Kisah 6 : Nilam Kesurupan?!
“Kenapa...,” Rochina kehilangan suara karena terlalu terkejut. Ketika Nilam berseru keras hingga mengguncangkan langit malam itu, ia terlonjak lagi. Spontan, ketiga sepupunya yang lain bergerak menjauhi Nilam. Kirana menyelinap ke balik punggung Rochina, gemetar di sana.
Rochina mengangkat kedua tangannya, dan mencoba berbicara lembut. "Nilam, kamu kenapa?"
Alih-alih menjawab, gadis itu justru menggeleng-gelengkan kepalanya keras dan cepat. Wajahnya mengernyit seakan menahan kesakitan yang amat-sangat. Rochina melihat bagian putih matanya telah memerah. Dan melotot, seakan mata itu mau melompat dari rongganya.
Ia tahu kondisi ini. Inilah yang biasa disebut orang-orang Indonesia sebagai fenomena "kesurupan". Rochina mencoba mendekati Nilam perlahan. "Nilam, coba tarik napas kamu dalam-dalam. Oke?" sahutnya, begitu lembut dan perlahan.
Sebaliknya, gadis itu menghempaskan lututnya ke aspal. Rochina berteriak, "Dewa! Gun! Pegangi dia!" Kedua lelaki itu segera melompat ke arah Nilam. Tepat pada waktunya. Gadis itu hampir membenturkan kepalanya ke aspal, tetapi Dewa dan Gugun telah memegangi kedua lengannya.
"Anjrit! Kuat banget!" seru Dewa, saat tubuhnya terus-menerus terguncang oleh pemberontakan mati-matian dari Nilam.
"Iya, Mbak Ro! Aduduh!" Gugun meringis ketika kaki Nilam telah menginjak kakinya sendiri. Pegangannya sendiri beberapa kali terlepas, walaupun ia bisa mencengkeram lagi tangan sepupunya. Sementara, Nilam tampak semakin kehilangan dirinya.
Tidak hanya suaranya yang menjadi kasar-serak, raut wajahnya berkerut-kerut seperti penampakan raksasa bengis di perwayangan. Matanya yang memerah, sibuk mendelik-delik. Kirana mulai menangis ketakutan.
"Mbak Ro, Nilam kenapa?" rengeknya.
Wanita tertua di antara mereka itu menghela napas. "Aku nggak tahu, ya, Kir. Mungkin ini penyebab dia terlalu tegang aja."
Bukan sekali-dua kali ia menghadapi pasien-pasien yang kalap, kalut oleh kondisi kesehatan mereka yang kian memburuk. Tegangan yang terlalu besar dan stres bisa memicu orang-orang bersikap aneh-aneh. Memang aneh kerja otak. Justru untuk melindungi pemiliknya, mereka bereaksi dengan berbagai cara.
Rochina lalu mendekati sepupu perempuannya yang masih SMA itu.
“Nilam,” panggilnya lagi, kepada gadis yang sekarang terduduk, masih dipegangi oleh Gugun dan Dewa yang berlutut sekarang. Dokter muda itu berkata lembut, tapi tegas. Dengan perlahan, ia menyuruh Dewa dan Gugun untuk mengurangi cengkeraman mereka, agar mereka memperlembutnya. Mengekang seseorang saja sudah cukup memicu stres pada orang yang bersangkutan.
Ia mengulang lagi petunjuknya, “Tenang, kamu coba tarik napas ....”
Nilam menggeleng-geleng keras. Ia mencoba membanting dirinya ke belakang, membuat pemegangnya terhuyung-huyung. Kesekian kalinya, ia berhasil merobohkan keduanya. Mendorong tubuhnya sendiri ke belakang dengan menghentakkan kaki depannya, Nilam berhasil membuat kedua pria yang memeganginya jatuh tersungkur.
Begitupun ia, terduduk di aspal dingin. Ia mencoba merangkak, hendak menjauh dari mereka. Namun, Dewa bertindak cepat menarik tangannya, hingga gadis itu kembali terjerembab di aspal. Gugun memanfaatkan itu untuk menangkap tangannya yang satu lagi.
Dengan semua terduduk di aspal, Rochina membuat dirinya berlutut di hadapan Nilam.
"Nilam! Sebentar lagi kita pulang! Mama dan Papa kamu menunggu di rumah ...."
“Diam!” raung Nilam dalam suara yang sangat asing buat Rochina. Wanita muda itu mengabaikan kekasaran yang ganjil dari sepupunya. Sebaliknya, ia memegangi pundak Nilam, mencoba melontarkan beberapa kata yang menenangkan lagi. Ia harus tenang dan lembut, sebaliknya ia juga harus mendominasi keadaan. Kalau pasien melihat kondisi yang terkendali, pasien akan lebih tenang.
“Nilam, kita pulang sebentar lagi. Di rumah Mama dan Papa kamu sudah menunggu ....” Kalimat itu tak pernah selesai. Pembicaraannya usai, saat ia terpekik ngeri. Nilam telah melepaskan diri dari Dewa dan Gugun, lalu melompat ke arahnya. Tubuhnya tersungkur ke belakang. Rochina terkesiap saat gadis itu telah menindih tubuhnya, menyeringai, sama sekali tidak terlihat manusiawi.
“Aku bilang, diam!” Tangannya telah bergerak ke leher Rochina, saat ia tiba-tiba terpaku. Matanya tidak lagi terfokus pada Rochina. Seringai telah terhapus dari wajahnya. Ia lalu menggeram seperti anjing, lalu mengangkat wajahnya perlahan. Kedua mata yang melebar itu kini mengarah lurus kepada pria pengendara motor itu.
Tidak hanya tampak marah, dia tampak terkejut. Hampir-hampir takut, Rochina mengamati ekspresi yang bercampur aduk di wajah gadis yang perawakannya begitu berbeda sekarang. Rautnya tidak lagi seperti gadis biasa, malah Rochina merasa wajahnya lebih mirip lelaki sekarang.
Rochina mengangkat alis ketika Nilam bertanya parau, “Siapa kau?” dan benar-benar melupakan kehadirannya. Maka, wanita itu mengikuti arah pandangnya.
Di hadapannya, di atas kepala Rochina, pria pengendara motor itu telah berdiri tegak. Memandangi Nilam dengan sorot mata yang tajam. Kelengahan gadis itu dimanfaatkan oleh Rochina. Wanita muda itu menendang Nilam keras-keras, melupakan sejenak kalau ia adalah sepupunya. Nilam terhuyung dan Rochina segera melompat bangkit, menjauh dari Nilam.
Nilam sendiri tampak tidak peduli korbannya lepas. Sebaliknya, ia berdiri dengan punggung terbungkuk, kedua tangannya yang terkepal terangkat, seakan bersiap untuk menyerang. Ia mendelik ke arah pengendara motor, yang justru menatapnya tenang-tenang. “Siapa kau?!” serunya lagi.
“Bukan siapa-siapa!”
“Bohong!” Sosok Nilam, setidaknya di luarnya, menerjang pria itu. Si pengendara motor menghindar, membuat tangan Nilam menghantam aspal.
“Stop kalau kau tak mau terluka,” sahut si pengendara motor. Suaranya datar, tanpa sedikit pun emosi. Begitu berbeda dengan pria yang bersungut-sungut ketika membantu memperbaiki mobil Dewa.
Nilam mengabaikan peringatannya, dan masih saja mengincar pria itu, menyerang lagi. Ia terbelalak kaget saat serangannya lumpuh oleh satu tangan. Pria itu menampar sisi telinganya dengan keras, membuatnya terpekik.
Gadis itu mengangkat kedua tangannya di sisi telinganya, gemetar kesakitan. Kepalanya tertunduk, dan tubuhnya yang membungkuk, berputar-putar sembarangan. Pengendara motor itu telah memasang kuda-kuda silat, sejauh yang Rochina pahami. Ia bersiap untuk menyerang.
“Jangan!” seru Rochina. Nilam adalah keluarganya, dan ia bersalah karena mengajaknya turut serta. Tidak mungkin sekarang ia membiarkan adik sepupunya terluka. Pria itu menoleh cepat, tampak sangat terkejut. Sesaat, ia menatap tajam ke arah Rochina dengan mata terbelalak, seolah ia baru menyadari bahwa Rochina ada di sana.
"Hati-hati, tolong jangan buat dia cedera. Biasanya dia nggak begini." sahut Rochina. Pria itu mendecak, lantas mengembalikan pandangannya kepada Nilam.
"Wajar, dia kesurupan. Bukan dia yang ada di tubuh itu."
Rochina mengangkat alis. Ia tidak sempat berkata apapun karena Nilam berusaha menyerang lagi. Pria itu akhirnya berhasil menangkap kedua tangan Nilam, dan mencengkeramnya di balik punggung gadis itu. "Oi! Bantu sini!" serunya, kepada dua lelaki yang berdiri terpaku, hanya mampu melihat dengan kebingungan. Keduanya lalu mematuhi komando pria itu, kembali memegangi lengan Nilam.
Sementara itu, sang pria pemarah berdiri di depan Nilam. Ia mengatupkan kedua tangannya, lalu menunduk, seakan tengah memberi hormat. Lalu, tangannya terangkat, kaku hingga tampak belulang di punggung tangannya menonjol-nonjol.
Mulutnya bergerak-gerak, hanya bisik yang terdengar darinya.
Ia menggerakkan tangannya, bersilang-silangan, dengan mata terpejam, mengernyit berkonsentrasi. Seakan menyadari dirinya tengah berada dalam bahaya, Nilam berseru-seru, memberontak lebih keras. "Mas, dia berontak! Kuat banget!"
Nilam menggeram keras, hingga suaranya membahana ke langit Cimande malam itu.
***
