Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Di Balik Nada yang Hilang

Sejak malam festival itu, sesuatu dalam diriku berubah. Bukan hanya soal permainan gitarku yang mulai lebih matang dan terkontrol, tapi juga hatiku. Ada ketenangan baru yang muncul setiap kali aku mengingat senyum Rina malam itu—senyum seseorang yang tulus memperhatikan, tanpa pernah meminta balasan.

Rina mulai sering muncul di ruang latihan band kami, tapi bukan sebagai penonton pasif. Dia duduk di sudut ruangan, mencatat, mendengarkan, dan sesekali memberikan masukan yang tajam tapi jujur. Anehnya, anak-anak band lain—termasuk Kevin—yang dulunya meremehkan, mulai menghargai kehadirannya.

“Lo harus dengerin saran dari Rina, bro. Gua tadi main bass kebanyakan improvisasi, dia bisa tahu mana bagian yang nabrak nada vokal,” kata Kevin suatu hari, dengan ekspresi yang jarang aku lihat darinya: kagum.

Rina hanya tersenyum tipis, mencatat sesuatu di bukunya.

Setelah latihan, aku sering mengajaknya duduk di tribun sekolah yang sepi. Kami ngobrol tentang musik, teori harmoni, dan sesekali tentang hal-hal kecil yang membuat kami tertawa. Ternyata, dia punya mimpi jadi sound engineer atau penata musik profesional. Aku bilang dia sudah lebih dari siap. Tapi dia hanya bilang, “Aku cuma pengamat. Kamu yang punya panggung.”

Namun aku tahu, panggung tak akan pernah sempurna tanpa seseorang di balik layar seperti dia.

Suatu sore, saat kami duduk berdua di tribun seperti biasa, aku membuka kotak gitar dan mengeluarkan selembar kertas partitur yang sudah kususun. “Aku bikin lagu baru,” kataku. “Dan aku pengen kamu yang bantu jadi produsernya.”

Matanya membesar. “Aku?”

“Iya. Kamu yang paling ngerti nadaku.”

Rina mengambil partitur itu dan membacanya dalam diam. “Judulnya... Nada yang Tak Terduga?”

Aku mengangguk. “Kayak kamu.”

Dia tertawa kecil, tapi kemudian matanya berkaca-kaca. “Dimas, aku… nggak pernah nyangka bisa sampai di titik ini. Dari cuma duduk di barisan depan dengan buku catatan, sekarang kamu ngajak aku masuk ke dalam musikmu.”

Aku menatapnya lama, lalu dengan suara yang lebih pelan, aku berkata, “Karena kamu bukan cuma penonton lagi, Rin. Kamu bagian dari semua ini.”

Dan hari itu, di bawah langit sore yang mulai berubah jingga, aku sadar satu hal: dalam setiap denting gitar yang ku mainkan, selalu ada satu nada tersembunyi. Nada yang tak pernah terdengar keras, tapi selalu ada menjadi fondasi yang tak tergantikan.

Nada itu… adalah Rina.

**

Aku pikir semuanya sudah terungkap. Aku pikir Rina adalah satu-satunya yang bisa menulis kritik musik sehalus dan sejujur itu. Tapi ternyata, dunia tak sesederhana itu.

Sejak malam festival, tak ada lagi catatan yang muncul. Rina mulai sering duduk bersamaku, membantu menyiapkan lagu baru, memberi masukan tentang aransemen, bahkan ikut terlibat dalam diskusi teknis soal sound system. Tapi entah kenapa, rasanya ada yang ganjil. Bukan tentang Rina, tapi tentang catatan-catatan itu.

Gaya bahasa catatan terakhir di lokerku berbeda dari yang sebelumnya. Aku hafal betul. Catatan sebelumnya selalu menggunakan frasa teknis yang spesifik, seperti "phrasing kamu kehilangan resolusi di akhir bridge" atau "bagian fingering kamu kurang konsisten di tempo 3/4". Tapi catatan terakhir terdengar lebih personal. "Aku tidak bisa menemui kamu. Tapi aku akan ada di festival." Lebih seperti... suara dari seseorang yang emosional, bukan teknikal.

Rina terlalu cermat. Terlalu akademis. Setiap komentarnya logis dan terstruktur, berbeda dengan gaya menulis si pengamat misterius yang menyentuh, nyaris puitis.

Sesuatu tak klop.

Rasa penasaranku kembali muncul, menggeliat dalam diam. Aku mulai memperhatikan lebih saksama orang-orang di sekitar. Siapa saja yang hadir di setiap pertunjukan kami? Siapa yang selalu duduk di tempat yang sama? Siapa yang menghilang setelah catatan terakhir muncul?

Dan aku mulai sadar ada satu orang yang selalu ada, tapi nyaris tak terlihat, seperti Lala, anggota tim dokumentasi sekolah.

Dia jarang bicara, selalu membawa kamera, dan lebih sering menyelinap di balik keramaian. Tidak ada yang memperhatikannya, bahkan aku nyaris lupa kalau dia juga hadir malam festival itu.

Aku mulai bertanya-tanya. Bisa jadi Lala yang menulis catatan-catatan itu, dan Rina hanya, entah bagaimana menjadi orang yang kebetulan cocok dengan spekulasi ku.

Beberapa hari kemudian, aku menemukan sesuatu yang menguatkan kecurigaanku. Di studio musik sekolah, saat semua orang sudah pulang, aku kembali untuk mengambil jaketku yang tertinggal. Saat masuk, aku melihat sosok kecil di pojokan ruangan, membolak-balik catatan musik yang aku tinggal di meja.

Itu Lala.

Dia tak menyadari kehadiranku, terlalu fokus. Tangannya bergerak cepat mencatat sesuatu di buku kecilnya. Aku berdehem pelan.

Dia menoleh, kaget.

“Dimas? Maaf! Aku cuma… tadi motret untuk dokumentasi, terus lihat notamu…”

Aku mendekat. “Kamu ngerti musik?”

Dia menggigit bibir, ragu. “Sedikit. Aku dulu belajar piano.”

Aku memiringkan kepala, menatapnya dalam-dalam. “Kamu yang nulis catatan-catatan itu?”

Lala membeku. Matanya berkedip cepat. “Catatan apa?”

Aku tidak menjawab. Aku hanya meraih buku kecil di tangannya dan membukanya.

Dan di sana, di salah satu halamannya, ada tulisan familiar:

“Interlude kali ini lebih halus. Tapi Dimas masih terlalu menekan di bagian build-up. Biarkan emosi mengalir, jangan dipaksa.”

Napas kami terhenti bersamaan.

Dia mencoba meraih bukunya kembali, tapi aku menahannya dengan lembut. “Kenapa kamu nggak pernah bilang?”

Lala menunduk. “Karena aku bukan siapa-siapa. Karena kamu lebih mudah melihat orang seperti Rina.”

Aku terdiam. Rasanya seperti ditampar pelan. Aku terlalu cepat menyimpulkan, terlalu cepat percaya pada narasi yang nyaman.

“Rina tahu kamu yang nulis?”

Lala menggeleng. “Dia tahu aku suka musik, tapi dia pikir aku cuma juru foto yang terlalu banyak baca.”

Aku menghela napas panjang, lalu tersenyum. “Berarti kamu dalang sebenarnya di balik semua ini.”

Lala tertawa kecil. “Bukan dalang. Cuma penonton sepi yang berharap kamu terus main dengan sepenuh hati.”

Aku menatapnya, dan untuk pertama kalinya, aku melihat seseorang yang selama ini berdiri di balik cahaya panggung, bukan untuk disorot, tapi untuk memastikan aku tetap bersinar.

Dan malam itu, aku sadar, bahkan musik terbaik pun butuh seseorang yang diam-diam menjaga agar nadanya tidak hilang.

**

Beberapa hari setelah malam itu, hubungan kami bertiga mulai terasa aneh. Rina jadi lebih diam, seolah menyimpan sesuatu. Di sela diskusi band, tatapannya sering berpindah ke arah Lala—bukan curiga, tapi seperti... terluka. Dan Lala? Dia tetap seperti biasa: diam, mengamati, dan mencatat. Tapi aku bisa melihat kegelisahan di balik caranya menghindari sorotan.

Sampai akhirnya, sore itu, Rina menungguku di depan studio dengan ekspresi yang tak pernah kulihat sebelumnya, bukan marah, tapi kecewa. “Aku tahu sekarang,” katanya pelan. “Ternyata aku bukan satu-satunya yang memperhatikan kamu.” Tangannya meremas sesuatu, sepotong kertas yang sangat kukenal. Catatan gaya lama. Tapi bukan aku yang menemukannya kali ini. Rina yang menemukannya.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel