Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Kisah 7 : Pesilat Malam

Pria itu tidak bereaksi. Setelah ia menggerak-gerakkan tangan, ia membuka matanya lagi. Menatap tajam ke arah Nilam yang menendang-nendang ke arahnya, ia menggerakkan sebelah tangannya. Telapak tangannya kini menempel di kening Nilam, mulutnya tetap berkomat-kamit.

Nilam berteriak keras, seolah merasakan kesakitan yang teramat sangat. Si pengemudi motor tampak tersentak beberapa kali, sekalipun Nilam tidak berbuat apapun. Tidak berdaya di bawah kendali Dewa dan Gugun, yang memeganginya seerat-eratnya.

"Jangan!" pekik Rochina ketakutan. Dia mencoba menarik tangan pria itu agar menjauh dari sepupunya, yang sekarang memalingkan kepalanya. Wajahnya masih saja menyiratkan kesakitan.

"Sial! Jangan rusak konsentrasi gua!" teriak pria itu, mendelik ke arah wanita muda yang kini menarik-narik lengannya.

Usai berkata begitu, Nilam memutarkan tubuhnya. Gerak itu menghempaskan kedua sepupunya, hingga pegangan mereka terlepas. Pria itu terkesiap, tapi terlambat bereaksi. Sebelah tangannya tertarik, lalu ia merasakan hentakan keras di dadanya, sebelum ia terlempar semeter ke belakang.

"Nilam?!" seru Rochina, terbelalak.

Gadis itu sendiri kini telah menekuk lututnya yang terbuka lebar. Kedua tangannya terentang menyilang. Rochina tidak memahami ilmu bela diri, tetapi jelas ia tengah melakukan kuda-kuda silat. Mulutnya ternganga.

Pria pemarah itu sendiri terbungkuk, memegangi dadanya. Matanya tajam mengarah pada Nilam. Menarik napas dalam-dalam, ia lalu menegakkan tubuhnya, melepaskan udara yang tertahan di paru-parunya dengan keras.

Ia berjalan ke arah Nilam, lalu mengepalkan kedua tangannya. Dengan itu, ia bersiap. Juga memasang kuda-kuda untuk bertarung.

Keduanya saling bertatapan. Nilam melangkahkan kakinya ke arah samping, sedang pria itu ke arah yang berlawanan. Masing-masing menjaga jarak. Mengawasi gerak-gerik musuh. Mempersiapkan strategi pertarungan.

"Ha!" seru Nilam, dengan suara yang masih serak dan berat. Ia berlari cepat, mendekati si pengemudi motor, yang segera mundur. Sedikit saja, untuk mengantisipasi kekuatan serangan lawannya. Ia menangkis serangan-serangan cepat dari gadis itu.

Nilam memutarkan tubuhnya, kakinya siap menerjang lawan. Dengan sigap, pria itu menaikkan kedua tangannya, melindungi kepalanya. Ia tersentak sekilas, ketika kaki Nilam mengguncangkan pertahanannya. Tidak mungkin ia terus-terusan hanya bertahan.

Lantas, ia menangkis serangan tinju, segera menepisnya untuk membuka pertahanan gadis itu. Celah itu terbuka! Pria itu menyarangkan tinjunya ke dagu gadis itu, membuatnya terhenyak ke belakang.

Menggeram murka, Nilam berlari lagi untuk menyerang. Namun, pria itu tampak jauh lebih siap. Kepalan tangan Nilam hanya menyentuh udara kosong karena sang pria telah bergerak menyamping. Tangannya lantas tertarik, berikut tubuhnya. Hanya sepersekian detik, tubuhnya telah terhempas ke tanah akibat sapuan kaki dari lawannya.

"Nilam!" Kali ini, Kirana yang menjerit.

"Hati-hati, Mas!"

Namun, bukannya kapok, gadis itu segera melompat berdiri. Ia berlari membabi-buta sekarang. Murka karena telah berhasil dikalahkan. Ia menyarangkan pukulan-pukulan cepat lagi. Pria di hadapannya mundur beberapa langkah.

Punggung sang pria tiba-tiba menyentuh sesuatu yang dingin. Batang pohon di samping jalan. Matanya terbelalak saat melihat kepalan tangan Nilam mengarah ke kepalanya. Detik-detik terakhir, ia berhasil menggeser kepalanya dengan cepat. Dan buku-buku jari lawannya menghantam batang pohon di belakangnya. Hingga kulit batang pohon itu terpecah.

Menggeram, akhirnya emosi pria itu meledak. “Berhenti!!!” serunya keras. Kedua tangannya terentang ke arah muka tubuh Nilam. Gadis itu terbelalak, lalu terpekik. Tubuhnya terpelanting ke belakang. Ia terduduk di aspal. Mengerang perlahan, ia lantas terhuyung, lalu terjatuh lemas ke aspal.

Dewa menyela, tergeragap berbicara, “lu apain sepupu gua?”

“Gue nggak apa-apain!” protes pria itu. Sementara, Rochina mendekat dan mulai memeriksa tanda-tanda kehidupan Nilam. Pernapasan serta denyut nadinya baik, dalam rentang yang normal. Rochina menghela napas lega.

Pria itu lantas menjelaskan lebih lanjut, "Tadinya saya pengen usir ruh yang merasuki temanmu ...."

"Sepupu saya."

"Apalah itu," decak si pengemudi motor. "Tapi, dia melawan kuat. Tampaknya dia dirasuki pesilat. Untungnya, hanya pesilat biasa."

"Eh, kesurupan?" tanya Gugun, wajahnya memucat. "Daerah sini angker, ya, Mas?"

"Lihat aja sekeliling kamu! Menurut kamu gimana?" Dia mendengkus, memutarkan bola matanya. Ia lantas beralih kepada Rochina, yang tengah berlutut di dekat Nilam. "Mending dia langsung dibawa ke rumah sakit buat perawatan. Kesurupan biasanya menghabiskan energi."

"Ya, saya tahu. Saya sudah periksa tanda-tanda vitalnya. Baik-baik saja, tapi emang lemah."

"Periksa? Kamu dokter?" Rochina hanya mengangguk sebagai jawaban, menahan diri untuk tidak memutarkan bola mata. Tampaknya, kata-katanya hanya dianggap selewat lalu. Pria itu mengangguk. "Bagus kalau gitu, pastinya dia aman. Tugas saya sudah beres, ya."

"Maaf, Mas, sepupu saya ini udah nggak kesurupan lagi?"

"Ya, kamu lihat aja sendiri." Ia mengernyitkan kening. "Saya pergi, buru-buru." Pria itu melongok ke kanan dan kiri, sebelum ia berjalan ke arah helmnya yang tergeletak di aspal. Meraihnya, ia memakai helmnya lagi.

Tanpa menunggu reaksi dari Rochina dan sepupu-sepupunya, pria itu menaiki motornya lagi. Dengan cepat, memutar kunci starter dan segera melesat pergi. Deru mesin motornya yang kasar dengan cepat menjadi samar saja, lalu lenyap di tengah-tengah kegelapan malam.

Rochina mengamatinya dengan mulut ternganga. Namun, suara lain menyadarkannya.

“Kak Ro...,” tegur Kirana pelan. Ia mengelap keringat jagung di pelipis sepupunya sembari menatap Rochina dengan khawatir. Rochina lantas mengalihkan pikirannya dari pria aneh itu.

“Ayo, kita bawa ke rumah sakit terdekat.” Dewa dan Gugun menggotongnya masuk ke dalam mobil, membaringkan kepalanya di pangkuan Kirana yang telah memasuki mobil terlebih dahulu. Rochina masuk belakangan, mengangkat kedua kaki sepupu perempuannya itu dengan lembut, sebelum ia menyelinap, duduk di bawahnya.

Akhirnya, “Ayo,” Dewa bergumam, cahaya lampu mobil menampakkan mukanya yang pucat dan letih. Yang lainnya bergumam setuju, tidak sabar untuk meninggalkan keheningan pekat di hutan ini. Meninggalkan horor yang baru saja mereka alami.

Mobil Dewa kali ini berjalan lancar. Kelima penghuninya duduk diam, tidak lagi banyak bersenda gurau, bahkan mereka menutup mulut sepanjang perjalanan. Hanya setelah keluar dari sergapan pagar pepohonan rimbun yang menyelubungi apa pun di balik hutan itu, Dewa mengembuskan napas dengan sangat lega.

"Gila, serem banget, ya."

Kirana mendesah. "Ah, bukan serem lagi. Jantungku aja berasa kayak mau berhenti, deh."

Sebaliknya, wanita muda yang terlibat langsung dengan segala peristiwa ganjil malam itu hanya tersenyum kecut. Kaki Nilam telah bertelanjang sekarang, sepatunya lepas, dilepaskan oleh Rochina. Lantas, gadis itu memijat-mijat telapak kakinya itu. Menekan titik-titik saraf yang sekiranya bisa menenangkan tubuhnya yang baru saja distimulasi terlalu kencang.

Bibirnya sendiri bergerak-gerak pelan, melafalkan ayat-ayat Al-Qur'an yang telah dihafalnya. Sesekali, ia membisikkan kata-kata penenang sambil mengusap-ngusap dahi Nilam yang berkeringat sekarang.

Rochina menoleh ke belakang, menatap jalan yang dinaungi oleh dedaunan rimbun, tempat di mana motor tadi menghilang. Kegelapan semakin memekat, membuatnya bergidik. Yah, ia memang harus pergi dari sini. Secepatnya. Rochina bergidik mengingat suara geraman dari mulut Nilam, suara yang tidak pernah ia dengar sebelumnya. Rochina memejamkan mata, membisikkan ayat kursi berulang-ulang dalam hati.

Sama sekali tidak masuk akal.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel