Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Kisah 3 : Hutan Cimande

“Daaan...begitulah ceritanya.”

“Dan kita juga ikut kejebak di sini!”

“Nggak apa-apa, gue sih, seneng bisa jalan-jalan.”

“Kalo jalan-jalan beneran sih, gue juga suka. Tapi, kita ini sebenernya mencari sesuatu, kan? Sesuatu yang kita sendiri nggak tahu. Asyik banget, deh,” senyum Rochina, agak sinis.

“Salah lo!” balas Kirana, salah satu sepupu Rochina.

“Kok salah gue? Gue nggak ngapa-ngapain. Tiba-tiba aja Om Sugeng dateng, trus bilang gitu. Mami juga maksa-maksa, katanya khawatir segala macem.” Peristiwa dua malam yang lalu itu terbersit lagi di pikirannya.

Si pembawa bencana, tenang-tenang saja duduk mengamati anak dan ibu yang sedang berselisih. Rochina tidak bisa begitu saja cuti, dia dokter! Tidak bisa sembarang saja meninggalkan giliran piket di IGD. Namun, ibunya berdalih dengan alasan ‘urusan yang lebih urgent.’ Dia sadar bahwa masalahnya sangat serius kalau ibunya menganggap hal itu lebih urgent daripada nasib pasien yang bisa saja sekarat.

“Perempuan nikah di atas umur 30 bukan hal aneh lagi, kan,” Rochina mencoba memberikan pandangan yang masuk akal pada ibunya. Setidaknya, yang akan lebih masuk akal daripada kekuatan yang bikin seret jodoh. Tiba-tiba saja kepala Rochina berdenyut.

“Orang tua emang suka gitu. Jangankan Kak Ro, aku aja udah didesak, ‘kapan nikah’-‘kapan nikah.’ Aku masih 25, santai aja kali.” Kirana menyela lamunan Rochina.

“Budaya Indonesia, sih. Nggak aneh, tapi kalau kita yang dihadepin sama masalah begini, rasanya gimana gitu, ya.” Ya, tentu saja menyebalkan. Dia sendiri ingin berbakti kepada kedua orang tuanya, tetapi kondisinya memang tidak memungkinkan. Pernikahan. Ia sudah seringkali mengungkitnya kepada Dimas. Apa itu alasan dia lari? Duh, ia terkenang lagi.

“Gua pernah ketemu deh, sama Om Sugeng. Pas acara di rumah lo dulu itu, Ro. Inget, nggak?” salah satu sepupu dari kakak ayahnya, Gugun, bertanya. Rochina segera merasa berterima kasih. Ia tidak perlu mengingat-ingat Dimas pada saat seperti ini. “Kayaknya, auranya emang gimana, gitu. Serem gua, jujur aja.”

“Emang lo aja yang cemen, kali,” cetus adiknya, Nilam, di sela-sela kesibukannya mengutak-atik smartphone-nya. Mereka saudara kandung yang lumayan dekat. Jarak usia 3 tahun tidak membuat mereka segan satu sama lain. Kirana adalah anak bungsu dari ketiga bersaudara itu.

“Kak, orang kita lagi jalan-jalan, itu aja kerjaan lo,” protes Kirana. Nilam hanya mencibir, jemarinya tak henti menari di atas keypad.

Rochina tak berminat membahas lebih lanjut. Ia tidak ingin percaya pada ilmu-ilmu ghaib semacam itu di era seperti ini. Lagi pula, perkembangan teknologi toh, sudah menggantikan keberadaan ilmu itu. Namun, aliran listrik lembut di tubuhnya belum bisa dijelaskannya. Ah, kulit manusia kan, memang mengeluarkan listrik statis. Dia terkejut juga bagaimana ia tidak memikirkan hal itu sebelumnya. Rochina akhirnya sedikit merasa lebih rileks.

Hari ini, tengah hari mereka berada di kota Bogor. Berputar-putar tanpa kepastian. Sebagai lulusan kedokteran, ketidakpastian selalu membuatnya kesal. Dia butuh arah, dia butuh sesuatu yang pasti, seperti semua persoalan eksakta yang disajikan di dunia kedokteran. Ada presedennya, ada antesedennya. Bukan malah berputar-putar tak tentu tujuan.

Empat sepupunya turut menemani. Mereka senang saja bisa jalan-jalan, tanpa sadar bahwa mereka punya misi. Begitu terjebak di tengah misi tanpa tujuan, mereka ikut-ikutan hilang akal. Konsep ‘just drive’ mungkin tampak menyenangkan kalau tengah bersantai, tetapi embel-embel ‘mencari sesuatu’ agaknya mengaburkan makna sebenarnya dari frase itu.

“Tapi, gila juga,” sahut Dewa, supir mereka. “Udah yang keberapa ini? Lo tenar apa gampangan, sih?” Dan Dewa dengan entengnya mengembalikan ingatan Rochina pada Dimas, lelaki terakhir dalam hidupnya. Yang juga mengecewakan.

Rochina menarik napas panjang. Benar-benar kurang ajar saudara sepupunya ini. Yang lain pun malah menertawakannya. “Gua yang tenar,” tandasnya singkat. Berharap pembicaraan ini berakhir.

“Gampangan, Ro! Gampang diputusin!” ledek Gugun, anak kedua Om Sugeng. Sindiran itu disambut dengan gelak tawa yang lain.

Tangan Rochina menyambar si perusuh. Mencoba menyerangnya dengan cubitan-cubitan mematikan. Seharusnya dia tidak mengajak orang-orang gila ini, dia sadar sedari awal. Apa daya? Dia tidak mau teman-temannya tahu apa yang tengah ia kerjakan. Bisa diledek habis pula dia. Ia juga tidak mungkin berputar-putar di daerah yang tak dikenal tanpa tahu apa yang dicari. Benar-benar serba salah.

Keriangan sesaat lalu tampaknya sudah banyak surut. Memang mereka sempat berhenti dan mampir untuk menyicip wisata kuliner Bogor, bersenang-senang untuk sejenak, tetapi rasa letih menguapkan keceriaan mereka. “Udah Maghrib, lho. Mau kemana lagi kita? Kok malah ke pedaleman, sih? Dewaaaa!” gerutu Nilam, anak perempuan Om Sugeng.

“Ya, gue, kan, disuruhnya sampe ini anak dapet wangsit! Lah, kalo nggak dapet, gue kena omel juga, dong!”

“Ro!” alih Nilam kepada Rochina.

“Duh, gue aja nggak paham kita ngapain.”

“Wangsit, Ro, wangsit! Feeling lo gimana?”

“Bicara feeling sama dokter! Emangnya gue bisa nanganin pasien pake feeling?”

“Ya, trus gimana ini nasib kita?” desak Nilam. Dia menjawil Dewa, “Kita di mana, sih?”

“Di Cimande.”

“Cimande?” Rochina mengulang. Ada sebentuk perasaan terbersit. Mungkin karena kemarin salah satu koleganya menyebut-nyebut daerah itu. Tidak mungkin ini wangsit yang dibicarakan Om Sugeng, kan?

“Udahlah, kita santai ini, kan. Kita nyari makan dulu, trus kita puter balik.”

“Nyari makan di mana? Ini di pinggir-pinggir udah banyak hutan gini,” Kirana mengernyit, mengamati pepohonan yang menjadi memagari perjalanan mereka.

“Kan, beberapa ada rumah warga yang kita lewatin tadi. Pasti di depan sana ada warung makan atau apa, gitu. Asik lagi, makan makanan kampung. Enak banget biasanya,” langit mulai gulita. Dewa memicingkan mata, lalu mengganti lampu mobilnya dengan lampu jauh. Ia terkesiap saat melihat seekor tupai melintas.

Pekik kengerian melanda mobil tipe SUV milik Dewa. Pemuda itu membanting setir demi menghindari tupai. Di tengah hutan, menabrak anggota alam sekitar, sungguh tidak lucu. Apalagi, orang-orang pedesaan biasanya tidak suka akan hal itu. Ban mobil berdecit dan mobil kehilangan arah. Ia menginjak pedal rem tepat pada waktunya. Bumper mobil hanya berjarak beberapa sentimeter saja dari pohon terdekat.

Dewa menarik napas. Di depannya, pemandangan kelam balas menatap. Ia bergidik. “Oke, oke, puter balik,” sahutnya lemah. Keempatnya bergumam setuju. Tak lagi banyak protes.

Dia menggerak-gerakkan gigi ke arah R. Mesin mobil menggerung lemah, kemudian mati. “Shit...,” Dewa berbisik tegang.

“Kenapa, Wa?”

Dewa mencoba peruntungannya lagi. Mesin hanya menggerutu sedikit saja. Kelima orang yang berada di mobil itu memucat.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel