
Ringkasan
Sekar hanya ingin kuliah dan membahagiakan keluarganya. Namun khodam pesinden yang bersemayam dalam dirinya menjadikannya sosok penuh pesona sekaligus binal, menyeretnya ke dalam godaan yang tak pernah ia pilih. Di satu sisi ada Aryo, pacar setia yang tak pernah lelah mencintai. Di sisi lain, hadir Dosen Galih yang mengguncang hatinya. Sekar harus memilih: menyerah pada takdir, atau melawan demi cinta dan kebebasan sejati.
KKN Terkutuk
“Oekkk ... oekkk ... oekkk.”
Terdengar suara tangis bayi yang awalnya sayup-sayup semakin keras. Sekar yang baru saja tiba mendadak kaget dan mencoba mencari suara itu. Ia bergegas mengelilingi rumah yang ukurannya cukup besar. Rumah dengan empat kamar dan ruang tamu yang luas. Mereka akan menginap di desa itu selama seminggu. Namun, hari pertama cukup menegangkan baginya. Ia cukup terganggu dengan suara bayi yang semakin keras itu. Teman-temannya melihat tingkah laku perempuan berkepang dua itu hanya bisa mengernyitkan dahinya. Hal itu karena tak seorang pun yang mendengar suara tangis bayi itu kecuali Sekar.
Ia bergegas membuka pintu masing-masing kamar dengan cepat namun tidak ada seorang pun di sana. Ketika ia hendak membuka kamar terakhir yang terletak di belakang, ia dikejutkan dengan tepukan tangan di bahunya, Sekar menoleh dan terkejut bukan main. Ia melihat lelaki seusia ayahnya berdiri tegak menghadapnya. Lelaki itu tersenyum penuh makna melihat tingkah laku gadis berkepang dua itu.
“Mbak, cari apa? Ini gudang, hanya berisi perkakas atau barang tidak dipakai saja,” ucapnya dengan nada ramah dan senyum yang terkesan mengerikan.
“Maaf, Pak, saya sedari tadi mendengar bayi menangis, dan sepertinya sumber suaranya dari ruang ini,” jawabnya dengan penuh keyakinan. Sekar merasa firasatnya tidak salah.
“Maaf, Mbak, rumah ini sudah kosong selama lima tahun karena pemiliknya pergi ke kota, mereka menitipkan rumah ini pada saya. Perkenalkan saya Sujito, adik pemilik rumah ini, mbak ini siapa ya?” ucapnya sambil mengulurkan tangannya yang kekar, terdapat bulu-bulu halus di tangannya yang semakin menunjukkan kesan gagah dan maskulin.
“Maaf, Pak, jika saya kurang sopan, saya Sekar Arum. Mahasiswa semester lima dari Universitas X, kemarin saya yang menghubungi bapak untuk konfirmasi rumah ini sebagai tempat tinggal kami untuk melaksanakan KKN selama satu minggu,” jawab Sekar sambil menyambut tangan itu. Terasa dingin namun seolah tak ingin lepas, ia nampak berusaha melepaskan genggaman tangan itu sambil tersenyum seolah tak nyaman. Menyadari gelagat tak biasa, pria kekar itu melepas genggamannya dengan senyum seperti menahan malu.
Dalam hati Sekar merasa rumah ini tidak beres, tapi ia tidak bisa memuaskan rasa penasarannya, karena ini bukanlah rumahnya. Sungguh tidak sopan jika menggeledah rumah orang lain hanya untuk mengobati rasa penasaran itu, lantas ia mencoba mengabaikannya.
“Teman-teman, besok kita mulai survei. Siang ini kita istirahat dulu, nanti sore kita rapatkan tentang plan selama KKN di sini,” ucap Adi sang ketua kelompok. Ia juga membagi kamar agar mereka tidak saling berebut. Adi dan Danan di kamar nomor satu. Ardan dan Joko di kamar nomor dua. Sekar, Mila dan Susan di kamar nomor tiga.
Tidak terasa waktu akan menjelang maghrib, suasana desa semakin sepi. Nampak tidak ada aktivitas di luar rumah dan tidak terdengar suara adzan. Di dalam kesunyian, tiba-tiba muncul suara adzan yang membangunkan mereka dari pikiran masing-masing. Suara adzan maghrib itu terdengar di ponsel milik Adi sang ketua kelompok.
“Teman-teman ayo kita sholat dulu sebelum lanjut diskusi. Susan kamu di sini dulu ya, nanti akan ada orang kirim catering untuk makan malam kita,” titah Adi pada Susan. Susan menganggukkan kepala tanda setuju. Ia satu-satunya mahasiswa yang beragama nasrani sehingga tidak keberatan jika harus berjaga-jaga, menunggu catering datang.
Sepuluh menit setelah teman-temannya beranjak menuju kamar mereka masing-masing untuk sholat, mulai terdengar suara tawa anak-anak yang saling berkejaran di depan rumah kontrakan mereka. Kondisi kontrakan memang tidak jauh dari jalan raya, hanya terhalang oleh halaman yang luas, namun gersang. Hanya terdapat satu pohon mangga berukuran besar. Susan reflek berdiri, ia mulai menyibak gorden di rumah itu agar pandangannya tidak terhalang, ingin memuaskan rasa penasarannya.
“Lho, kok sepi? Nggak ada orang? Perasaan baru saja aku dengar suara anak-anak bermain, apa aku salah dengar?” Ia bergumam seolah-olah tak percaya apa yang didengarnya.
Kecewa dengan apa yang dilihat, ia kembali duduk dan memainkan gawai dan mengecek notifikasi di akun medsosnya.
“Tok ... tok ... tok.”
Terdengar pintu depan diketok. Susan reflek bangkit dari duduknya, mengira petugas catering mungkin telah datang. Saat ia membuka pintu rumah itu, nihil. Tak seorangpun di luar sana, hanya hembusan angin yang terasa dingin. Ia menutup kembali pintu itu, tapi seperti terhalang sesuatu, rambut panjang yang menjuntai ke bawah hingga seolah menyapu lantai rumah itu.
Susan terkejut, matanya melotot menatap rambut itu. Ia pun mencari ke mana sumber rambut itu, hingga ia melihat sesosok perempuan di halaman rumah, sedang berdiri membelakanginya dengan punggung yang berlubang. Terlihat belatung menari-nari menggerogotinya.
“Setan ... Sundel Bolong!” teriaknya dengan keras sambil menutup pintu rumah itu. Ia tersungkur sambil duduk bersimpuh memegangi wajahnya. Batinnya shock, detak jantungnya semakin berdetak cepat. Napasnya terengah-engah. Susan merasa jantungnya hampir copot.
Mendengar teriakan itu, teman-temannya segera bergegas menghampiri Susan. Semua nampak panik. Susan bercerita tentang kejadian seram yang baru saja ia alami meski terbata-bata. Penjelasannya membuat bulu kuduk mereka merinding, seolah-olah mereka bisa merasakan apa yang dialaminya.
Beberapa saat kemudian terdengar kembali suara ketukan pintu. Semua orang saling menatap seolah tidak ada yang berani membukanya. Mereka seperti trauma dengan cerita Susan, khawatir akan mengalami terror serupa. Adi sebagai ketua mencoba memberanikan diri untuk membuka pintu itu.
“Maaf, Dik, kami terlambat mengantar makanan ini karena tadi hujan,” sapa perempuan berkerudung merah itu. Ia tersenyum sambil memberikan sepuluh kotak makanan untuk makan malam mereka.
Padahal hari itu terlihat cerah, tidak ada tanda-tanda akan turun hujan bahkan seharian cuaca cukup panas.
“Iya, Mbak, tidak apa-apa kami mengerti,” ucap Adi menenangkan wanita muda itu.
Mendengar penuturannya, wanita muda itu mohon undur diri. Dia nampak berjalan tanpa alas kaki, menggunakan dress vintage warna merah lengkap dengan kerudungnya. Ia berjalan cepat tanpa halangan.
“Pantas, dia terlihat kelelahan mungkin jalan kaki,” gumam Adi.
Adi segera beranjak dan menutup pintu. Ia mulai membagikan makanan dalam kotak itu pada teman-temannya. Danan dan Joko yang sudah kelaparan segera menyantap kotak yang berisi mie goreng itu, masih hangat dengan topping ayam dan telur mata sapi di atasnya. Tika dan Susan hanya memandangi makanan itu di atas meja, mereka nampak tidak berselera sedangkan Adi memilih untuk mengambil minuman terlebih dahulu. Sekar mematung, ia merasa heran karena ia pesan nasi goreng, tapi malah mie goreng yang ada di hadapannya.
Tiba-tiba gawai sekar bergetar, terlihat ada notifikasi pesan dari pihak catering yang mengatakan bahwa mereka akan terlambat sampai tujuan karena motor mereka mogok. Sekar terkejut hingga menjatuhkan gawainya, semua orang menatapnya.
“Jangan makan makanan itu, itu bukan makanan manusia!” teriak Sekar mengejutkan teman-temannya.
Teman-temannya terkejut seolah tak percaya apa yang terjadi, namun makanan itu seolah telah berubah disaat Sekar berteriak. Nampaklah mie goreng itu berisikan cacing yang masih hidup bahkan bergeliat, toping ayam suwir dan telur mata sapi ternyata adalah bangkai ayam dan bola mata sapi. Danan dan Joko reflek berlari keluar rumah dan memuntahkan semua isi makanan dalam perutnya. Tika dan Susan pingsan setelah melihat makanan menjijikkan itu. Suasana menjadi kacau balau.
“Ada yang tidak beres dengan desa ini,” gumam Sekar. Ia merasa energi makhluk halus itu kuat hingga membuat bulu kuduknya merinding.
Adi selaku ketua segera meminta teman-temannya untuk beristirahat di kamar termasuk Sekar.
“Pulanglah, ini bukan tempatmu!” teriak perempuan berkerudung merah itu. Sorot matanya tajam, seolah mencabik-cabik Sekar yang berlarian tunggang langgang.
Sekar berlari menerobos hutan dalam pekatnya malam. Berbekal cahaya rembulan, ia terus berlari untuk menghindari perempuan itu. Tiba-tiba di ujung pohon besar, terlihat perempuan menggunakan pakaian sinden, kulitnya bersih berjenis kuning langsat, ia tersenyum menatapnya dan berteriak.
“Lawan perempuan bergaun merah itu!”
