Bab 18 Bersulang dengan Orang Dekat
Bab 18 Bersulang dengan Orang Dekat
Margo dan Bastian sudah berada di atas ranjang bertabur kelopak mawar putih. Keduanya saling mencumbu, Margo masih menciumi Bastian, begitu pula sebaliknya. Siapa yang kuasa menolak ciuman dari seorang perempuan cantik seperti Margo? Lelaki berhidung mancung itu beralih menelusuri leher Margo dengan menghirup aroma dan cumbuan sensual lainnya. Sejurus kemudian meniup cuping telinga kiri Margo, sebelum mengecapnya mesra. Telinga adalah salah satu bagian sensor sensitif dari tubuh Margo. Hingga desahan pun tak ayal lolos dari bibir Margo yang berwarna merah menyala, jemari kurusnya menjambak lelaki yang kini berada di atasnya dan menekannya agar tak melepas pagutan mereka.
"Ah, kamu akhinya tak menolakku!" gumam Margo di sela-sela desahannya yang sensual.
Bastian menghentikan aktivitasnya memcumbu cuping telinga Margo. Dia menatap wajah Margo yang mata hazelnya terpejam, deru napas yang terengah-engah begitu mendesah, tentang sebuah tanda kalau perempuan yang berada di bawahnya sedang terombang-ambing dalam pusaran gairah yang menggebu.
"Kamu sungguh menginginkan sentuhanku, huh?" tanya Bastian, Margo mengangguk pelan sebagai tanda persetujuan.
Telah menyaksikan lampu hijau dari Margo, lelaki yang senjatanya sudah mendesak itu tersenyum samar disertai seringaian. Dengan sigap Bastian melepas pakaian yang membungkus tubuh Margo. Bastian tertegun sejenak mengamati wajah cantik Margo yang kian menarik dengan postur tubuh yang sintal. Bastian yakin, pria manapun akan melakukan hal yang sama dengan dirinya ketika berhadapan pada sosok Margo.
Kini kedua manusia di atas ranjang itu diselimuti kabut gairah yang sangat pekat. Deruan napas yang saling beradu, sahut-menyahut menandakan kalau Margo maupun Bastian sudah tak bisa lagi menahan hasratnya. Tak perlu menunggu lama, Bastian sudah bersiap untuk membelah Margo, seusai mengangkat kedua kaki Margo. Bagian sensitif dari tubuh wanita yang berada di bawahnya berdenyut dan telah basah, siap menerima hujaman dari senjata pria yang berada di atasnya.
Tak sabar dan sedikit tergesa, Bastian mencoba menerobos lubang surga Margo. "Pelan, Garda!" keluh Margo disertai erangan lirih. Seketika Bastian terhenyak dan menarik senjatanya. Hingga Margo menjerit setengah merecacau.
Bastian benar-benar tercengang mendapati bukan namanya yang disebut oleh Margo. Perjalanan senjatanya yang baru setengah jalan, dia gagalkan dan memilih untuk berhenti.
"Garda kenapa kamu mempermainkanku? Aku tidak selingkuh, Garda! Ayo, kita bercinta!" jerit Margo dengan napas yang terengah-engah dan kepayahan akibat dirinya yang mabuk. Margo membuka matanya sejenak lalu menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos serupa bayi, dengan tangis terisak dan luruhan air matanya. Margo merasa sangat kecewa atas gagalnya percintaan panas yang sangat dia harapkan. Perlahan, istri Garda itu tertidur, karena lelah menangis.
Bastian mencari kamar mandi untuk menuntasakan gairahnya sendiri. Dia paling tidak suka jika bercinta dengan wanita yang tak menyebutkan namanya, dalam angannya dia membayangkan liarnya Margo kemarin lusa yang bertukar peluh dengannya di tempat hiburan. Perlahan Bastian terkekeh, "Malam ini, yang ada di pikiran Margo adalah Garda. Ccckkk, aku seharusnya cukup paham akan hal itu. Kasihan Margo, dicampakkan oleh suaminya. Ah, tak sabar rasanya menunggu Margo sadar!" Bastian berpikir sambil menertawai aktivitasnya sendiri. Baru kali ini dirinya merasa benar-benar menginginkan seorang wanita dan sialnya, sosok yang diinginkannya adalah istri orang.
Sebuah cermin setinggi satu setengah meter yang berada di walk in closet itu memantulkan wajah tampan Bastian, dia menarik sudut bibirnya setelah merapikan penampilannya. Sejurus kemudian, lelaki berambut keperakan itu berjalan untuk melihat keadaan Margo. "Tidurlah, Margo! Besok kita bisa melakukannya dalam keadaan yang lebih baik!" ujarnya melihat linangan air mata yang keluar dari ketua mata Margo yang terpejam.
Puas menatap wajah Margo cukup lama, Bastian memutuskan untuk meninggalkan Margo beristirahat di dalam kamar. Dia tidak mau mengambil risiko ketahuan oleh Garda, mengabaikan keinginannya untuk memeluk tubuh ringkih Margo yang tertidur.
Di sana, Garda sudah keluar dari ruang kerjanya. Saat dia melangkah hendak naik ke kamarnya yang berada di lantai dua, Garda menyadari sesuatu saat embusan angin menyapu tubuhnya. "Pintu terbuka?" gumam Garda lalu menutup pintu yang menjulang tersebut.
Garda memutuskan untuk menaiki tangga menuju kamarnya, tiba-tiba suasana hatinya menjadi bergejolak, derap langkah lebar terdengar keras memasuki gendang telinganya yang menurutnya bukan cara Margo berjalan.
'Krucuk-krucuk'
"Ah, aku lapar. Sebaiknya aku ambil kue dari kulkas dan membawanya ke kamar," gumam Garda lalu berbalik arah.
Bastian tersenyum, karena dia bisa membuat alibi kalau tidak dari kamar Garda, melainkan menyusuri ruangan lain di lantai bawah.
"Hai, Garda!" sapa Bastian setelah menuruni tangga dengan sebisa mungkin tanpa menimbulkan suara dari pergerakan kakinya.
"Hai," jawab Garda tercekat.
"Maaf, aku tadi masuk rumahmu. Beberapa kali aku menekan bel, tapi tak ada sahutan," kilah Bastian.
"Asataga, Bastian. Maafkan aku, tadi aku terlalu fokus menyelesaikan pekerjaanku."
"Aku tadi tersesat," keluh Bastian mulai duduk di kursi mini bar yang terbuat dari keramik pasir.
"Sekali lagi maafkan aku, Bastian. Biar kupanggilkan istriku, siapa tahu dia mau memasak sesuatu untuk kita," sambar Garda beranjak dengan bersemangat. Saat mengayunkan kaki panjangnya sejenak Garda tersenyum getir, 'Jangan-jangan Margo masih marah padaku!' batinnya resah. Sejatinya Garda hanya ingin memberikan kejutan untuk istrinya dan itulah rencannaya sedari awal.
Dengan hati-hati Garda membuka pintu kamarnya. Melihat pemandangn Margo yang sudah meringkuk di bawah selimut, dia tersenyum miring, "Pura-pura tidur!" gumamnya.
Garda ingin menyibak selimut yang digunakan oleh Margo, tetapi alahkan terkejutnya dirinya saat hidungnya terusuk bau alkohol yang baginya adalah haram.
"Astaga, Margo! Apa yang kamu minum, huh?" cecarnya namun, Margo bergeming dan mulai mendengkur halus. Jejak linangan air mata yang mengering membuat batin Garda tersentak, dia merutuki dirinya sendiri.
"Aku sudah menyakiti istriku!" cecarnya pada dirinya sendiri dengan hati yang perih.
Garda lantas urung membangunkan Margo dan dia terkejut dengan gaun tidur berwarna merah menyala istrinya yang tercecer di samping Margo saat perempuan bersurai pirang itu menggeliat dalam tidurnya.
"Margo kamu telanjang?" tanya Bastian mulai menyentuh setengah menekan tubuh Margo yang dilapisi selimut.
Garda tertegun, dia benar-benar tak menyangka istrinya bisa sekonyol itu. Biasanya saat dirinya marah atau kesal, Margo akan mencarinya sampai ketemu, hingga membuatnya tertawa kembali. Istrinya termasuk ahli dalam hal itu.
"Ampuni aku, Tuhan! Aku tak menyangka istriku minum alkohol dan tertidur dalam keadaan yang mengenaskan seperti ini!" ujar Garda frustasi.
Bastian mengangkat alisnya saat melihat Garda yang berjalan gontai ke arahnya.
"Kenapa wajahmu suram, Bro?" sindir Bastian.
Garda menggeleng lemah, lalu tersenyum tipis. "Mainlah ke sini lain kali, Bastian. Istriku ternyata sudah tidur!" balas Garda dengan suara yang terkesan pasrah.
Bastian tersenyum smirk, dia meneguk minuman yang telah disajikan Garda tadi. Segelas air soda bening yang diletakkan beberapa balok es kecil-kecil.
"Santai saja, Garda. Kamu tahu aku dan dirimu adalah orang dekat dan kita sudah lama saling mengenal. Cepat atau lambat aku akan tahu sosok istrimu itu, juga cita rasa dari masakannya!" sahut Bastian meyakinkan.
Amarah Garda yang dilingkupi rasa kekesalan pada dirinya dan Margo perlahan memudar, beralih menjadi perasaan dan hati yang lapang.
"Margo-mu tentu lebih menarik, Bastian!" ujar Garda mengajak lelaki di hadapannya untuk bersulang.
"Aku akan membuatnya begitu!" balas Bastian mengangkat gelasnya dan mendentingkan gelasnya dengan gelas Garda.
