Disonansi yang Disembunyikan
Rina berdiri dengan tangan gemetar, menggenggam catatan yang sudah agak kusut. Helaan napasnya terdengar berat, seolah mencoba menahan sesuatu agar tak pecah. Aku berdiri di hadapannya, tak tahu harus berkata apa. Rasanya seperti seluruh dunia mengecil, menyempit hanya menjadi tiga titik yakni aku, Rina, dan secarik kertas itu.
“Aku nemuin ini di sela-sela folder partitur kamu,” katanya pelan, tapi nadanya menusuk.
Aku menatap kertas itu. Tulisannya… ya, gaya lamanya. Kalimat yang pernah membuatku terus berlatih, mengubah gaya bermain, bahkan mengubah cara melihat musik. Tapi sekarang terasa seperti bukti kejahatan kecil yang tak kumengerti.
“Aku pikir kita... jujur satu sama lain,” lanjut Rina, suaranya bergetar. “Tapi ternyata ada cerita lain yang kamu simpan.”
Aku membuka mulut, ingin menjelaskan, tapi tak tahu dari mana. “Rin, aku juga baru tahu…”
“Dari siapa sebenarnya catatan ini?” potongnya cepat. “Lala?”
Aku mengangguk perlahan.
Rina menghela napas, lalu menatap langit sebentar. “Dan kamu nggak bilang apa-apa?”
“Aku baru tahu, serius. Baru seminggu lalu. Aku juga lagi coba memahami semuanya. Aku... nggak nyangka.”
Ia tertawa getir. “Lucu ya, ternyata aku bukan karakter utama di cerita ini.”
“Jangan ngomong gitu. Kamu penting. Kamu—”
“Penting, tapi bukan satu-satunya.” Senyumnya pahit. “Kamu tahu rasanya jadi seseorang yang selalu ada di barisan depan tapi ternyata bukan penulis puisi yang kamu baca tiap malam?”
Aku terdiam. Sekarang semuanya terasa kacau. Saat aku pikir semuanya sudah tertata—musik, perasaan, dan arah masa depan—semua justru runtuh karena sebuah catatan tua yang kembali muncul.
“Maaf, Rin,” kataku akhirnya.
Rina tidak menjawab. Ia hanya menyerahkan kertas itu ke tanganku, lalu berjalan pergi, membiarkanku berdiri sendiri di bawah langit yang perlahan menggelap.
**
Sejak saat itu, suasana jadi aneh. Rina tetap datang ke latihan, tetap memberi masukan, tapi ada jarak yang tak kasat mata. Ia lebih banyak bicara secara teknis, tanpa candaan, tanpa tatapan hangat. Seolah kami kembali menjadi dua orang asing yang kebetulan satu ruangan.
Lala pun tak berubah. Ia tetap dengan kameranya, mencatat diam-diam, lalu menghilang saat semua bubar. Tapi aku melihat, ada kecemasan dalam geraknya, seperti seseorang yang menunggu dipanggil ke panggung tapi tak pernah benar-benar diundang.
Dan aku? Aku jadi seseorang yang terjebak di antara dua melodi yang saling bersilang. Satu begitu jelas, terstruktur, teknis, seperti harmoni orkestra yang megah. Satu lagi samar, menyelinap di balik denting-denting kecil, seperti nada tersembunyi yang hanya terdengar saat malam benar-benar sunyi.
Yang lebih membingungkan, beberapa hari kemudian, aku menemukan satu catatan baru di dalam laci ampli gitar.
Tulisan tangan itu bukan milik Lala.
Atau Rina.
"Aku suka part baru di verse kedua. Tapi kamu terlalu ragu di pre-chorus. Jangan pikirkan aku. Mainlah seolah kamu sendiri."
Aku menatap kata-kata itu lama.
Siapa lagi?
**
Kecurigaan mulai tumbuh. Aku mulai mempertanyakan segalanya. Kalau bukan Rina, dan bukan Lala, lalu siapa? Apakah ada penulis ketiga? Seseorang yang lebih tersembunyi, bahkan dari mereka berdua?
Aku mulai mencari pola. Kapan catatan-catatan itu muncul? Setiap kali kami selesai latihan, tapi hanya saat aku meninggalkan kertas musik sendirian. Dan isinya? Semakin lama semakin personal. Bukan lagi sekadar kritik, tapi... seperti suara hati seseorang yang mengenalku lebih dalam dari siapa pun.
Suatu malam, aku kembali ke studio lebih lambat dari biasanya. Semua sudah pulang. Aku membuka pintu perlahan dan membiarkan diriku berdiri di ambang, hanya diam, mendengarkan.
Lalu terdengar suara kertas dibalik.
Aku melangkah masuk perlahan dan mendapati seseorang yang tak kusangka.
Maya.
Asisten guru musik, siswa kelas atas yang dulu dikenal dingin dan perfeksionis. Ia jarang bicara dengan kami, tapi selalu hadir diam-diam saat konser dan evaluasi.
Ia sedang membungkuk di meja, membaca partiturku. Di sampingnya ada pena, dan sebuah buku catatan hitam kecil.
Maya menoleh cepat saat menyadari kehadiranku. “Dimas? Maaf. Aku...”
Aku melangkah mendekat. “Kamu juga ngerti musik?”
Dia mengangguk perlahan. “Aku murid konservatori sebelum pindah ke sini. Tapi aku berhenti main piano dua tahun lalu. Trauma panggung.”
Aku menatap buku catatannya. “Kamu yang nulis ini?” tanyaku sambil menunjukkan catatan yang kutemukan di laci ampli.
Dia terdiam.
“Bukan Lala? Bukan Rina?”
Maya menarik napas. “Beberapa di antaranya memang dari mereka. Tapi beberapa… dari aku.”
Aku mengerutkan alis. “Kenapa?”
Ia menunduk. “Karena aku ingin kamu main seperti kamu dulu—waktu kamu belum tahu siapa yang memperhatikanmu. Waktu kamu hanya percaya pada suara hatimu.”
Aku terduduk di bangku latihan, kepala terasa penuh. “Berarti ada tiga orang?”
“Kadang lebih,” jawab Maya pelan. “Kamu pikir kamu sendiri yang mencari nada sempurna? Banyak dari kami yang mendengarkanmu diam-diam. Mengamati. Mencatat. Karena musikmu punya sesuatu yang sulit dijelaskan.”
Aku menatapnya tak percaya. “Jadi… ini bukan cerita cinta segitiga. Ini... orkestra rahasia?”
Dia tertawa kecil. “Bisa dibilang begitu.”
**
Keesokan harinya, aku memanggil Lala dan Rina. Kami duduk bertiga di ruang latihan, dalam keheningan yang menegangkan.
“Aku tahu sekarang,” kataku akhirnya. “Tentang semua catatan itu. Tentang kalian. Tentang Maya juga.”
Rina menatapku tajam. “Jadi kamu tahu semua dari awal?”
Aku menggeleng. “Justru aku makin bingung. Aku pikir catatan-catatan itu akan membawaku ke satu orang. Tapi ternyata… semuanya menulis. Kalian semua punya bagian dalam nada-nada itu.”
Lala tersenyum pahit. “Dan kamu masih belum tahu siapa yang paling penting buat kamu, kan?”
Aku terdiam.
Karena Lala benar.
Setiap dari mereka memberiku sesuatu. Rina dengan ketajaman dan kedewasaannya. Lala dengan sensitivitas dan keheningannya. Maya dengan ketegasan dan pengamatannya dari kejauhan. Tak satu pun dari mereka salah. Tapi tak satu pun juga sepenuhnya benar.
Dan mungkin, itulah jawabannya.
Aku terlalu sibuk mencari satu nada utama, hingga lupa bahwa musik terbaik lahir dari harmoni.
**
Malam konser final sekolah datang. Kami tampil membawakan lagu baruku, Nada yang Tak Terduga, dengan aransemen yang disusun bersama Rina, dinamika yang diamati Lala, dan detail pre-chorus yang disarankan oleh Maya.
Sebuah pertunjukan dari mereka yang memilih diam, tapi selalu ada.
Saat lagu berakhir dan tepuk tangan menggema, aku tidak menatap penonton.
Aku menatap ke belakang panggung.
Tempat di mana tiga orang berdiri.
Tak saling bicara.
Tapi semua tahu mereka bagian dari sesuatu yang sama.
Dan aku?
Aku hanya musisi yang akhirnya menyadari: kadang, untuk memahami musik sendiri, kita harus mendengarkan yang tak terdengar.
Karena cinta, seperti nada, kadang tak datang dari satu suara.
Tapi dari kerumitan harmoni yang tak pernah kita sadari sedang menjaga kita, sejak awal.
Satu minggu setelah konser, suasana mulai tenang. Tidak ada lagi latihan maraton, tidak ada persiapan panggung. Hanya rutinitas sekolah, tugas, dan… keheningan yang terasa asing.
Tapi justru di tengah ketenangan itu, ada sesuatu yang mulai mengusik.
Aku sedang merapikan lemari partitur ketika menemukannya.
Sebuah amplop coklat lusuh, tanpa nama. Di dalamnya, ada salinan beberapa catatan musik yang sangat familiar, catatan tangan yang dulu kukira ditulis oleh Lala.
Tapi ada satu hal aneh.
Tanda tangan di pojok bawah.
Bukan “L” seperti biasa. Tapi “D”.
Aku menatapnya lama. Membandingkan goresan pena, lengkungan huruf. Sesuatu terasa salah. Sangat salah.
Aku membawa catatan itu ke perpustakaan musik, tempat Maya biasanya menyendiri. Ia sedang membaca partitur lama saat aku mendekat.
“Aku butuh bantuanmu,” kataku singkat.
Maya membaca salinan itu, lalu mengerutkan alis. “Ini… bukan tulisan Lala. Setidaknya, bukan seluruhnya.”
Aku menelan ludah. “Kamu yakin?”
Dia mengangguk. “Aku pernah lihat catatan aslinya di jurnal Lala. Dia tulis tangan dengan huruf miring, penuh emosi. Tapi ini… lebih rapi. Terlalu rapi. Seperti seseorang yang sedang meniru.”
Aku mulai merasakan dingin menjalari tengkuk. “Berarti… ada yang memalsukannya?”
Maya menatapku. “Mungkin bukan hanya satu. Tapi beberapa.”
**
Aku kembali menyelidiki catatan-catatan lama. Mencocokkan, memotret, mengarsipkan. Dan semakin dalam aku masuk, semakin tampak jelas bahwa ada dua jenis tulisan yang saling tumpang tindih—yang satu organik, emosional, penuh coretan. Yang satu lagi bersih, metodis, seolah ditulis untuk tujuan tertentu.
Aku mulai mencurigai sesuatu yang lebih besar.
Seseorang memalsukan sebagian catatan, mencampurkannya di antara yang asli, lalu menyelipkannya ke tasku, ke laci, bahkan ke folder Rina.
Dan motifnya… belum jelas.
Apakah ingin memecah belah kami?
Atau justru… mengarahkan musikku ke arah yang dia inginkan?
**
Dua hari kemudian, Rina menemui ku dengan wajah tegang. “Kamu dapet catatan baru juga, kan?”
Aku mengangguk. “Kamu juga?”
Ia menunjukkan selembar kertas. Gaya tulisan seperti biasa...seperti Lala. Tapi kali ini, pesannya berbeda.
“Jangan percaya siapa pun. Bahkan bukan aku.”
Rina menatapku lekat. “Ini bukan dari Lala. Aku yakin.”
Kami pun menemui Lala. Di bawah pohon besar di belakang sekolah, kami duduk bertiga. Awalnya tak ada yang bicara. Lalu aku buka suara.
“Kamu pernah nulis ‘jangan percaya siapa pun’?”
Lala mengerutkan kening. “Tidak. Aku nggak pernah nulis kalimat kayak gitu.”
“Dan ini bukan tulisanmu, kan?” Rina menunjukkan kertas itu.
Lala menggeleng perlahan. “Aku memang pernah ngasih beberapa catatan ke kamu,” ia menatapku, “tapi kalau sekarang semuanya bercampur… aku nggak tahu mana yang masih asli.”
Aku menyandarkan kepala ke tembok. Perasaan tak nyaman makin menguat.
Lalu Maya mengirim pesan.
“Kalian bertiga harus ke ruang alat musik lama. Sekarang.”
**
Kami bertiga, aku, Rina, dan Lala kini berjalan cepat ke gedung tua di sisi timur sekolah. Sudah lama ruangan itu tidak dipakai, kecuali untuk menyimpan alat rusak dan partitur lawas.
Saat masuk, ruangan dipenuhi debu dan bau kertas tua. Tapi di tengah ruangan, ada meja. Dan di atasnya—puluhan lembar kertas catatan musik. Disusun rapi. Ada kode-kode kecil di pojoknya: X.1, X.2, X.3...
Maya berdiri di dekat jendela, menatap kami.
“Aku nemuin ini kemarin. Tersembunyi di balik lemari usang. Catatan-catatan ini… semuanya palsu. Tapi sangat terencana. Seolah-olah seseorang ingin mengontrol arah permainanmu. Bukan hanya musikmu, tapi juga hubunganmu.”
Aku membaca satu lembar. Isinya memuji Rina, meremehkan Lala. Lembar lain sebaliknya. Beberapa menyarankan aku agar meninggalkan Maya. Beberapa malah menyuruhku “melawan nada utama”.
Seolah... seseorang sedang memainkan kami semua.
“Siapa yang nulis ini?” bisikku.
Maya menunjuk salah satu lembar. Di baliknya, tertulis hal yang membuat darahku dingin.
“Dari Diriku yang Sebenarnya.”
Kami saling berpandangan.
Tak satu pun dari kami tahu artinya.
Tapi satu hal pasti: ada satu pemain lagi dalam cerita ini.
Seseorang yang tahu cara membuat musik.
Tapi lebih suka memainkan hati.
**
