Bab 9. Ibu yang Dirindukan
Aku terkejut ketika melihat wajah Sakira berada di berita televisi. Saat sedang menikmati makan siang dengan para pekerja lainnya. Tanpa sengaja aku menjatuhkan gelas. Menimbulkan bunyi yang sangat keras. Membuat mata Bang Mandor mertua membulat sempurna menatapku.
"Danu!" Seru Bang Mandor. Matanya langsung melotot ke arahku.
Pandanganku masih menatap layar televisi berukuran 14 inch. Sakira Farida Safira sedang diwawancarai sebagai bintang tamu. Kini, dia bekerja sebagai model tabloid wanita, dan juga model butik terkenal. Wanita yang namanya masih terukir indah dalam hati. Walau dia sudah bersuami.
Meskipun sempat kecewa pada Sakira, tetapi sampai detik ini, aku masih menyimpan rasa pada dia. Terlebih Sakira Safira adalah ibu dari anakku. Wanita yang sudah membawa Rafa ke dunia. Salahkan aku bila masih mencintainya?
"Dasar anak buah bodoh! Apa kau tidak punya mata ha!" Hardik Bang Mandor.
Bang Mandor seketika menampar pipiku. Hingga menimbulkan bercak merah. Hampir saja aku terjatuh membentur sudut meja televisi. Kalau saja tanganku tidak segera berpegangan.
"Dia memang anak tidak tahu diri, Furqon. Mending kamu pecat saja jadi pekerja. Untuk apa memelihara sampah seperti dia," ucap Bang Dayat ketika muncul di depan pintu.
Aku berjongkok sembari mengutip pecahan gelas yang berserakan di lantai. Dengan mata yang berkaca-kaca. Penuh rasa sesak yang menyeruak dalam dada. Aku bersusah payah. Agar tidak terlihat lemah di hadapan Bang Furqon dan Bang Dayat. Terlebih pria itu, pasti akan tertawa riang. Bila melihatku ditampar.
Mes ini dihuni oleh dua puluh pekerja. Semuanya berasal dari luar daerah. Mereka dihadirkan dari pulau Jawa ke Sumatera untuk mengerjakan sebuah pusat perbelanjaan terbesar di Medan Sumatera Utara.
"Ma … maaf, Bang. Aku tidak sengaja menjatuhkan gelas ini," ucapku gugup.
Plak!
"Kau benar-benar pekerja tidak berguna!" Tegas Bang Furqon. Dia mengulang kata yang sama. Menghina dan menampar. Sungguh, ingin ku membalasnya, tetapi niat itu diurungkan karena ada Rafa. Tak mungkin ku ajarkan sifat preman pada anak di bawah umur.
Bang Mandor lantas pergi setelah menampar. Tanda merah masih membekas di pipi bekas telapaknya. Tanganku berdarah kena pecahan kaca. Saat membersihkan serpihan.
Dari arah dapur Rafa berlari membawa kain lap, lalu memberikan padaku. Anak kecil seumuran Rafa harus membantu beres-beres. Jika tidak, maka sudah pasti mandor iblis itu tidak memberi kami makan.
Pun dengan pekerja lainnya takut pada Bang Furqon. Selain dia mandor, pria itu ketua preman. Tak ada yang mau mengambil resiko. Dengan melawan ketua pemuda berandalan. Bisa-bisa nyawa akan melayang.
Meski aku tahu Bang Furqon dan Bang Dayat kejam, tetapi masih berharap akan ada keajaiban. Suatu hari nanti nasib bisa berubah. Jika memang tidak ada perubahan, aku akan memilih pergi. Meninggalkan mes yang seperti neraka. Dengan membawa Rafa ikut serta.
"Ayah gapapa, kan?"
"Tidak, Nak."
Wajah Rafa terlihat kucel tak terawat. Lehernya terlihat panjang dengan tulang yang membesar. Bajunya juga lusuh dan kusam. Dia tidak punya pakaian yang lain lagi. Jangankan baju baru buat bepergian, untuk dipakai sehari-hari pun tak ada.
"Ayo sini makan, Nak!"
"Iya, Ayah."
Rafa mengangguk saja. Saat aku meminta duduk dan memberi piring. Dia anteng di atas kursi. Menikmati makanan dengan lahap. Melihat senyum terbit di wajahnya hatiku meleleh.
"Ini buat, Ayah." Rafa menyuapkan nasi menggunakan sendok ke mulutku.
Dia makan dengan sisa kuah sop, yang tadi siang dibeli dari warung sebelah. Melihat buah hatiku makan dengan tersenyum, aku merasa bahagia. Walau yang dimakan hanyalah kerak. Bagi Rafa sudah cukup. Untuk mengganjal perut yang lapar. Miris bukan? Kemiskinan tak jua enggan pergi dari hidupku.
Aku berpikir jauh. Seandainya, Sakira tahu, mungkinkah akan membelikan anaknya makanan enak. Setidaknya, lauk yang lezat untuk dimakan. Mengingat hidup mantan istriku kini sudah bahagia.
"Ayah, kata Vino lebaran haji banyak makanan. Bolehkah Rafa nanti makan daging di Idul Adha?"
"Iya. Boleh, Nak."
"Asyik! Rafa boleh makan daging rendang dan ketupat," sorak Rafa dengan wajah semingrah.
Aku tersenyum kecut. Saat mendengar dia berteriak girang. Selama ini, kita hanya mendapat makanan sisa. Tidak dengan Vino. Anak dari Bang Dayat yang selalu mendapatkan perlakuan istimewa, dari Bang Mandor
Vino adalah keponakan—Bang Furqon yang dititipkan di sini hampir tiap hari. Bila kedua orang tuanya pergi ke luar kota. Umur mereka hampir sama. Tapi … Bang Mandor melarang agar jangan dekat-dekat dengan Rafa. Takut ketularan sial. Karena Rafa adalah anak miskin yang tidak jelas asal usulnya.
"Rafa mau makan apa?" tanyaku mengelus wajahnya.
"Rafa mau makan ketupat sama rendang daging, Yah. Kata Vino idul adha banyak daging karena orang berkurban sapu," ucapnya polos.
Untuk pertama kali, Rafa menginginkan sesuatu. Daging rendang dan ketupat di hari idul adha. Idul fitri kemarin dia tidak sempat makan karena ibu keburu meninggal. Tidak ada yang membuatkan kami ketupat. Bulan haji sebentar lagi akan tiba. Hanya tinggal menghitung hari. Untuk makan kue dan daging saja, dia harus menunggu sampai lebaran idul adha. Membuat hatiku teriris perih. Pada saat itu, para dermawan akan memberikan daging kurban pada masyarakat kurang mampu.
"Boleh kan, Yah? Rafa juga mau kue makan opor ayam seperti buatan Nenek dulu."
"Iya. Boleh, Nak. Rafa boleh makan apa saja bila nanti lebaran haji tiba."
Mungkin bagiku sulit memberi rendang daging, dan opor ayam bila berada di mes ini. Namun, ada rendang daging dan opor ayam bila berkunjung ke kampung sebelah. Desa tempat kami pernah mengontrak dulu. Pasti ada yang bisa dinikmati. Rafa tidak akan kelaparan saat berkunjung ke beberapa rumah warga.
Setidaknya, aku bisa meminta pada Wiji barang sedikit untuk dibawa pulang. Mungkin gadis itu, tidak akan keberatan bila memberi makanan untuk Rafa. Wiji sangat sayang pada Rafa seperti anak sendiri.
Di kampungku sudah menjadi tradisi tiap lebaran haji tiba. Akan membuat opor ayam sebagai menu utama hari kurban. Pasti setiap rumah akan menyediakan, dan Rafa bisa punya kesempatan. Untuk makan dan mencicipi rendang dan opor ayam yang gurih.
"Rafa pasti bisa makan opor ayam dan daging saat lebaran haji tiba," ucapku tersenyum.
Tangan kecilnya menjilati sisa-sisa makanan yang menempel di jari. Tingkahnya seperti anak kucing yang menggemaskan. Imut dan juga lucu. Seakan tidak ingin berhenti karena rasanya yang enak. Dia tidak peduli, walau yang dinikmati hanya nasi tanpa lauk.
Bahkan, nasinya sudah basi berwarna kuning. Demi untuk mengisi perut yang kosong. Sebenarnya melihat Rafa tidak tega. Tapi mau gimana lagi? Aku tidak punya uang untuk membelikan dia makanan yang layak.
Padahal, apa yang dimakan Rafa hanyalah tulang ayam, dan mienya sudah habis tidak tersisa. Kaki kecilnya juga ikut bergoyang sambil berkata,'enak.' Menikmati menu makan malam dengan bahagia. Tak peduli apa kata orang. Makanlah ketika kamu lapar, dan berhentilah saat susah kenyang.
"Ayah, kata Vino kalau lebaran haji nanti neneknya akan datang dari kota. Orang yang pergi jauh merantau juga akan datang. Kalau Ibu datang juga nggak kesini? Rafa gak punya Nenek. Cuma punya Ibu yang mungkin akan datang memberi hadiah. Kenapa Ibu tidak pernah datang menjenguk Rafa, Yah? Apakah Ibu gak suka sama Rafa karena nakal?" tanya Rafa polos. Seolah sedang menyalahkan dirinya. Sering kali pertanyaan itu, dia lontarkan. Kenapa dan mengapa ibu tidak pernah datang.
Deg! Jantungku berdetak kencang. Pertanyaan polos Rafa membuat hati terkoyak perih. Selama bertahun-tahun aku selalu menyembunyikan siapa ibunya yang sebenarnya.
Bahkan, Sakira tidak pernah tahu kalau Rafa sangat merindukannya. Lantas bagaimana bisa aku mengatakan pada Rafa siapa sesungguhnya, ibu yang melahirkan dan meninggalkan dia dari bayi. Mungkinkah Sakira akan mengakui Rafa sebagai anaknya? Dulu, dia sangat membenci Rafa karena penyebabnya adalah aku. Suami miskin yang tak mampu memberi apa yang diinginkan.
"Ayah, nanti Ibu pulang enggak?"
Kembali Rafa bertanya padaku. Selama tinggal di mes tidak ada yang sudi menggap Rafa sebagai anak mereka. Bang Mandor selalu mengatakan Rafa anak pembawa sial. Ibunya kabur bersama pria lain, karena tidak tahan hidup dengan kemiskinan.
"Rafa mau ketemu Ibu gak?"
"Mau, Yah."
Rafa paham kalau aku hanyalah ayah bukan ibu yang penuh kasih sayang, seperti kebanyakan wanita lainnya. Selama lebaran dari tahun ke tahun, Rafa selalu menunggu ibu kandungnya pulang. Rafa sering bertanya padaku siapa ibunya.
Namun, aku selalu diam tak bisa menjawab pertanyaannya. Hanya memberi kebohongan dengan mengatakan ibunya pergi merantau.
"Ibu kapan pulang, Yah? Kenapa Ibu merantau lama sekali? Aku sangat merindukan Ibu seperti teman-teman yang punya keluarga lengkap. Ada Ayah dan juga ibunya."
Aku terdiam. Tidak bisa menjawab pertanyaannya. Dengan apa harus ku beri dia jawaban. Sementara, Sakira pergi karena meninggalkan ayahnya dan memilih pria lain.
Andai, Rafa bertanya lagi siapa ibunya, maka aku akan menjawab dengan kebohongan. Pertanyaan Rafa selalu sama dilontarkan. Ibu di mana? Ibu seperti apa? Kenapa ibu tidak sayang sama Rafa? Hampir setiap hari Rafa bertanya. Maka setiap kali itulah aku berbohong.
Pertanyaan Rafa selalu berulang-ulang ditanyakan. Tidak mungkin aku akan berkata jujur pada dia. Kalau ibunya pergi karena tidak ingin merawatnya.
"Rafa mau ketemu Ibu?" tanyaku mengelap mulutnya yang belepotan.
"Iya."
Rafa hanya menjawab dengan anggukan kecil, dan tersenyum bahagia menjawab pertanyaan. Aku berjanji akan mempertemukan Rafa dengan ibu kandung. Setelah mengetahui dimana Sakira tinggal. Aku tahu dari berita di televisi tadi. Kalau Sakira ternyata orang kaya dan sukses. Dulu, dia hanya mengatakan ayahnya orang kaya. Namun, aku tak pernah tahu siapa kedua orang tuanya.
Aku berpikir kalau Sakira orang baik. Dia pasti akan menerima Rafa dengan bahagia sebagai anak kandung. Tidak akan menyia-nyiakan kehadirannya. Sebagai darah daging yang lahir ke dunia. Akan tetapi, aku juga bimbang. Sakira sudah punya suami. Tentu kasih sayangnya akan berbeda. Apalagi dia juga punya anak. Mungkinkah Rafa masih dia ingat? Ah, entahlah.
"Rafa mau tidak tinggal dengan Ibu? Nanti kalau Rafa tidak betah Ayah bisa datang lagi menjemput."
Hening sejenak. Wajahnya menunduk. Seolah ragu dengan ucapanku barusan. Di lebaran haji kali ini, aku ingin dia bertemu dengan ibunya. Merasakan hidup yang enak. Tidak sepertiku yang serba kekurangan.
Mungkin setelah Rafa pergi dari sini dan menemui ibunya, aku berniat kabur. Meninggalkan mes terkutuk ini yang seperti penjara. Tapi … lebih dulu harus memastikan. Kalau anakku akan hidup berkecukupan dengan ibu kandungnya. Barulah aku memutuskan untuk pergi secara diam-diam.
"Ayah janji akan jemput Rafa, kan?" tanyanya memastikan.
"Tentu, Nak. Kita akan bersama-sama lagi jika nanti kamu tidak betah dengan Ibu kandungmu. Katanya lebaran haji Rafa mau ketemu Ibu?"
"Rafa mau, Yah. Lebaran nanti Rafa mau makan enak bersama Ibu," kata Rafa polos.
Aku hanya mengangguk mengiyakan ucapannya. Seringkali kuperhatikan Vino bila digendong ibunya. Rafa selalu menatap dari balik tembok dan mengintip.
Aku yakin kalau dia pasti merindukan sosok seorang ibu. Dia juga ingin merasakan diperlakukan seperti Vino yang disayang orang tua.
Malam harinya, aku menemui Bang Furqon. Agar diizinkan bolos bekerja untuk mengantarkan pada ibunya. Aku juga mengingatkan pada mandor kejam itu, kalau tetangga sekitar komplek ini akan menghakimi. Jika melihat anak kecil berkeliaran di area pembangunan mall.
Selama ini, Rafa hanya memakai baju lusuh dari lungsuran warga kampung. Aku akan mengantarkan pada ibu kandungnya. Setidaknya, aku tidak perlu lagi mengeluarkan biaya. Untuk membeli keperluan anakku pada saat dia bersama Sakira. Bukan masalah pelit untuk memberi pada anak sendiri. Namun, keadaan ekonomi tidak memungkinkan. Untuk memenuhi semua kebutuhan Rafa.
"Bang Furqon, aku ingin minta izin padamu untuk mengantarkan Rafa pada ibunya. Aku minta cuti beberapa hari saja."
"Emang ibunya—Rafa di mana?"
"Ada di kota ini juga sedang bekerja. Besok boleh aku mengantarkannya ke sana?"
"Kerja apa? Ah, sudahlah nggak usah aku tanya lagi. Bisa aku tebak kalau ibunya—Rafa pasti pelacur. Atau cuma wanita penjaja sek di pinggir jalan seperti kebanyakan perempuan lainnya. Hahaha!" Bang Furqon tertawa mengejek.
Aku terdiam.
Bergeming untuk beberapa saat. Tidak ingin mengatakan apa pun tentang Sakira. Kalau ibunya—Rafa adalah seorang wanita kaya-raya yang bekerja di perusahaan tabloid dan butik. Jika Bang Mandor sampai tau, takut akan memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadinya sendiri. Aku pasti akan kesulitan memberikan Rafa jika sudah begini. Mungkin pria serakah itu akan memeras Sakira.
"Emang salah kalau ibunya—Rafa pergi? Aku yakin gak seperti itu kok dia."
Langsung saja Bang Furqon bangkit, dan mendorong tubuhku. Lantas lelaki jangkung itu mengambil jaket dari lemari, dan memakainya. Dia berlalu begitu saja.
"Besok aku akan berangkat ke kota. Kamu bisa numpang di mobil. Tapi … awas! Kamu jangan macam-macam dan cepat kembali kalau sudah selesai urusanmu."
"Makasih, Bang. Aku akan persiapkan pakaian Rafa."
"Kamu boleh kemasi semua pakaiannya. Tidak balik kesini itu lebih baik. Bagiku, Rafa hanya anak haram yang membawa sial. Proyekku seret saat Rafa tinggal di sini."
"Astagfirullah, Bang. Rafa hanyalah anak kecil. Mana ada sangkut pautnya sama usaha Abang. Mungkin Abang aja yang kurang bersedekah."
"Lo kira gue orang kaya?" Mata Bang Mandor menatapku tajam.
Ya Tuhan!
Aku mengelus dada. Mendengar Bang Furqon berkata,' anak haram.' jika Rafa adalah anak sial, lalu bagiamana dengannya yang terus berbuat maksiat. Bukankah dia yang lebih banyak dosa? Dasar pria pecundang!
Padahal, hampir setiap hari dia mengatakannya. Kalau Rafa anak tidak jelas, tetapi tetap saja hatiku sakit. Bagai disayat-sayat sembilu saat mendengar ucapan mereka.
Bergegas aku menyiapkan baju-baju Rafa dari lungsuran bekas tetangga. Bajunya sudah terlihat lusuh dan kumal, tetapi aku memilih yang masih layak pakai. Mudah-mudahan lebaran haji tahun ini akan bertemu dengan ibunya. Mempunyai kehidupan yang lebih baik. Tidak akan menderita bersamaku.
***
Bersambung.
