Bab 8. Nasi Basi
"Ayah, Rafa lapar," ucap Rafa memegangi perutnya yang kempes.
Aku menatap wajah putra semata wayangku iba. Merasa bersalah pada anak sendiri yang baru berumur empat tahun. Seharusnya, masa kecil Rafa dihabiskan dengan penuh kebahagian. Bermain dan tertawa bersama teman-temannya. Namun, harus menderita bersamaku di sini. Hidup miskin dalam tekanan ekonomi.
Pekerjaanku masih menumpuk. Belum selesai mengaduk bahan bangunan. Masih ada sisa sepuluh menit lagi untuk waktu istirahat. Namun, Rafa tak mungkin menahan lapar sampai waktu itu tiba. Jatah makanan untuk para pekerja sebentar lagi akan datang. Akan tetapi, Rafa sudah merengek minta makan.
"Bang, bisakah aku minta jatah makan duluan untuk anakku?" tanyaku pada Bang Furqon. Dia kepala mandor yang baru tempatku bekerja di sini.
"Nih makan nasi sisa kemarin!" Bang Furqon meletakan nasi berwarna kuning di atas meja dengan kasar.
"Bang, nasinya sudah basi dan berbau. Tidak layak lagi untuk dimakan."
"Emang kalau makan nasi yang sudah kuning anakmu akan mati? Enggak, kan?"
"Tapi perut Rafa bisa sakit bila makan nasi basi, Bang?" protesku.
"Kau kira beli beras tidak mahal ha? Enak banget mau makan tapi gak bisa beli nasi. Aku tidak sudi kasih makan anakmu. Jatah makan siang hanya pas untuk para pekerja."
"Berikan saja jatahku, Bang. Kasihan Rafa bila harus makan nasi sisa."
"Maaf, ya. Aku lebih suka kasih makan anjing daripada anakmu."
Ser! Degup jantungku berhenti dan terasa sesak. Mendengar kata-kata Bang Mandor. Ingin rasanya, kupukul wajahnya hingga babak belur. Bagaimana dia tidak punya hati menyamakan Rafa dengan binatang. Sungguh, tidak manusiawi.
"Kalau mau makan saja nasi itu. Atau kau pilih anakmu kelaparan." Bentaknya sambil berlalu pergi.
Kuelus dada dengan sabar. Menghadapi Bang Furqon yang kasar. Kepala mandor yang baru beberapa hari bekerja sebagai pimpinan. Bang Mandor yang dahulu berhenti bekerja karena pindah tugas di tempat lain.
"Ayah, kenapa Bang Mandor marah sama kita?"
"Kamu gak usah dengerin, Nak. Dia hanya asal bicara saja."
"Ayah, nasi basi itu apa? Kenapa dia bilang kita orang miskin? Kata Nenek orang kaya dan miskin itu sama di mata Allah."
Aku terdiam. Tidak bisa berkata apa-apa. Predikat orang miskin begitu melekat sejak Rafa lahir dan ditinggal ibunya.
Bukan salahnya lahir ke dunia. Tapi karena aku yang belum bisa merubah nasib, untuk membuat ibunya bahagia.
"Ayah," panggil Rafa
"Iya, Nak." Lamunanku seketika buyar. Rafa menghapus jejak air mata yang membasahi di pipiku.
"Ayah kenapa nangis?"
"Ayah gak nangis, Nak."
Aku mengusap kepala Rafa dengan lembut. Kemudian, menghapus jejak air mata dan melanjutkan pekerjaan.
Bang Furqon yang cerewet pasti akan marah, lalu memaki dengan sumpah serapah. Kalau aku belum selesai mengerjakan semua pekerjaan. Sebentar lagi makan siang akan segera tiba. Sementara, tumpukan pasir dan semen masih banyak. Aku tidak bisa membiarkan Rafa terus begini. Harus bisa segera selesai tepat waktu, atau kepala mandor akan menghukumku dengan tidak memberi jatah makan siang.
Sejak bekerja di sini, jatah makan siang selalu ditanggung oleh pihak pengelola banguan. Aku bekerja sudah melebihi target. Kadang, tidak dibayar sesuai upah.
Di daerah tempat tinggalku sulit mencari pekerjaan, karena jarak dari kampung ke kabupaten sangat jauh. Butuh waktu tiga jam untuk sampai ke sana.
Apalagi kondisiku kini, membawa Rafa ikut bekerja. Sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak dari ini. Tak mungkin bisa bekerja lebih cepat. Setiap waktu, aku harus melihat Rafa dan memantau dia bermain. Maklum, tidak ada para pekerja yang membawa anak kecuali aku.
Penyakit asma sering kali kambuh karena terlalu capek, dan kurang istirahat. Mengerjakan pekerjaan bangunan terlihat mudah, tetapi memberatkan. Apalagi, semua harus dikerjakan dalam kondisi kurang sehat.
"Rafa laper, Yah."
"Sabar ya, Nak? Ayah beresin ini dulu."
"Tapi, Yah."
Wajah Rafa berubah murung. Ketika permintaan untuk makan tidak kesampaian. Dia duduk di pojokan dengan wajah memelas, dan kurang nutrisi. Tubuhnya kurus meski dalam masa pertumbuhan. Maklum, ekonomi yang pas-pasan tidak sanggup untuk membeli susu formula. Alhasil, Rafa harus terima hanya dengan minum air gula saja.
Ah, menyedihkan sekali nasib anakku. Mengapa aku harus membawanya dalam penderitaan. Pasti Rafa bisa hidup lebih baik bila bersama ibunya di rumah. Andai saja, Sakira mau sedikit bersabar.
Tiba-tiba Bang Furqon datang dengan wajah yang memerah. Matanya menatap dengan sorotan tajam ke arahku. Pandangannya mengelap dengan manik hitam.
"Kamu lama banget kerja dari tadi gak siap-siap. Aku gaji kamu bukan untuk bermalas-malasan tahu!" Hardiknya.
"Anu, Bang. Tadi kepala bangunan baru saja menambah adukan semen."
"Alasan saja. Cepat selesaikan pekerjaanmu dan angkat batu bata ini ke sana! Aku tidak suka pekerja yang tidak mau diatur."
Bang Furqon membalikkan badan hendak meninggalkanku, tetapi buru-buru aku mencekal pergelangan tangannya. Berharap sedikit belas kasihan kepada lelaki yang sudah paruh baya itu.
"Tunggu, Bang! Bisakah kasih Rafa makanan dulu. Kasihan dia kelaparan sejak tadi," ujarku mengharap. Memohon ada sedikit rasa iba kepada seorang anak kecil. Mungkin aku bisa menahan lapar, tetapi tidak pada Rafa. Bagaimanapun juga dia masih kecil. Tidak mengerti dengan penderitaan ayahnya.
Rafa hanya memandang laki-laki yang disebut sebagai Bang Mandor. Dengan wajah memelas, dan penuh belas kasihan. Perut yang lapar hanya menginginkan makanan nasi seperti biasa. Nasi kerak juga tidak apa-apa. Tanpa lauk pun tak mengapa, asal bisa mengisi perut yang kosong.
Tidak mungkin nasi yang basi kuberikan pada Rafa. Bisa-bisa dia sakit perut, karena makan yang tidak layak untuk dikonsumsi. Tidak ada orang tua di dunia ini, yang tega memberi makanan tidak layak.
"Jangan harap! Selesaikan dulu pekerjaan baru boleh kalian berdua makan." Nada bicara Bang Furqon sedikit meninggi, kemudian berlalu begitu saja tanpa rasa bersalah.
Dia meninggalkan tempat ku mengaduk semen tanpa perasaan. Tentu saja wajah Rafa sangat sedih, karena mendapat penolakan dari pria bengis itu. Bukan hanya Rafa yang terluka, tetapi sebagai ayah hatiku tersayat-sayat.
"Ayah, jangan nangis. Rafa bisa menahan lapar."
"Maafkan Ayah, Nak. Ayah tidak bisa mendapatkan makanan untukmu. Ayah juga belum bisa membuatmu bahagia."
"Tidak apa-apa. Orang dewasa gak boleh menangis."
Sudah sejak dari tadi Rafa berada di dekatku. Tangan mungilnya sedang menghapus jejak air mata. Buliran bening tak berhenti mengalir dari pipi. Menetes sedari tadi membasahi wajah. Padahal, aku tidak pernah menangis di depannya. Biasa akan menyimpan sendiri rasa perih di hati. Tapi sekarang aku tidak bisa menahannya.
"Maafin Ayah ya, Nak? Ayah akan segera selesaikan pekerjaan ini supaya kamu bisa cepat makan."
"Rafa bantu ya, Yah?"
"Tidak usah. Kamu duduk saja di sana. Tempat ini panas."
"Rafa kuat, Yah. Tidak apa-apa kalau hanya angkat semen satu ember."
"Ayah tidak tega bila nanti kamu sakit karena kecapean."
"Ayah tidak usah khawatir. Rafa kuat kok. Boleh ya, Rafa bantu?"
Aku mengangguk tanpa menjawab. Perih terasa menusuk di dalam hati. Setiap memandang wajahnya. Aku teringat dengan ibunya. Andai, Sakira tidak meninggalkanku begitu saja, mungkin hidupku dan Rafa tidak akan menderita begini.
Dengan tangan kecilnya, Rafa membantu mengangkat adukan semen dan pasir agar cepat selesai. Aku takut Rafa pingsan karena menahan lapar. Namun, dugaanku salah. Dia lebih kuat dari yang kukira. Bahkan, lebih tegar saat berada di posisi yang serba kekurangan.
Seringkali aku sesali karena membuat Rafa terlahir ke dunia. Bukan tidak sayang. Tapi … membuat dia merasakan kesulitan hidup terasa lebih jahat. Dibandingkan membunuh saat kecil, atau menelantarkan saat masih bayi. Aku sama saja seperti penjahat, hanya beda cara melakukan dosa.
Sakira pernah mengeluh. Keadaan ekonomi masih sulit ditambah kehadiran Rafa. Tentu dia keberatan karena harus mengasuh di bawah garis kemiskinan.
Beberapa bulan yang lalu, ibu memaksaku menikah dengan wanita lain sebelum menghembuskan napas terakhir. Orang yang katanya bisa menerimaku dan keadaan yang susah. Juga Tara apa adanya. Meski statusku duda yang ditinggal pergi istri.
Kalau dipikir, Rafa juga butuh seorang ibu. Dan aku butuh pasangan pendamping hidup. Tidak menyangka, calon wanita yang akan menikah denganku tak mau menerima kekurangan. Dikarenakan aku orang miskin. Siapa yang akan menikah dengan duda yang tidak punya apa-apa. Bahkan, wanita cacat pun menolak lamaranku.
"Sudah selesai. Ayo kita makan, Nak!"
"Hore! Makan." Teriak Rafa girang dengan wajah berbinar. Senyumnya terlihat manis bagaikan madu.
Rafa berteriak di antara ke getiran hati. Hanya untuk makan saja dia bahagia. Kemudian, aku dan Rafa menuju ke ruang belakang. Memberikan makan untuknya dengan nasi sisa kemarin. Sementara aku mengerjakan salat Zuhur.
Para pekerja lainnya sudah berkumpul di ruangan khusus. Semua duduk bersila menunggu jatah makan siang.
"Ayah, ayo makan!"
"Iya, Nak." Aku tersenyum melihatnya makan dengan lahap.
"Ayah kenapa tidak makan?"
"Tidak. Ayah masih kenyang, Nak," ucapku berbohong.
Kembali aku hanya menatapnya iba. Mengapa nasibnya harus hidup susah bersama pria malang sepertiku. Kutinggalkan Rafa yang masih menikmati nasi yang hanya menggunakan lauk ikan asin.
Rafa terlihat lahap menikmati makanan bekas yang hampir basi. Baginya, tak ada pilihan lain untuk dimakan. Dia tidak memedulikan, bahwa nasi dan sayur yang dimakan adalah sisa kemarin malam. Sedikit pun Rafa tidak protes. Apalagi, mengeluh dengan keadaan.
"Rafa bantu ya, Yah?"
"Tidak usah, Nak."
"Rafa bantu angkat batu bata saja."
"Ya, sudah kalau gitu."
Selesai salat aku masih harus membereskan pekerjaan yang tadi sempat tertunda. Rasa perih di perut kian menyiksa. Sementara, jatah makan siang tidak cukup untuk kami berdua makan. Hanya mengisi dengan air putih saja.
"Danu, kalau kau mau makan ambil saja jatahku ini. Aku sudah kenyang. Nasi yang diberi jatah Bang Mandor masih banyak," ujar Bang Ucok.
"Gak usah, Bang. Makasih."
"Tak usahlah kau malu. Abang sudah anggap kau sebagai keluarga sendiri. Kasihan dirimu nanti kalau kau pingsan. Siapa yang akan merawat anakmu," ucapnya dengan logat Batak.
Bang Ucok dan aku memang berbeda agama, tetapi masalah toleransi dia sangat kuat. Jiwa sebagai para pekerja buruh sangat kuat. Sering kali Bang Ucok membantu. Memberikan jatah makanan atau sekedar memberi uang jajan untuk Rafa.
"Ayah, makan saja. Biar Rafa yang teruskan mengangkat batu bata ini ke sana."
"Rafa yakin bisa?"
"Bisa, Yah. Tidak usah khawatir. Rafa pasti bisa melakukannya."
Aku tersenyum melihat Rafa yang lincah mengangkat batu bata. Walau tenaganya hanya mampu membawa dua buah saja. Namun, bocah itu kuat melakukan pekerjaan orang dewasa.
Mungkin Rafa sadar diri, kami berdua hanya harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan. Sejak kecil, Rafa sudah diperlakukan tidak adil oleh kehidupan. Aku pikir setelah mengasuhnya keadaan akan lebih baik. Namun, ternyata sama saja. Tidak ada perubahan, malah semakin parah.
Pernah suatu hari aku berniat ingin merantau bersama Rafa, tetapi lulusan SMA sepertiku tidak banyak pekerjaan yang bisa dilakukan. Biaya hidup di kota sangat tinggi. Jika ke kota lain juga sama saja. Apa yang bisa dikerjakan dengan membawa Rafa yang masih kecil sambil bekerja.
Cita-citaku pupus karena tidak bisa melanjutkan kuliah. Ekonomi saat itu, tidak memungkinkan untuk melanjutkan lagi. Ditambah kondisi ibu yang sakit-sakitan.
Aku tidak punya siapa-siapa setelah ibu tiada. Aku sempat menumpang hidup dengan paman. Ia satu-satunya keluarga dari adik—ayah. Namun, dia juga mengusirku dari rumahnya. Paman dari saudara jauh kata ibu. Setidaknya kami masih punya saudara.
Aku pergi membawa Rafa yang belum bisa apa-apa. Meninggalkan Rafa yang masih belum cukup umur juga tidak mungkin. Sementara, aku tidak punya keluarga yang bisa dimintai pertolongan.
Akhirnya, aku mengurungkan niat kembali ke rumah kontrakkan. Walau dengan memohon sebagai pengemis pada pemilik kontrakkan. Lagi-lagi ia mengusirku. Hingga hidup kami harus terdampar di sini.
***
Bersambung.
