingkar di pinggangnya membuat Sarah segera memalingkan wajah.
"Kita harus bicara," kata Joshua sambil menggosok rambut basahnya menggunakan handuk lain. "Setelah kamu mandi," katanya lagi.
Sarah berdiri. "Aku nggak bawa baju, gimana aku bisa mandi?"
"Itu salahmu," acuh Joshua yang sudah melenggak menuju ruang ganti.
Tok, tok, tok.
Sarah menoleh ke arah pintu. Ketukan terdengar sekali lagi dan Sarah segera beranjak.
"Hei, Sayang." Mama Tania berdiri di depan pintu membawa setumpuk pakaian dan perlengkapan wanita lainnya.
"Ada apa, Ma?" tanya Sarah.
"Ini mama bawakan kamu baju. Kamu nggak bawa pakaian kan?"
Sarah mengangguk. "Makasih, Ma." Sarah lantas menerima pakaian itu dengan dan tersenyum.
Setelah itu, terlihat Tania terdiam menatap Sarah dalam-dalam. Saat Sarah balas menatap, Tania menghela napas dengan senyum tipis.
"Sabarlah, Sayang. Semua akan baik-baik saja."
Setelah mengatakan kalimat itu, Tania pun pergi.
"Siapa?" tanya Joshua.
"Mama," jawab Sarah singkat. Tidak menoleh sedikit pun ke arah Joshua, Sarah langsung masuk ke dalam kamar mandi.
Selesai menyisir rambut, Joshua beranjak meninggalkan kamar. Ia turun ke bawah untuk makan malam. Sampai di sana, terlihat ada papa, mama dan ada juga Ben. Saat itu juga Joshua mendengkus.
"Aku sudah kenyang." Tiba-tiba Ben berdiri.
"Lo yakin?" seloroh Joshua.
"Apa maksud lo?" Ben meradang. "Lo mancing gue?"
Ben sudah meraih kerah kaos Joshua dan mencengkeram kuat. Tidak takut sama sekali, Joshua justru menyeringai.
"Mau apa, lo?" seloroh Joshua lagi.
"Elo!"
"Cukup!" Toni menggebrak meja dengan keras membuat semuanya terlonjak.
Cengkeraman itu sepat terlepas sebelum Ben kembali melakukannya. "Dia yang mulai, Pa!" seru Ben.
"Cukup, Ben," desah Toni seraya menarik Ben mundur. "Papa nggak mau liat anak papa bertengkar setiap hari."
"Tapi dia yang mulai, Pa!" seru Ben sekali lagi. "Dia ngancurin semuanya!"
Melihat perdebatan Ben dan sang ayah, tidak membuat Joshua seolah merasa bersalah. Dia dengan santainya melengos lalu duduk menikmati makan malam.
"Lihat!" Ben menunjuk kuat ke arah Joshua. "Dia sama sekali nggak ngerasa salah setelah apa yang sudah diperbuat."
Joshua cukup angkat bahu, membuat Ben menggeram cukup keras.
"Dasar sialan!" Hanya itu kalimat yang terlontar sebelum Ben pergi meninggalkan ruang makan.
Brak!
Suara pintu terbanting sampai terdengar ke ruang makan. Tania yang bingung mengusap dadanya dan terduduk lemas. Toni juga sudah ikut duduk seraya memijat pangkal hidungnya. Ketika Toni mendongak, ia menatap Joshua yang bisa makan dengan lahapnya padahal keadaan sedang cukup riweh.
"Kenapa, Jo?" desah Toni.
"Apanya yang kenapa?" sahut Joshua santai.
"Kenapa kamu ngelakuin semua ini? Sebenarnya apa tujuan kamu?" tanya Toni lagi.
"Jo, jangan sakiti Sarah. Dia sangat baik." Tania menimbruk.
Joshua menghela napas kemudian meneguk setengah gelas air putih sebelum membalas pertanyaan dari kedua orang tuanya.
"Memangnya siapa yang mau nyakitin Sarah?" Joshua berdiri, menatap kedua orang tuanya bergantian sebelum pergi.
Toni dan Sarah yang bingung hanya tertegun saling pandang.
"Apa yang ada di otak anakmu itu, Tania?" desah Toni frustrasi.
"Hei! Dia juga anakmu!" sembur Tania. "Dia keras kepala seperti kamu."
"Apa?"
***
