Hasrat 3
Setelah maghrib, aku dan Veron kembali ke rumah Pak Marlon, kali ini tampil sebagai undangan biasa dari kalangan anak muda, bukan sebagai pagar bagus yang berapakian ribet.
Suasana malam berbeda drastis. Halaman belakang rumah sang pengusaha disulap jadi garden party: lampu bohlam kecil melingkari pepohonan, musik akustik terdengar pelan, dan meja-meja berjajar rapi. Kolam renang biru di sisi halaman berkilau kena pantulan lampu, memberi kesan mewah ala pesta pejabat.
Kami berdiri sebentar, memandang kerumunan anak-anak muda yang foto-foto, nyanyi bareng, atau ngemil. Tapi mataku segera tertuju pada satu sosok: Tante Meta.
Dia tampak anggun dalam gaun krem keemasan yang ringan, jilbab modern senada, menambah kesan santai tapi tetap berkelas. Dari jauh, aura “tante paling berkelas” langsung terpancar, membuatku sulit berkedip.
Veron nyikut lenganku. “Tuh, incaran lu udah nongol. Buktiin kalau kontol lu yang gede panjang itu, bisa naklukin istrinya dokter Richard.”
Aku mendengus, setengah kesal, setengah tertantang. “Entar gue buktiin, bro. Jangan kira gue cuma bisa PDKT doang.”
Veron ngakak, lalu langsung ngilang ke arah prasmanan.
Aku masih berdiri, menatap Tante Meta dari jauh. Saat ia berbalik, matanya tak sengaja menangkap tatapanku. Senyum kecilnya muncul, bukan basa-basi.
Baru saja aku mengumpulkan nyali untuk mendekat, mataku tertumbuk pada Alisa. Gaun biru mudanya mengalir, rambut tergerai, berjalan ke pesta sambil digandeng cowok tinggi pakai kemeja putih. Napasku langsung drop. Semua keberanian yang baru saja terkumpul buyar seketika.
Tapi dahiku mengernyit. Alisa ternyata sibuk dengan pacarnya, bukan nempel terus sama mamanya. Aku melirik Tante Meta. Dia tetap tenang, malah tersenyum tipis ke arahku, sekilas menatap Alisa, lalu kembali ke mataku. Pandangan itu bikin darahku berdesir.
‘Kalau Alisa sibuk sama pacarnya, berarti Tante Meta bebas kudekati…’ pikirku setengah girang.
Ponselku bergetar: chat dari Tante Meta. [Alisa cuma sebentar kok, dia mau ke acara temannya yang lain]
Aku cepat membalas, [Memang suami Tante gak ke sini?]
Tante Meta: [Tenang saja, beliau sudah dua bulan tugas kemanusiaan di Gaza]
Napasku plong. Aku menatap sekitar, mencari sudut redup dekat gazebo kecil, cahaya remang, sebagian tertutup pohon pucuk merah. Pas banget.
Pelan-pelan aku geser, pura-pura main ponsel, lalu duduk di kursi rotan kosong. Dari jauh, Tante Meta masih sibuk ngobrol dan mengatur acara, tapi matanya sesekali mencariiku. Saat Alisa pamit, jelas terlihat ekspresi lega di wajah Tante Meta.
Tak lama, ponselku bergetar lagi.
Tante Meta: [Sabar ya, Raka. Tante bentar lagi ke situ.]
Darahku berdesir kencang. Tanganku sampai basah oleh keringat. Aku menegakkan duduk, pura-pura cuek sambil mengetik balasan.
Aku: [Aku udah siap dari tadi, Tante. Di sini remang banget, pas buat ngobrol.]
Balasan cepat datang.
Tante Meta: [Ngobrol doang, ya? Atau… ada yang lain? ?]
Jantungku serasa hampir copot. [Boleh juga kalau mau sambil ngemil, wkwkwkw]
Dari balik kerumunan, Tante Meta mendekat ke arahku. Gerakannya elegan, tapi jelas disengaja, sambil pura-pura menyapa beberapa kenalannya, menepuk bahu, dan tertawa kecil. Padahal matanya sesekali melirik lurus ke arah tempatku duduk.
Sialnya, batangku makin menggila. Jantung berdebar tak beraturan, apalagi nggak pakai celana dalam, bikin setiap gesekan langsung pada kain celan panjang, terasa sangat rawan berdesir.
“Edan, dasar Veron bajingan…!” Aku menggerutu dalam hati. Kenapa juga harus nurutin saran konyolnya, tidak pakai celana dalam.
‘Dalam keadaan begini, kita harus cepat dan tepat, jadi lebih enak gak pakai daleman, Bro!’ itulah saran biadabnya tadi saat kami akan ganti pakaian,
Aku coba menutupinya dengan melipat kaki, tapi justru selangkanganku makin sesak. Keringat dingin menetes di pelipis.
Tante Meta sampai di dekatku. Mencondongkan tubuh sedikit, pura-pura merapikan taplak meja kecil di samping kursi. Aroma parfumnya langsung menyeruak, bikin kepalaku makin ringan.
“Gak lama kan nunggunya…” katanya lirih, senyum samar di bibirnya.
Dari samping, aku melihat jelas matanya melirik ke arah selangkanganku yang tegang. Senyum itu berubah jadi nakal sekejap, lalu kembali normal saat ada tamu lain lewat.
“Raka, bantuin Tante sebentar, yu,” katanya datar, tapi matanya menyimpan kode. Ia meraih lenganku sekilas, lalu melangkah pelan ke arah belakang gazebo.
Aku mengikuti dan nggak kenal area di ini. Gelap, sepi, dan agak jauh dari riuh pesta. Tapi Tante Meta jelas hapal, secara dia adiknya Pak Marlon sang pemilik rumah ini.
Semakin jauh, semakin sepi, napasku makin berat. batangku di dalam celana seperti tak bisa kompromi, makin liar berdiri tanpa ada penghalang daleman. Aku terus menunduk, takut kalau tiba-tiba ada orang lewat.
Begitu sampai di sisi belakang sebuah gazebo, suasana makin gelap. Hanya temaram cahaya dari kolam renang yang berkilau di kejauhan. Tante Meta berhenti, berbalik menatapku. Senyumnya kali ini penuh arti.
“Deg-degan banget, ya?” bisiknya.
Aku menelan ludah, kaku. “I-iya, Tan… aku… aku belum pernah kayak gini.”
Dia mendekat selangkah, tangannya dengan santai merapikan kerah bajuku. Sentuhan kecil itu saja bikin tubuhku kaku.
“Wajar lah,” katanya pelan, hampir seperti gumaman. “Tapi kalau tegangnya sampai keliatan gitu…” matanya turun sebentar ke arah depan celanaku,“tante jadi susah menahan diri.”
Aku reflek menutupi selangkangan dengan kedua tangan, wajah panas membara.
“Tan… jangan gitu, nanti kalau ada yang liat…”
Dia malah terkekeh kecil, ujung jarinya menyentuh punggung tanganku sebentar. “Di sini aman, nggak ada undangan yang ke sini. Yang ada cuma kita berdua.”
Aku benar-benar mati kutu. Jantungku berpacu tak karuan, tubuh gemetar antara takut ketahuan dan dorongan aneh yang belum pernah kurasakan.
Tiba-tiba tangan Tante Meta bergerak turun mengusap tonjolan celanaku. Napasku tercekat, tubuhku kaku, tak tahu harus mundur atau maju.
“Tante —” suaraku makin tercekat.
“Sudah tante duga…” bisiknya. Jemarinya terus bergerak pelan, menekan lembut, membuatku hampir kehilangan pijakan. “Besar dan panjang banget sih, Raka…”
Aku menganga, mataku membelalak. Detak jantungku menghantam dada seperti mau pecah. Ini gila. Ini terlalu nyata.
Jarak Tante Meta begitu dekat. Napasku tersengal saat bibirnya perlahan menempel di bibirku. Awalnya lembut, seperti menyapa, tapi tekanannya makin lama makin terasa, membuat seluruh tubuhku menegang.
Refleks, aku menutup mata, mencoba memahami sensasi itu. Jantungku berdetak keras, dada naik-turun cepat. Rasanya aneh, antara takut, kaget, dan… penasaran yang sulit dijelaskan.
Setelah beberapa detik, aku memberanikan diri sedikit demi sedikit mencondongkan kepala, meniru gerak bibirnya, belajar membalas dengan hati-hati. Rasa canggung awalnya sangat terasa, tapi perlahan mulai mengerti ritmenya.
Tante Meta tersenyum tipis, matanya tetap menatapku, seakan memberikan dorongan agar aku lebih berani.
“Bagus…,” bisiknya pelan, suara hangat menyentuh telingaku.
Aku tetap berdiri, tubuh masih tegang, tapi sedikit demi sedikit mulai merasa nyaman. Ciuman pertama terasa aneh, tapi membuatku penasaran dan ingin belajar lebih banyak. Dunia di sekitar kami seolah hilang, hanya tersisa napas kami, detak jantungku, dan tatapan penuh hasrat Tante Meta.
Aku mulai berani memeluk pinggangnya dan tangannya kembali memegang batang kejantananku. Tanganku bergetar, refleks ingin menepis, tapi entah kenapa malah berhenti di piangganya. Tante Meta makin berani, meremas dan mengegam batangku dari balik celana, lalu mengusap naik-turun dengan ritme pelan seperti tadi.
“Kamu masih polos banget ya, Raka…” katanya, suaranya rendah, nyaris seperti dengungan. “Itu yang bikin tante tambah penasaran.”
“Aduh!” Aku sontak melepaskan ciumannya, saat telingaku tiba-tiba mendengar suara langkah mendekat. Aku hampir melompat mundur, dan jantung serasa langsung merosot ke perut.
“Tante, ada orang!” bisikku panik.
Aku ingin menyingkir, tapi tubuhku langsung kaku begitu melihat siapa yang lewat begitu saja.
Mereka ternyata Veron dan Mbak Sri.
Keduanya jalan agak terburu-buru ke arah belakang, melewati sisi gazebo tanpa memperhatikan kami. Veron sempat menoleh sekilas, tapi sepertinya pura-pura nggak kenal atau memang gak peduli. Sementara Mbak Sri malah cekikikan kecil sambil narik lengannya.
Mereka berbelok ke arah rumpun bambu kerisik di ujung paling belakang halaman, area yang lebih gelap lagi. Nggak perlu imajinasi panjang buat nebak apa yang akan mereka lakukan di balik rumpun tanaman hias itu.
Aku terpaku, mulut setengah terbuka. Tante Meta menahan tawanya, lalu berbisik di telingaku.
“Ternyata bukan cuma kita yang nakal malam ini, Raka…”
Aku makin gemetar, campuran antara syok, deg-degan. Absurd rasanya, aku yang selama ini masih polos terjebak di lingkaran orang-orang dewasa yang sangat mesum dan main rahasia di balik meriahkanya pesta keluarga.
^*^
