Bab 17 Kesempatan untuk Mengulang Kesalahan
Bab 17 Kesempatan untuk Mengulang Kesalahan
Garda melepaskan cengkraman kasarnya pada Margo dan menatap nyalang pada istrinya yang sangat dia cintai itu. Sejurus kemudian, dengan langkah lebar, Garda pergi keluar dari kamar bercat broken white tersebut, mengabaikan Margo yang tertegun sedemikian rupa.
Margo terheran akan tingkah Garda. Dia mulai mengejar suaminya, demi menahan lengah Garda yang kokoh untuk tidak meninggalkannya.
"Garda ... ada apa denganmu? Aku berpenampilan seperti ini untukmu, kenapa kamu malah bersikap begitu?" tanya Margo setengah berteriak dengan suara terisak disertai luruhan air mata yang tak mampu dia bendung lagi.
"Aku sedang tidak ingin membicarakan anak dan juga melakukannya!" bentak Garda dengan suara bariton bernada dingin. Hingga pegangan Margo yang menahan lengan Garda mulai melonggar. Margo tersentak dan tertegun sedemikian rupa dengan perkataan yang keluar dari mulut suami yang dicintainya itu.
Garda menghempaskan tangan kurus Margo yang belum sepenuhnya luruh dari lengannya. Dengan langkah lebar dia berjalan menuju ruang kerjanya untuk mengerjakan file-file yang tadi dibawanya pulang. Garda tersenyum miring, dia sangat yakin kalau dirinyalah yang akan mengejutkan Margo kali ini, meski hatinya lumayan sakit melihat Margo yang bersedih akibat ulahnya.
Margo masih mematung, lututnya melemas dan luruhan air matanya mulai mengalir deras dari pelupuk mata hazelnya yang indah. Tangisan hingga raungan lirih tanpa dia kehendaki mulai bersimfoni menyayat hati, deraian air mata tak ayal membasahi wajahnya yang cantik. Setelah lelah menagis, Margo menggeleng keras, lalu menepuk dadanya dengan tangan kanannya yang menggumpal sebanyak tiga kali. Dia ingin menyemangati dirinya sendiri.
Margo setengah berlari menuruni tangga, hendak mengejar sesuatu yang menurutnya layak untuk dia perjuangkan. Derapnya terlihat tertatih-tatih, dengan gaun tidur yang masih membalut tubuh seksinya. Seakan frustrasi dan melihat ruang kerja Garda yang terkunci, dia meringis lalu menuju dapur bersih serupa mini bar di samping ruang tamunya.
Garda tersenyum miring, menyadari pergerakan daun pintu ruang kerja yang berada di dalam rumahnya. "Tunggu aku, Margo!" jeritnya dalam hati.
Tangan kurus Margo membuka lemari pendingin yang memiliki dua pintu di dapurnya. Mengabaikan tubuhnya yang bergetar, Margo mencari wine hadiah dari Ayumi sahabatnya. Tadinya Margo berpikir untuk memberikan minuman beralkohol itu kepada teman khursusnya yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai pelayan di sebuah kafe remang-remang. Akan tetapi, kali ini dia merasa kalau minuman itu akan membantunya untuk lebih kuat, hingga melupakan perlakuan Garda padanya malam ini. Margo langsung menenggak wine dari botolnya dan menyisakan separo dari isi minuman berwarna merah tersebut.
Sesaat rongga mulut dan kerongkongan Margo terasa panas. Hingga tak lama setelah itu, Margo menjadi mabuk dan tak terkendali. Margo tertunduk pada meja keramik pasir di dapurnya, pikirannya sungguh sangat kacau, mengingati perlakuan Garda terhadap dirinya, benar-benar jauh dari apa yang dia rencanakan.
Suara pintu yang berderit dari ruang utama diacuhkan oleh Margo, meski sebenarnya dia masih dalam keadaan sadar. Sejenak dia berpikir kalau itu adalah Garda, tapi kemudiaan perempuan berhidung mancung itu menggeleng dan memilih untuk mengasihani dirinya sendiri dengan tetap diam di tempatnya sekarang. Seorang laki-laki tampan masuk ke dalam rumahnya, dia memutuskan untuk langsung masuk karena yakin itu adalah rumah Garda, terlebih Bastian sudah menekan bel berulang kali, tapi tak mendapati pintu kokoh yang menjulang itu dibuka dan alangkah terkejutnya dia kala mengetahui kalau benda tersebut tak dikunci oleh pemiliknya.
Bastian menatap curiga pada perempuan yang tengah tertunduk di atas meja keramik pasir, yang menggunakan gaun tidur berwarna merah menyala, hingga sangatlah seksi di matanya.
"Siapa perempuan ini?" tanya Bastian yang mulai melangkah mendekati Margo.
Bastian menukikkan pandangannya pada Margo dan alangkah terkejutnya dirinya, menyadari kalau perempuan tersebut adalah Margo-nya. Seorang wanita yang kemarin lusa menghangatkan tubuhnya dan selalu memenuhi pikirannya.
"Oh, shitt!" umpatnya setelah menyadari kalau Margo yang dia inginkan adalah perempuan yang sama–istri dari Garda juga.
"Margo, Margo!" ujar Bastian mengguncang pelan lengan Margo. "Di mana suamimu, Margo? Kenapa dia membiarkan kamu sendirian di sini?" tanya Bastian heran.
Lelaki bernama Bastian itu mulai meningkatkan guncangannya pada tubuh Margo, namun Margo sudah terlalu mabuk dan tak menanggapi perkataan Bastian. Margo enggan menjawab pertanyaan Bastian, meski dirinya masih sadar akan sosok yang tengah berbicara padanya. Bastian menyapu rambut yang menutupi wajah Margo, menyibaknya ke belakang. Dia menatap tajam pada Margo sembari tersenyum miring.
Bastian menggendong tubuh Margo dengan gaya bride style menuju kamar yang berada di lantai dua. Saat dalam perjalanan itu, tak henti-hentinya tangan Margo membelai dada Bastian yang masih dibalut oleh kemeja putih dan luaran jas hitam.
"Aku menginginkannya, sentuh aku!" racau Margo.
"Malam ini aku menginginkanmu. Kamu tak boleh menolakku!" gumam Margo yang mulai mendekatkan wajahnya pada Bastian dan dalam posisi masih berada dalam gendongan tangan kokoh tersebut.
Lekaki bermata gelap itu menurunkan Margo di atas ranjang, membaringkannya perlahan. Bastian mulai memindai Margo dengan seksama. Pandangannya begitu lapar, menyisir setiap inci tubuh Margo yang menurutnya sangat candu baginya.
Sejenak Bastian tertegun, "Tubuhmu sangat seksi, kulitmu mulus, Margo. Suamimu sangat bodoh menyia-nyiakan dirimu!" gumam Bastian merasa prihatin.
Tangan Bastian merasa gatal dan mulai mengelus lengan Margo. Margo mendesah dan bahkan merintih, sensasi yang sedari tadi begitu diimpikannya.
"Kamu benar-benar membutuhkan sentuhan rupanya, Margo!" ucap Bastian dengan tersenyum miring.
Bastian mengangkat tubuhnya berdiri, untuk menjauh dari Margo, tubuh yang tadi melengkung untuk meletakkan Margo pada ranjang berhias kelopak mawar putih senada dengan sprei yang membalut benda empuk tersebut.
Merasa frustrasi, dalam hitungan tak sampai satu menit, Margo berdiri dan mulai mencumbu Bastian dengan sangat liar. Sejenak, lelaki yang merasa tak siap itu tersentak dengan perlakuan Margo. Margo menelusuri benda kenyal basah yang memiliki sensasi hangat milik Bastian itu seolah-olah ingin melahapnya hingga habis, tersebab gairahnya yang begitu menggebu. Margo sangat berharap belaian sensual dari lelaki yang akan menghangatkan dan menggetarkan tubuhnya saat ini.
Menyadari kalau Margo sangat menginginkannya, Bastian merapat menuju pintu kamar dan menguncinya dari dalam. Dia tak melepaskan ciuman Margo, lidahnya menyusur pada deretan gigi milik Margo dengan kedua kaki Margo yang dia arahkan untuk mengunci pinggangnya.
"Malam ini kita akan melakukannya lagi, Margo!" gumam Bastian yang mengambil jarak, setelah melepas ciuman mereka.
Margo tersenyum lebar dan jempol tangannya dia letakkan pada bibir Bastian. Dia mengangguk setuju, menyadari bulu-bulu halus miliknya sudah meremang, sementara pusat dari tubuhnya berdenyut melembab, mendamba sebuah sentuhan lebih dari lelaki yang masih betah menatapnya dengan bahagia.
Margo mencium kembali bibir Bastian. Tentu saja Margo mengira jika Bastian itu adalah suaminya, Garda. Margo mengajak Bastian untuk menuju ke ranjang, dengan kode dari gerakan kedua kakinya yang mencengkram pada lekaki beraroma citrus tersebut.
