Mendadak Kesurupan
Sekar bangun dari tidurnya. Waktu telah menunjukkan pukul 04.00 WIB. Suara adzan terdengar berkumandang dari ponselnya. Ia melihat teman-temannya masih terlelap. Tidak terpengaruh dengan teman-temannya itu, ia beranjak bangun dari ranjangnya, bergegas menuju kamar mandi meski kepalanya masih terasa pusing.
Di depan kamar mandi terdapat sebuah lemari kuno yang terlihat usang. Di pintu lemari terdapat kaca seukuran badan yang menarik perhatian Sekar. Ia berkaca sebelum ke kamar mandi, terlihat wajahnya sendu, matanya nampak lelah seperti kurang tidur. Sedang asyik bercermin ria, tiba-tiba muncul Pesinden yang ada di mimpinya kala itu. Senyumnya terlihat menyeramkan hingga Sekar bergidik. Ia merinding melihat pantulan bayangannya di cermin itu. Ketika menoleh ke belakang, sosok itu sudah hilang. Ia bergegas menuju kamar mandi, berniat untuk menghindari tatapan menyeramkan yang seolah berasal dari dalam cermin itu.
Pagi itu sinar matahari menyinari bumi, masyarakat desa mulai beraktivitas seperti biasa. Terlihat sekumpulan petani sedang asyik menanam padi. Sekumpulan anak sekolah sedang riang gembira berjalan menuju sekolahnya. Hanya satu hal yang mengganjal, yakni tidak ada perempuan atau laki-laki muda di desa itu.
Sekar dan Mila berjalan beriringan menuju rumah warga, tugas mereka adalah melakukan observasi terkait sejarah desa itu. Mereka memilih untuk menemui Pak Kades yang jaraknya tidak jauh dari kontrakan mereka, hanya sekitar tiga puluh menit dengan berjalan kaki.
“Permisi, Pak. Kedatangan kami dalam rangka ingin memperoleh informasi terkait sejarah desa ini. Kami membutuhkannya agar kami mengetahui apa yang dibutuhkan warga desa agar KKN dapat dilakukan dengan tepat sasaran,” ucap Sekar memulai pembicaraan itu, dia menatap wajah lelaki tua itu dengan seksama, berharap mendapat jawaban dari pertanyaan yang mengganggunya selama ini.
Mila bertugas mencatat dan merekam setiap perbincangan yang terjadi di ruang tamu itu. Tidak ada rasa antusiasme di wajahnya, ia memang tipe teman yang sering nebeng tugas bahkan kerap kali menyontek jika tugasnya dirasa susah. Kehadirannya di situ semata-mata sebagai syarat kelulusan karena ia sungguh tidak antusias sejak awal.
“Mayoritas pekerjaan penduduk desa adalah petani, kebanyakan kaum muda atau lulusan SMP pergi ke kota untuk mencari nafkah karena dirasa penghasilan di desa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Kalian dilarang untuk mendekati area sumur keramat karena sumur itu dilarang didekati pendatang karena tidak punya kesamaan darah dengan penduduk asli,” jawab Pak Kades dengan wajah seriusnya, ia bahkan menekankan tentang sumur keramat yang tidak boleh didekati oleh orang pendatang.
Setelah dirasa cukup, Sekar undur diri dari kediaman Pak Kades. Ketika hendak undur diri, ia bertanya tentang keberadaan perempuan bergaun merah yang mengantar makanan mereka kemarin malam. Mendengar pertanyaan tersebut tiba-tiba Pak Kades berkilah bahwa ia sedang sibuk sehingga belum bisa menjawab pertanyaan itu. Melihat reaksi yang tak sesuai harapan, mereka memilih untuk mampir ke rumah warga guna melengkapi informasi yang dirasa kurang. Hingga tak terasa jam telah menunjukkan pukul 15.00 WIB. Mereka berjalan menuju arah rumah untuk segera melaksanakan sholat ashar.
Mereka berdua berjalan pulang secara beriringan, langkah kaki menunjukkan keragu-raguan karena mereka merasa berjalan terlalu jauh. Sekar melihat waktu di gawainya yang telah menunjukkan pukul 17.00 WIB tidak terasa mereka berjalan sudah hampir satu jam, padahal seharusnya cukup tiga puluh menit.
Terlihat sumur tua di depan mereka. Mila yang antusias langsung berlari mendekatinya dan berselfie ria. Tanpa sengaja ia menginjak dan merusak sesajen di dekat sumur itu hingga berantakan. Sekar yang melihat itu reflek merapikannya sehingga tak berceceran, namun tangannya terasa panas. Ia menoleh ke sekitar dan Mila sudah tidak ada.
Tak terasa waktu menunjukkan maghrib. Sekar baru saja tiba di kontrakan. Terlihat teman mereka mulai khawatir karena terlihat Susan dan Danan belum juga kembali.
“Kamu dari mana Sekar? Kita dari tadi khawatir nyariin kamu. Kamu nyasar?” tanya Adi si ketua kelompok, ia nampak khawatir.
“Iya, aku tadi nyasar bareng Mila. Kita tadi sempat ke sumur keramat tapi tiba-tiba Mila ngilang, karena aku khawatir aku coba mencarinya, apa sudah pulang?” Ekspresi Sekar terlihat lelah. Namun, ia masih peduli dengan temannya itu. Baginya keselamatan Mila seperti tanggung jawabnya karena mereka telah pergi bersama.
“Dia sudah datang pukul 16.00 WIB. Saat aku tanya tentang kamu katanya dia tidak tahu karena kalian terpisah saat perjalanan pulang dari rumah warga dan dia tidak bercerita tentang sumur keramat,” jawab Adi seolah kebingungan. Ia merasa ada perbedaan cerita antara Sekar dan Mila, tapi siapa yang berbohong?
Tak terasa sudah empat hari mereka mendiami desa itu. Sore itu suasana terasa mencekam, hawa dingin menyelimuti desa menambah kesan horor. Sekar terlihat sudah berangsur pulih, ia mulai berbicara pada teman-temannya jika mereka harus segera meninggalkan desa itu, jika tidak maka kesialan akan menimpa mereka. Mendengar ucapan Sekar, muncul rasa ketakutan yang begitu dalam, mereka saling pandang bahkan nampak putus asa karena teman mereka tak kunjung kembali.
Sekar tiba-tiba berteriak dengan keras, ucapannya terdengar tidak jelas, mereka yang di sana terlihat panik. Mila mulai memegangi tangan Sekar, Adi bergegas mengambil gawainya untuk menghubungi dukun desa atas rekomendasi kepala desa.
Terdengar Sekar menyanyikan sebuah lagu, ”Lingsir wengi sliramu tumeking sirno, ojo tangi nggonmu guling. Awas jo ngetoro, aku lagi bang wingo wingo. Jin setan kang tak utusi, dadyo sebarang, wojo lelayu sebet.”
Sorot mata Sekar terlihat kosong, tiba-tiba ia bangun dari tidurnya dan berjalan menuju halaman rumah. Dia terus mengulang-ngulang lagu lingsir wengi tersebut. Teman-teman yang mencoba menghalangi Sekar malah terpental jauh. Melihat kondisi ini, Mila bergegas mengambil gawainya untuk mengabadikan momen itu.
“Kalian telah melakukan kesalahan dengan datang ke sini. Aku Sulastri yang selama ini melindungi Sekar sudah berupaya menjaga kalian, tapi kalian malah kebablasan. Kedua teman kalian telah melakukan pantangan di desa ini yakni melakukan perzinahan! Keduanya telah bercumbu di gudang kosong dan di dekat sumur keramat. Penghuni di sini pasti marah! Terutama perempuan bergaun merah yang datang membawa makanan malam itu! Jika kalian memakannya sampai habis pasti kalian akan mati!” teriak Sekar dengan wajah penuh amarah kemudian bernyanyi lagi.
Ki Ageng sebagai dukun yang terkuat di desa itu menghentikan langkahnya. Ia tidak berani mendekat karena dalam pandangannya terlihat Sulastri sedang bertarung dengan perempuan bergaun merah yang ingin mengambil jiwa Sekar. Terlihat kedua entitas gaib itu saling baku hantam tanpa ampun.
Tidak terasa jam telah menunjukkan pukul 00.00 WIB. Artinya sudah berjam-jam sekar bernyanyi sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya bak penyanyi dan penari yang sedang menampilkan bakatnya di pentas. Teman-temannya hanya bisa menangis dan bingung atas kejadian ini, mereka takut untuk sekedar beranjak dari pijakan mereka. Mereka hanya duduk bersimpuh seperti orang yang sudah dirundung keputusasaan. Namun, tidak berlaku dengan Mila, ia malah keasyikan mengabadikan momen itu dengan gawainya.
Berangsur-angsur suara Sekar terdengar pelan, ia pun pingsan tergeletak tak berdaya. Wajahnya memucat, keringatnya bercucuran. Adi, Joko, Ardan segera mengangkatnya ke dalam kamar. Awalnya Adi mencoba menggendong Sekar, tetapi terasa sangat berat. Hal itu disebabkan dengan keberadaan Sulastri yang masih belum pergi dari tubuh Sekar.
Setelah membaringkan Sekar di kamarnya, mereka segera beralih dan menuju ruang tamu untuk berbicara dengan Ki Ageng. Mila bertahan di kamar untuk menemani Sekar, ia sebenarnya kasihan dengan sahabatnya itu namun rasa iri yang begitu besar seolah mengaburkan rasa kemanusiaanya. Ia malah terlihat menikmati dan sesekali tertawa. Ia membuat akun facebook kedua untuk menyebarkan kondisi sahabatnya itu. Ia nampak tak lebih bagai manusia bermuka dua, munafik.
“Apa, Ki? Kita harus melakukan pencarian malam ini untuk menemukan dua teman kita, jika tidak maka mereka akan mati?” ucap Adi sambil mengernyitkan dahinya. Dia mengira bahwa besok pagi adalah waktu yang pas untuk mencari kedua temannya, tapi ia keliru.
