5. Ganti Baju di Depanku!
Terdengar suara pintu terbuka dari luar, bersamaan dengan suara seorang pria yang berseru cukup keras memanggil nama Daffa dan Nada. Sontak suara itu membuat keduanya terkejut dan cepat-cepat menoleh ke sumber suara.
"Papa," lirih Daffa terbelalak, saat melihat keberadaan Tuan Hendra yang sudah berdiri di ambang pintu.
“Tu ... Tuan," ucap Nada pula.
Gadis itu pun cepat-cepat menarik dada nya dari mulut Daffa begitu saja lalu memasukkan kembali dada nya yang besar itu ke balik dress berbelahan rendah yang sedang ia kenakan. Wajah Nada pucat pasi, karena ia khawatir jika Tuan Hendra sampai melihat apa yang ia lakukan terhadap Daffa tadi.
Daffa mencoba bangkit perlahan dari pangkuan Nada dengan dibantu oleh gadis itu. Setelah itu, Nada dan Daffa duduk berdampingan dan masih bersimpuh di lantai. Sedangkan Tuan Hendra segera berjalan menghampiri mereka berdua, kali ini tanpa didampingi oleh Ira ataupun kedua bodyguard nya.
"Kamu sudah melakukan tugasmu dengan baik," kata Tuan Hendra sambil menatap pada Nada. Pria paruh baya itu juga terlihat mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celana kerjanya.
"Ini cek senilai 100 juta rupiah. Ini bayaran pertamamu karena sudah menolong Daffa," lanjutnya sambil memberikan sebuah kertas pada Nada.
Nada terbelalak mendengarnya. Ia hanya menatap cek yang bernilai ratusan juta itu, tanpa berani menerimanya. Gadis itu masih tak menyangka, jika Tuan Hendra benar-benar akan memberikannya uang yang sangat fantastis demi sebuah pekerjaan yang sangat mudah.
"Jangan dilihatin terus seperti itu! Ambil saja," cetus Daffa tiba-tiba, membuat Nada tersentak kaget.
"Tapi, Tuan … ini sangat banyak," sahut Nada ragu-ragu.
"Jumlah itu sangat kecil dibandingkan dengan nyawaku. Jadi lebih baik kamu ambil saja, karena kamu udah menyelamatkan nyawaku." Daffa kembali berujar.
"Ya. Apa yang dikatakan oleh Daffa itu benar. Ambillah!" perintah Tuan Hendra lagi.
Mata Nada mendadak berkaca-kaca dan air matanya jatuh menitik begitu saja. Tangannya terulur dengan gemetar, lalu menerima cek pemberian Tuan Hendra. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Terima kasih banyak, Tuan. Dengan uang ini, saya bisa membahagiakan nenek saya," isak Nada dengan suara yang sudah berpadu tangis.
"Hmm." Tuan Hendra berdehem, lalu segera membalikkan badan dan melangkah pergi begitu saja meninggalkan kamar Daffa.
Nada terus mendekap cek itu di dada nya. Wajahnya berseri bahagia karena mendapatkan uang yang cukup banyak. Ia seakan lupa jika baru saja mendapat uang itu dengan cara yang cukup aneh.
"Kamu senang?" tanya Daffa yang kini beranjak bangkit dan berdiri tegap.
"Tentu saja, Tuan. Karena dengan uang ini, aku bisa merubah kehidupanku dan nenek," angguk Nada cepat.
"Ya, aku udah tahu tentang kehidupanmu. Tapi ...."
"Tapi apa, Tuan?" Nada sedikit ragu karena Daffa menggantungkan ucapannya.
"Tapi kamu udah nggak bisa sering-sering mengunjungi nenekmu."
"Hah? Maksudnya?" Mata Nada membulat lebar.
"Karena hidupku sudah bergantung sama kamu. Aku bisa bertahan hidup seperti tadi karena bantuanmu. Jadi kamu harus tetap berada di sini untukku."
"Apa? Itu nggak bisa, Tuan. Lebih baik aku nggak punya uang daripada aku hidup jauh dari nenek. Lagipula aku datang kesini karena diculik. Ini bukan murni keinginanku sendiri," tolak Nada dengan cepat. Ia bahkan mengulurkan cek tadi pada Daffa.
"Ini, aku kembalikan saja cek nya," kata Nada sambil mengusap air matanya kasar.
Daffa menarik sebelah sudut bibirnya. Senyum miring tercipta di wajah tampannya itu.
"Itu uang papaku. Kalau kamu berani melawan, kembalikan saja uang itu pada papaku."
Ucapan Daffa itu langsung membuat Nada terdiam. Tentu saja ia tak berani untuk melawan Tuan Hendra, karena laki-laki tua itu pasti bisa melakukan apapun untuk menghancurkan kehidupannya.
Cukup lama Nada terdiam, bergelut dengan pikirannya sendiri. Hingga akhirnya ia mengangkat wajah dan menatap sayu pada Daffa.
"Apa aku boleh minta sesuatu sama kamu, Tuan muda?" tanya Nada lirih.
"Katakan saja!"
"Apa aku boleh pulang untuk menemui nenek?"
"Nggak boleh! Kamu harus tetap disini dan nggak boleh kemana-mana!"
"Tapi aku juga butuh ketemu sama nenek, Tuan. Dia sendirian di rumah, dan sekarang dia pasti sedang menangisi aku karena aku nggak pulang-pulang. Huhuhu," tangis Nada tersedu-sedu.
Daffa awalnya ingin membantah. Tapi melihat Nada yang terus menangis seperti itu, rasanya ia sungguh tak tega untuk menambah beban di hati gadis itu. Bagaimana pun juga, ia harus punya sedikit rasa iba dan kasihan pada gadis itu, karena Nada juga sudah menyelamatkan nyawanya.
"Siapa namamu tadi?" tanya Daffa tiba-tiba.
"Nada, Tuan," jawab Nada lirih.
"Huft!" Daffa terlihat menghela nafas panjang.
"Baiklah, Nada. Kamu boleh pulang untuk menemui nenek kamu, tapi ada syaratnya."
"Benarkah? Tapi ... Apa syaratnya, Tuan?" Kebahagiaan Nada mendadak pudar.
"Tapi aku yang akan mengantar kamu pulang. Gimana?" tanya Daffa.
Nada terdiam sejenak. Entah kenapa ia merasa tak nyaman dengan penawaran Daffa, tapi ia juga sudah tak punya pilihan lain. Maka akhirnya Nada pun terpaksa mengangguk setuju.
"Baiklah kalau begitu."
"Ya sudah, sekarang kamu ganti baju dulu. Aku akan mengantarmu pada Ira."
"Iya, Tuan."
Daffa meraih tangan Nada dan menggenggamnya. Ia menuntun tangan gadis itu keluar kamar, menemui Ira yang sedang berada di sebuah kamar tepat di samping kamar Daffa.
"Ira," panggil Daffa, yang seketika membuat Ira di dalam sana tersentak kaget.
"Iya, Tuan Muda." Wanita itu tergopoh-gopoh menghampiri Daffa yang sejak tadi sedang menuntun tangan Nada.
Melihat pemandangan itu, rasanya muncul tidak senang di hati Ira. Ia menatap sinis pada Nada, sebelum akhirnya membungkukkan badan di hadapan Daffa.
"Tuan Muda butuh bantuan?"
"Ya. Cepat ambilkan pakaian yang layak untuk Nada. Dan satu lagi, mulai hari ini kamar ini adalah milik Nada. Kamu bisa keluar dari sini!" Daffa berkata dengan tegas. Sangat jauh berbeda dengan tadi saat ia terbaring lemah bagaikan mayat hidup.
"Tapi, Tuan, ini kamar saya dan ...."
"Aku nggak menerima penolakan, Ira. Kalau kamu nggak mau, maka silahkan kamu keluar dari rumah ini," kata Daffa dingin.
Ira tersentak kaget mendengar itu. Ia kembali memandang Nada dengan penuh kebencian, tapi akhirnya ia segera menganggukkan kepala pertanda setuju.
"Baiklah, Tuan. Silahkan masuk," angguk Ira.
Tak memperdulikan Ira, Daffa menarik tangan Nada masuk ke dalam kamar itu dan segera menguncinya dari dalam.
"Huft! Wanita itu benar-benar menyebalkan," gerutu Daffa, sedangkan Nada memilih untuk diam.
Daffa berjalan menuju ke arah lemari pakaian besar. Ia membuka lemari itu dan mengambil salah satu baju lalu membawanya berjalan ke arah Nada.
"Nah, sekarang kamu pakai baju ini. Ini jauh lebih layak daripada lingerie mu itu."
Nada mengangguk patuh dan menerima baju tersebut.
"Terima kasih, Tuan," ucapnya sambil melangkah menuju ke pintu kamar mandi.
"Tunggu! Kamu mau kemana?" tanya Daffa tiba-tiba, membuat langkah Nada terhenti.
"Ada apa, Tuan? Saya mau ke kamar mandi untuk berganti baju."
Daffa bersedekap dada. Pria itu tersenyum aneh seraya berjalan menghampiri Nada.
"Buat apa ganti baju ke kamar mandi?"
"Lalu?"
"Ganti bajumu di sini. Di depanku!" perintah Daffa.
