Kisah 5 : Pria Pemarah
Rochina memutarkan bola matanya. "Mobil sama motor miripnya di mana, Kirana?” senyum Rochina sarkastis. "Kamu nggak apa-apa?"
"Iya, Mbak Ro." Kirana melemparkan pandangnya kepada pengemudi motor yang kini terbaring di atas aspal. Tidak bergerak. Mata Rochina terarah pula ke sana.
Bisiknya, "Aduh, dia gimana, ya?" Ia segera bergegas menghampiri pengemudi motor itu. Baru saja wanita muda itu hendak memeriksa kondisi si pengemudi, ia tersentak oleh suara geram dari balik helmnya. Siapapun di baliknya, ia menggeliat, mengerang lemah.
"Halo, bisa dengar aku?" sahut Rochina, keras dan tegas. Helm itu terdengar menggeram lagi. Pria di baliknya lantas bangkit perlahan, memegangi kepalanya yang masih dilindungi oleh helm. Ia lantas membukanya dengan cepat.
Rochina tersentak ketika kata pertama yang didengarnya, “Brengsek! Lu tolol, ya?!!” Membuat alisnya terangkat tinggi.
Pria itu mengernyit, memegangi keningnya.
Ia tidak tahu harus lega atau tersinggung, tetapi ia bersyukur sosok itu tidak terluka. Apalagi dengan caranya berbicara begitu, tidak mungkin dia tidak baik-baik saja. Pria itu mengumpat kasar lagi, membuat Rochina meringis.
"Maaf, Mas. Karena kita panik, butuh pertolongan, makanya langsung refleks ...."
" ... buat mati konyol?" dengkusnya, menyelesaikan kalimat Rochina yang tergantung.
Wanita itu ternganga. Ia lantas menggertakkan giginya, menahan diri untuk berbicara baik-baik kepadanya. "Ya, kita akui kita salah bertindak begitu. Kita juga nggak nyangka Masnya ngebut begitu."
"Ya iya, jalanan kosong gitu, bukan di jalan rame juga?" kilahnya cepat. "Otaknya tolong dipake, Mbak!" gerutunya, sambil mencoba bangkit. Ia menepuk-nepuk celana bagian belakangnya, mengusir debu-debu jalanan yang menyangkut di bahan pakaiannya.
Jangan pernah menyinggung Rochina perihal otak. Dia merasakan wajahnya memanas. “Maaf, ya. Tapi, kita dalam situasi darurat. Lagian, emangnya nggak keliatan dari jauh kalo ada orang banyak begini?” sindir wanita itu.
“Gua mana ngeh ada orang goblok yang markir mobil di sini?!!” bentaknya. Emosinya tak juga surut. Terlalu pemarah, putus Rochina. Ia mengambil helmya dan mengumpat lagi. Helm itu agak penyok. Dan Rochina yakin bukan karena terjatuh dari motor, maka ia rusak begitu. Tentu karena bantingannya yang tak berbelas kasihan.
Desis Rochina, “Yang goblok siapa? Masa parkir di sini?” tetapi cukup rendah hingga ia tak mampu mendengar. Ia lalu menarik napas, menenangkan diri. “Maaf, Mas, mobil kita mogok, bukannya lagi parkir.” Rochina menekankan kata-kata terakhirnya. “Saya dokter, mungkin bisa saya periksa dulu kondisi Mas.”
“Nggak usah,” tukasnya ketus.
Pria itu melempar pandangan kesal ke arah Rochina, lalu ke arah sepupu-sepupunya, lalu mobil yang seakan menempel dengan pohon. Mendesah panjang, ia lalu menghampiri mobil. “Kenapa ini?”
“Hum ... ini, Mas,” Dewa tergeragap, ciut dengan keberingasan pria yang membentak-bentak Rochina seenaknya. “Saya juga kurang tahu, nih...”
“Lah, lu gimana? Lu yang punya mobil, masa lu nggak tahu?” ketusnya. Ia lalu menambahkan gerutuan pelan, “Paling mobil bokapnya ini,” cukup membuat Dewa terperangah, tidak menyangka mendapat serangan dari orang asing. Ia menggertakkan rahangnya, tapi tak membalas.
Rochina menyeringai jijik. Melebarkan matanya ke arah Dewa, yang mengedikkan bahu. Dia lalu memberikan isyarat agar Dewa menyingkir dari pria gila itu. Sebelum terjadi pertumpahan darah antara mereka berdua.
Sekalipun bersikap kasar, pria itu berjalan ke arah kursi pengemudi. Ia melongok ke dalamnya, mengecek panel yang berada di balik kemudi. Sekilas saja, lalu ia berjalan memutar ke arah moncong mobil. Seperti halnya Dewa beberapa saat lalu, ia mulai memeriksa kenop-kenop dan kabel-kabel yang ada di mesin mobil.
Rochina mendekatinya. Ia mengamati pria yang kini tengah mengutak-ngatik mesin mobil yang biasanya tertutup oleh kapnya. Gerakannya telaten, memeriksa bagian-bagian mesin mobil. Ia lalu memutar sebuah kenop yang terhubung pada kabel yang agak besar.
"Oi!" panggilnya kasar kepada Dewa. Pria itu tergagap mendekatinya. "Lu coba nyalain mesinnya!" perintahnya tajam.
Rochina mengernyitkan kening. Ia lantas menaruh tangannya di bahu Dewa, menghentikan geraknya. "Udah, aku aja," tukas Rochina, kembali mengisyaratkan sepupunya itu untuk menjauh. Merengut, wanita itu lantas menuju ke kursi pengemudi. Dia pun punya mobil, tetapi tidak terlalu tahu-menahu tentangnya, dan sekarang ia benar-benar menyesal.
Saat ia memutar kunci starter mobilnya, mobil itu menggerung pelan sebentar, lantas mati lagi. Pria itu mengangkat jari telunjuknya, mengisyarakatkan Rochina untuk kembali menstarter mobil. Peristiwa yang sama terulang lagi.
Kali ini, pria itu menundukkan kepalanya, hingga sosoknya menghilang di balik kap mobil yang terbuka. Rochina menegakkan lehernya, mencoba mencari tahu apa yang tengah dikerjakannya, tetapi gagal. Maka, ia bertopang dagu saja di atas kemudi mobil yang dilapisi oleh kulit hitam.
"Oi!" Suara kerasnya yang kasar terdengar lagi. Rochina tersentak, segera menegakkan punggungnya. Pria itu menutup kap mobil dan mengedikkan dagu kepada Rochina tanpa kata-kata lanjutan.
Menahan diri untuk tidak menyumpahinya, wanita yang mengenakan jilbab itu mencoba lagi. Deru mesin terdengar, agak lemah daripada biasanya. Namun, perlahan ia menggerung semakin keras. Rochina memainkan koplingnya, mendengarnya menderu bersemangat kini.
Kirana dan Nilam melupakan tamu kasar mereka, dan berseru kegirangan. "Nyala, ya?! Wah, makasih banyak, Mas!" Keduanya menghampiri pria pemarah itu, menyalami tangannya. Dia yang disalami hanya menggeram pelan.
Kepalanya tegak, mencari-cari motornya di lokasi ia terjatuh. Namun, motornya tidak ada di sana. Matanya bergulir dan mendapati seorang pemuda tengah menggiring motor itu kepadanya. Pria itu terdiam, mengamati Gugun yang mendekatinya dengan wajah ragu-ragu. Menghela napas, ia lantas berkata, lebih lembut, "Sip, thanks!"
Pemuda itu mengembuskan napas lega tanpa malu-malu, lantas tersenyum lebar. Namun, ketika motor berpindah tangan, ia terburu mendekati Rochina dan berdiri di sampingnya.
Wanita itu menatap pria yang kini memeriksa motornya. "Kalau ada yang rusak, biar saya ganti biayanya," sahut Rochina.
"Nggak usah! Daripada gitu, lain kali mikir aja dulu sebelum bertindak," dengkusnya.
Rochina tersenyum, tetapi kedua tangannya sibuk saling meremas, sementara pikirannya melayang kepada jarum-jarum dan pisau-pisau bedah, yang kecil tetapi tajam luar biasa. "Saya tahu saudara saya salah, dan kami rasanya sudah minta maaf, ya."
"Ya, saya terima maafnya. Saya cuma memperingatkan." Pria itu mengedikkan bahu. Tanpa sekalipun memandang ke arah Rochina, ia memasang standar motornya. Meraih helm yang ia letakkan di atas aspal, ia lalu memasangnya kembali. Dan tanpa berkata apa-apa lagi, ia menaiki motornya.
Kelima orang yang terhubung dengan darah itu saling bertukar pandang. Terdiam tanpa mampu merespon kata-katanya. Rochina lantas menarik napas pelan-pelan, lalu berkata pelan, "Ok, makasih buat peringatannya." Dia terdiam sejenak, sebelum berkata lagi, "Dan makasih banyak buat pertolongannya. Sangat membantu kami."
Pria itu hanya mengedikkan bahunya lagi. Dan mereka sama sekali tidak keberatan. Memang lebih baik mulutnya diam saja, daripada keluar dan menusuk-nusuk hati mereka.
Namun, keheningan yang mereka amini itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba saja, suara menggeram yang kasar dan serak seakan berkerikil tajam-tajam memecah senyap di antara mereka. Rochina spontan menatap pria di depannya, berpikir itu mungkin dia yang mengamuk lagi. Sebaliknya, tidak ada suara dan visor helm itu mengarah ke arah yang berlawanan.
Barulah Rochina menyadari. Suara itu datang dari sepupunya sendiri, Nilam.
Tidak seperti biasanya, Nilam tengah menggeram. Menggerung, ia merunduk dalam sambil memegangi kepalanya. Ia lalu berteriak, melonjakkan keempat sepupunya.
“Nilam?!” jerit Kirana ngeri, ketika tubuhnya bergetar hebat dan ia berteriak murka, seolah tengah mengamuk.
***
