Kisah 4 : Fast and Furious
“Dewanto... Nggak lucu...,” sahut Nilam, mencengkeram bahunya, dari balik sandaran kursi pengemudi. Wajah gadis itu memucat perlahan.
“Anjr*t! Nggak bisa jalan!” Dia mencoba semua. Memutar kunci mobil. Menekan kopling, menekan pedal gas. Lagi-lagi, hanya gerung lemah yang keluar.
“Dewa, jangan becanda, ah!” Kali ini Kirana yang memprotes.
“Ngapain gua becanda, gua nggak suka ngeliat hutan depan gua, ya!” tunjuk Dewa kesal. Semuanya terdiam, tatapan mereka perlahan terarah ke kaca depan mobil. Jendela besar itu membingkai pemandangan di baliknya. Jalanan panjang yang dipagari oleh hutan dengan pepohonan berdesak-desakan.
Kelimanya lalu mengamati sela-sela pepohonan yang cukup rimbun. Pohon itu rapat-rapat, sehingga menutupi cahaya dari luar. Hanya gelap di balik tumbuhan tinggi itu. Dan kekelaman di baliknya seolah mendekat, semakin mencekam. Mereka saling berpandangan sekilas. Lantas, dalam gerak serentak, semuanya sepakat untuk turun dari mobil.
Begitu menginjak aspal yang mendingin karena hawa sekitar, mereka segera menyebar, menjauh dari mobil. Namun, sadar mereka saling terpisah, mereka buru-buru berlari lagi, saling mendekat. Bahkan, mereka tidak peduli ketika badan mereka saling bertabrakan, membuat mereka terhuyung-huyung.
"Aduh, gimana, nih?" rengek Kirana, memeluk Rochina. Di samping yang lain, Nilam juga menggerutu panjang, memeluk Rochina dari sisi yang berseberangan. Sementara, dia yang berada di tengah-tengah hanya bisa terguncang-guncang pasrah. Memejamkan mata sambil menghaturkan doa memohon kesabaran.
"Ini salah Om Sugeng, deh!" tukas gadis itu. "Ngapain sih pake ramal-ramal segala?! Zaman udah smartphone 'gini masih aja pake ilmu-ilmu ghaib!"
"Hush, ah!" tegur Rochina. "Jangan nggak sopan begitu, biarpun begitu, dia om kamu, Nilam." Wanita muda itu lantas beralih kepada Dewa. “Mobilnya kenapa, Wa?” sahut Rochina cemas. Ia mengecek jam tangan yang bergerak ke antara jam 6 dan jam 7.
Padahal, perjalanan dari pedalaman Cimande ini cukup jauh dari rumahnya. Belum lagi arus balik dari daerah Bogor ini, yang selalu macet parah ketika akhir minggu. Bisa-bisa mereka sampai besok pagi. Oh, waktu istirahatku yang berharga, batin Rochina. Ingin hatinya merengek seperti Kirana dan Nilam.
“Nggak tahu, apa akinya abis, ya? Kalo bensinnya, kan, baru aja gua isi tadi.” Suaranya agak bergetar. Ia membuka kap depan mobilnya, mencoba mengecek mesin. Selayaknya seorang ahli mesin, ia memutar-mutar kenop, menyusuri kabel-kabel yang ada. Setidaknya, itulah yang terlihat, karena baru beberapa menit, ia menyerah.
Dewa mengangkat kedua tangannya. "Sejak kapan coba gua paham soal mesin mobil?!" raungnya, frustasi. Suaranya sedikit bergema di tengah-tengah kesenyapan Hutan Cimande. Semua sepupu-sepupunya segera mendesis panjang, menyuruhnya diam.
"Gun, lu tahu?"
"Punya mobil aja kagak gua," dengkus Gugun.
"Ro, harusnya lu tahu, karena lu punya mobil."
"Logikanya aku balikin ke kamu, ya, Dewa," sahut Rochina, santai saja. Dewa mengerang lagi, mengangkat tangannya dan menengadahkan kepalanya seolah ingin mendatangkan alien dari langit.
Sementara itu, sepupu-sepupunya bersikap lebih sedikit masuk akal. Mereka mengecek ponsel masing-masing.
"Duh, masa' nggak ada sinyal?" rutuk Nilam lagi.
Nasib keempat lelaki dan perempuan itu sama saja. Menggerutukan hal yang sama, mereka mulai berputar-putar. Menaikkan ponselnya, seakan jaringan hanya ada di bagian atas langit. Seperti penari Sufi, mereka berdansa berputar-putar di tengah-tengah hutan.
“Beuh, low batt,” dengkus Guntur, akhirnya menyerah. Dia lalu memandang ke sekitarnya, “Kita itu kayak lagi di film horor. Nyadar nggak, sih?” ujarnya kemudian. Dengan polos.
“Anjr*t lu, nggak usah pake ngomong kayak gitu!” Dewa menjitak kepala Gugun. Wajahnya sendiri sudah memucat.
“Bang! Lo mah...!” tukas Nilam.
Mereka segera bertengkar seru, bersahut-sahutan saling menyalahkan. Bisa jadi cara mereka untuk menghilangkan ketegangan yang menjadi-jadi.
Mau tak mau, Rochina merasa bertanggung jawab. Dia melihat ke sekelilingnya. Tidak ada rumah penduduk. Benar-benar mereka telah terjebak di tengah hutan. Bahkan, satu-dua rumah pun tak terlihat. Ditambah lagi, mereka terjebak di waktu Magrib.
Keyakinan orang-orang desa adalah Magrib adalah waktunya makhluk-makhluk halus mulai keluar untuk mengganggu. Maka, mereka membuat peraturan tidak boleh ada satu orang pun yang keluar pada waktu petang hari. Terutama, setelah azan salat Magrib berkumandang.
Rochina mengerang dalam hati. Peraturan itu menyusahkan orang-orang yang tanpa sengaja terjebak di luar ketika petang, seperti mereka ini. Dia menatap ke dalam hutan lagi. Yang sesungguhnya menyeramkan adalah kelompok-kelompok kriminal yang memanfaatkan senyap area ini. Bisa saja mereka tiba-tiba keluar dengan parang, golok, atau kampak.
Lebih menakutkan dari setan jenis apa pun.
Tengah membayangkan peristiwa seram itu, Nilam berteriak. Rochina terlonjak, berikut jantung dan organ-organ dalam lainnya mungkin. "Wah, dapet sinyal!" Ia buru-buru menelepon. “Beb, aku kejebak di Cimande,” rengek Nilam. Dewa, Kirana, Rochina serempak melotot ke arahnya.
Di sisi lain, tampaknya Guntur juga memperoleh peruntungannya. “Mah, tolong jemput Gugun dong, Gugun kejebak di tengah hutan! Ini HP Gugun low batt ....”
"Goblok! Telepon polisi! Telepon tukang derek! Malah pacar sama emak lu yang lu telepon!" maki Dewa sejadi-jadinya.
Namun, terlambat. Nilam telah melenguh kesal, "Yaah, mati! Sinyalnya ilang lagi! Yaah, Beb!" Spontan, sepupu-sepupunya yang lain menjitaknya berbareng.
Rochina memutarkan bola matanya. Dia tidak punya kekasih untuk diandalkan. Orang tuanya, ah, dia sudah bisa membayangkan mungkin mereka menganggap ini suatu pertanda. Malah besar kemungkinan Rochina disuruh bersemedi di sini. Di tengah jalan. Di tengah hutan.
Namun, ia mengangkat alis. Mendesis, Rochina mendiamkan sepupu-sepupunya yang masih ribut meledek kedua sepupu mereka yang tidak bisa diandalkan. Kelimanya segera terdiam.
"Eh, suara apa, tuh?" sahut Kirana.
"Ya, motor, lah, o'on!" tukas Dewa, memutarkan bola matanya.
Benar saja, mereka mendengar deru mesin kendaraan bermotor dari jauh. Deru itu keras dan cukup bising, dan suaranya semakin nyaring menggerung ketika ia mendekat.
“Ada orang, ada orang!” Kirana berseru lega.
“Cegat, cegat!”
Tanpa pikir panjang, Kirana melompat ke tengah jalan. Rochina terbelalak, "Awas, Kir!" jeritnya. Namun, terlambat. Gadis itu sudah berada di tengah-tengah, melambaikan kedua tangan di udara. Begitu suara itu mendekat, ia terkesiap.
Motor itu melaju kencang, sangat kencang.
Kirana terperangah. Alih-alih menghindar, ia membeku di tempatnya. Matanya terbelalak, memandang motor berukuran besar berkecepatan tinggi melaju ke arahnya.
Namun ....
Alih-alih berhenti, motor itu tampak oleng. Cakram dari rodanya mendeking nyaring, memprotes proses pengereman yang terlalu drastis. Decit panjang bergema di tengah hutan yang sepi. Motor itu terjatuh, begitupun pengemudinya. Motor terseret di aspal hingga menubruk salah satu pohon, sedangkan pengemudinya terguling sejauh kira-kira 2 meter dari motornya.
Rochina dan Kirana membeku di tempatnya, terpana. Adegan yang biasanya hanya ada di film laga atau di arena balap motoGP itu.
“Wow, kayak di film Fast and Furious.”
***
