Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7. Tetangga Orang Kaya

Di luar hujan masih saja turun dengan deras. Seolah langit sedang menangis menumpahkan segala kesedihannya. Sejak ibu meninggal aku tak punya hasrat untuk hidup. Ditambah harus membesarkan Rafa seorang diri. Bekerja keras membanting tulang pun uang tak cukup. Hanya bisa untuk makan sehari. Esok atau lusa harus mencari lagi.

Bulan depan Rafa sudah mulai sekolah TK. Aku tak punya biaya untuk membuat pendidikannya lebih layak. Uang sekolah masuk TK membutuhkan dana yang tidak sedikit. Sementara, pekerjaanku sebagai buruh bangunan, dan pengumpul botol bekas tidak cukup untuk makan. Bagaimana bisa menyekolahkan Rafa ke nol besar.

"Eh, Pak. Duduk sini! Kenapa berdiri saja di sana?" tanya wanita yang sedari tadi membicarakan Pak Anton.

"Makasih, Bu. Saya di sini saja. Baju saya basah," jawabku agak sungkan. Perhatian para ibu-ibu langsung tertuju padaku.

"Tak apa-apa, Pak. Mari makan gorengan saat cuaca hujan begini. Cocok untuk situasi yang dingin. Perut terisi dan badan menjadi hangat."

Aku tersenyum. Bukan tak ingin makan gorengan yang beraroma wangi itu, tetapi tidak punya uang untuk membeli. Bahkan, seribu rupiah pun tak ada uang dalam saku celana. Seakan mengerti kesusahanku, ibu yang tadi menyapa membungkuskan gorengan, lalu memberikan kepadaku.

Ia menyodorkan sembari tersenyum memandang. Mungkin keadaanku yang basah kuyup membuatnya timbul belas kasihan. Memberikan makanan yang diambil dari penggorengan.

"Buat sarapan, Pak. Sudah saya bayar. Terima, ya?" ujarnya ramah. Senyumnya lebih manis daripada gula.

Wanita berpakaian daster itu, tersenyum hangat. Seketika embun sudah bergelayut memenuhi kelopak mataku. Rasanya, aku tidak bisa mengungkapkan perasaan bahagia. Dan sangat bersyukur atas pertolongan Allah melalui ibu yang tadi. Kami tidak saling mengenal, tetapi dia rela berbagi. Bahkan, tidak merasa jijik berdekatan dengan pemulung sepertiku.

"Loh, kenapa menangis, Pak?" tanya wanita tadi. Ibu-ibu yang lain pun seketika menatapku. Kemudian, mengalihkan pandangan ke arah lain karena malu.

"Saya terharu, Bu. Alhamdulillah anakku hari ini bisa makan. Setelah menahan lapar sejak kemarin sore," ungkapku lirih. Menundukkan pandangan. Tidak berani memandang wajah para wanita baik itu.

Hening. Semua terdiam, suasana menjadi senyap tiba-tiba. Kulihat ibu yang memberikan gorengan tadi mengusap sudut matanya, lalu ia menatap ibu-ibu yang lain seakan memberi isyarat. Wanita-wanita mengerti dan segera bergegas meninggalkan warung.

Benar saja. Tak lama kemudian, ibu pemberi gorengan berkata, "Pak, tunggu sebentar, ya. Saya akan memberikan makanan yang lain. Rumah kita dekat kok. Tidak akan lama," ucapnya berlalu.

Mereka segera berjalan menuju ke rumah masing-masing di bawah rintik hujan. Sedangkan aku tersedu duduk di bangku kayu. Betapa Allah Maha baik. Ia memberikan pertolongan dan rezeki yang tidak disangka-sangka.

Aku memang tidak mendapatkan uang dari hasil memulung, tetapi Tuhan menggantinya dengan rezeki yang lain. Setelah beberapa menit menunggu, ibu-ibu tadi datang kembali. Dengan membawa satu kantongan plastik kresek yang besar. Masing-masing menenteng dengan menggunakan tangan. Sedangkan yang sebelah lagi mereka gunakan untuk menutupi kepala memakai payung.

"Ini ada sedikit makanan, Pak. Mungkin jumlahnya tidak seberapa tapi terima, ya. Semoga bermanfaat buat keluarga Bapak di rumah." Si ibu pemberi gorengan mewakili ibu yang lain. Aku menangis sejadi-jadinya. Mendengar kalimat yang terasa menyayat hati. Bagaikan diiris sembilu tipis-tipis.

"Terima kasih semuanya. Saya tidak akan pernah melupakan kebaikan kalian. Semoga Allah membalas semuanya dengan dua kali lipat ganda pada Ibu-Ibu sekalian," ucapku di sela Isak tangis.

Mereka mengangguk dengan serentak. Memintaku untuk segera pulang. Karena Rafa sudah menunggu dengan perut yang lapar.

Sepanjang perjalanan aku berucap syukur. Hujan pun sudah reda. Aku berlari kecil menuju pulang ke rumah. Agar segera sampai dan memberikan makanan ini untuk Rafa. Walau tidak berbentuk nasi. Setidaknya, bisa mengisi perut kami yang sudah kosong dari kemarin malam.

Namun, saat melewati rumah Pak Anton yang mewah, hatiku berdenyut ngilu dan perih. Kutatap bangunan megah itu, betapa enaknya hidup beliau. Tak perlu merasa kekurangan sepertiku. Mungkin, Pak Anton tidak akan bingung dengan hari esok dan lusa. Baginya hari ini atau yang akan mendatang tetap sama. Tidak perlu memikirkan makanan ada atau tidak. Bahkan, anak-anak dan istrinya juga tidak akan merasakan kelaparan. Aku yakin dia tidak akan memikirkan semua. Karena beliau yang kaya raya sudah berkecukupan.

Aku tidak berharap Pak Anton akan memberi sedekah kepadaku, tetangga yang hanya berjarak lima rumah dari tempatku mengontrak. Akan tetapi, orang luar tahu kalau dia pria yang dermawan. Mengapa beliau lupa memberi, terutama orang miskin sepertiku.

Saat melintas di depan rumah Pak Anton, tiba-tiba saja pintu pagar yang menjulang tinggi itu terbuka. Sebuah mobil hitam mewah Rolls Royce keluar dari garasi. Kemudian, seseorang di dalamnya membuka kaca mobil.

Ternyata, dia adalah Pak Anton. Beliau tersenyum sembari menyapa, "Habis mulung, Danu? Saya duluan, ya. Sekalian aku minta tolong tutup pintu pagar. Satpam penjaga lagi ke belakang. Saya takut ada orang nyasar masuk berniat gak baik."

Deg! Jantungku seketika berhenti berdetak. Entah mengapa mendengar kata sapaan itu, seperti anak panah yang melesat mengenai sasaran. Terasa sangat sakit hingga meluluh lantakkan seluruh tubuhku. Teringat saat ibu dan Rafa melihat Pak Anton menurunkan banyak sembako. Dia akan membagikan ke panti asuhan yang letaknya tak jauh dari kampung ini. Namun, kami sebagai tetangga yang miskin ini beliau lupakan. Apakah sengaja atau tidak. Yang jelas, Pak Anton tak pernah mengingat kami sebagai keluarga yang kurang mampu.

Saat itu, aku baru pulang kerja habis memulung, tetapi tidak mendapatkan hasil. Ketika warga diminta untuk datang ke rumahnya mengambil sedekah hari Jumat, namun Pak Anton menolak untuk memberi. Dia berkata, 'Kalian tidak pantas menerima bantuan karena aku masih kuat bekerja.'

Ketika itu, aku melihat air mata ibu jatuh menetes di pipinya yang keriput. Mengapa ada orang kaya yang tega mengabaikan tetangganya. Terlebih lagi, jarak antara rumah kami dengan istananya tidak begitu jauh. Apakah beliau tak punya hati?

Aku segera berlari untuk menemui buah hatiku. Sesampainya di rumah, aku melihat Rafa sudah bangun. Wajah imutnya tersenyum saat melihat kantongan kresek yang berada di tanganku.

"Hore! Ayah bawa makanan," teriaknya berlari menyambutku.

Secepat kilat Rafa membuka kantongan kresek yang kubawa tadi. Isinya beberapa gorengan yang masih hangat. Rafa langsung memakannya dengan lahap. Wajah polos Rafa berkali-kali mengembangkan senyum. Merasa puas karena telah mendapat makanan. Ya Tuhan! Ternyata bahagia itu sederhana. Tidak perlu uang banyak atau pakaian mewah. Cukup melihat anak-anak tersenyum.

Rafa tak pernah pilih-pilih makanan. Apa pun yang kuberikan dia selalu menerima, dan memakannya. Akan tetapi, keadaan ekonomi ini membuat dia tumbuh menjadi anak yang kurus.

"Ayah, makanannya enak. Rafa suka," ucapnya sambil menggigit gorengan dengan lahap. Dalam hitungan detik Rafa sudah menghabiskan makanannya dalam mulut.

Rasa nyeri dan bahagia bercampur menjadi satu. Betapa kasihannya Rafa yang hidup serba kekurangan. Aku berjanji akan bekerja lebih giat lagi. Agar Rafa bisa makan dan tidur dengan enak. Tak perlu memikirkan hari esok yang serba kekurangan.

Kubuka kantongan kresek yang lain. Isinya ada beras berapa liter, dan uang seratus ribu dua lembar. Ada juga minyak goreng dalam kemasan kecil. Juga tempe dan tahu dua papan. Tak lupa para ibu-ibu tadi memberikan lima bungkus mie instans, dan juga telur.

"Ayah, kenapa menangis?" tanya Rafa menghentikan aktivitas makannya.

"Ayah sedang terharu, Nak."

"Kata, Nenek gak boleh nangis kalau sudah besar," celotehnya. "Kalau ayah nangis berarti Ayah masih anak-anak."

Rafa benar, mungkin aku yang terlalu cengeng hingga air mata meluap begitu saja membasahi pipi. Teringat dengan ibu yang selalu serba menerima keadaan kami. Serba kekurangan dan tak punya apa-apa. Pantas saja Sakira pergi meninggalkanku karena kemiskinan.

"Maafkan Ayah, Nak. Ayah belum bisa membuat hidupmu bahagia," ucapku lirih. Kupeluk tubuh Rafa dengan erat.

Berkali-kali aku mengucap syukur, mudah-mudahan amal ibadah para ibu-ibu itu, diterima oleh Allah SWT. Jika suatu hari nanti aku diberi kesempatan untuk membalas kebaikan mereka, maka tidak akan menyia-nyiakan apa yang telah mereka berikan. Mungkin akan kuberikan dua kali lipat dari ini.

***

Bersambung.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel