Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Hasrat 2

Balasan Tante Meta kembali datang.

Tante Meta: [Heh, dasar anak nakal. Tapi tangan Tante kan kecil… cukup nggak ya? Punya kamu keliatannya beda banget, Ka.]

Aku hampir ngakak saking absurdnya, tapi kutahan kuat-kuat. Keringat dingin mulai mengalir di pelipis. Rasanya mustahil ini beneran terjadi, tapi notifikasi di layar ponsel membuktikan segalanya.

Tante Meta menatapku sekali lagi, kali ini jelas, senyumannya mirip tantangan.

Entah mengapa darahku makin berdesir, detak jantungku makin nggak karuan, dan sialnya, sesuatu di balik kain jarikku yang sempit itu malah ikutan berdiri. Rasanya jelas menggeliat, menekan kuat, seolah nggak peduli tempat maupun waktu.

Aku refleks menunduk, tangan buru-buru menyilang lagi di depan. Tapi justru semakin terasa menonjol.

Mataku berani melirik ke depan, dan benar saja. Tante Meta memperhatikan dengan pandangan yang sulit kuterjemahkan. Bibirnya terangkat sedikit, senyum separuh, lalu jemarinya pelan-pelan mengetik sesuatu di ponselnya.

Ponselku kembali bergetar.

Tante Meta: [Kok malah bangun? Lagi mau ngajak salaman sama siapa itu dedenya?]

Aku hampir tersedak udara. Napasku pendek-pendek. Tanganku gemetar saat membalas, kali ini nekat sekalian.

Aku: [Dia nggak salaman, Tan… cuma nyari yang bisa nenangin aja. Mungkin capek berdiri terus dari tadi.]

Begitu balasan itu kukirim, kepala dan pipiku panas membara. Tante Meta membaca cepat, lalu matanya naik menatapku, lama. Seolah-olah hanya kami berdua yang mengerti percakapan absurd itu di tengah keramaian hajatan.

Tak lama masuk lagi balasan.

Tante Meta: [Awas Raka… jangan bikin Tante makin penasaran.]

Aku hanya tertegun membacanya, bingung mau balas apa.

Layar ponsel kembali bergetar.

Tante Meta: [Baru diliatin aja udah bisa bikin Tante basah… padahal masih di sangkarnya ya, bagaimana kalau udah dilepas]

Darahku berdesir lebih kencang. Kepalang berani, jari-jariku mengetik lagi, meski tangan terasa dingin.

Aku: [Kalau udah keluar dari sangkarnya, Tante… takutnya malah kebanjiran.]

Sialan, ini gara-gara Veron mesum, sampai aku berani membalas demikian, makiku lagi.

Butuh beberapa detik sebelum balasan datang. Dari depan, Tante Meta menatapku, matanya penuh tantangan, lalu jemarinya kembali bergerak di atas layar.

Tante Meta: [Ya udah, nanti Tante siapin ember buat nampungnya deh. Tapi jangan bikin orang lain tau ya, cukup Tante saja yang kebagian.]

Aku menelan ludah keras. Napas tercekat, kain jarik di selangkanganku makin sesak.

Aku: [Asal Tante tahan, aku bisa banjirin sepuasnya, loh.]

Balasanku makin kurang ajar.

Kali ini, Tante Meta tak langsung membalas. Ia justru menegakkan duduknya, menyilangkan kaki dengan gerakan pelan yang sengaja dipamerkan. Senyum tipis menghiasi bibirnya. ponsel di tangannya diletakkan sebentar di pangkuan, sementara tatapannya mengikatku erat.

Tak berapa lama kemudian, suasana berubah riuh kembali. Rombongan pengantin sudah selesai akad, musik organ tunggal mulai lagi, tamu-tamu berdatangan membawa amplop. Aku sibuk di pos pagar bagus, menyalami orang yang datang sambil menjaga senyum formal.

Di sela-sela itu, mataku tak lepas dari Tante Meta. Ia benar-benar seperti gasing, ngatur sana, nyuruh sini, kadang sibuk memeriksa buku tamu. Dari luar, ia tampak seperti panitia hajatan paling sigap. Tapi setiap kali ia bergerak mendekat ke arahku, ada sesuatu yang berbeda.

Pertama kali, ketika ia pura-pura melihat daftar tamu, tubuhnya merapat sedikit. Jari-jarinya menyentuh pinggangku, sekejap saja, lalu pergi.

Kedua kalinya, ia lewat sambil membawa catatan. Tangannya tiba-tiba mencubit halus di sisi pinggangku. Aku terlonjak kecil, buru-buru menegakkan badan.

Yang ketiga, lebih gila. Ia mencondongkan tubuh, seolah hendak mengecek kertas di meja tamu, tapi telapak tangannya dengan sengaja mengusap tonjolan selangkanganku.

Gerakannya singkat, tapi jelas terasa. Aku tercekat. Mau menoleh, tapi dia sudah menjauh dengan wajah datar, seakan tak ada apa-apa. Hanya senyum kecil yang terselip di bibirnya, seperti kode rahasia.

Aku berdiri kaku, tanganku kembali menyilang di depan selangkangan, mencoba menyembunyikan reaksi batang di selangkanganku yang makin sulit dikendalikan.

Sementara itu acara terlus bergerak semakin meriah, tak terganggu oleh apapun.

Sebelum waktu istirahat tiba, kami para pagar bagus dan pagar ayu duduk di belakang untuk makan. Suasana agak santai, tapi tetap ramai oleh percakapan ringan dan canda tawa. Tiba-tiba, Tante Meta muncul, membawa nampan kecil berisi air mineral dan potongan buah semangka.

“Raka, ini Tante bawain buat kamu,” katanya sambil tersenyum hangat.

Seketika teman-temanku langsung pecah tawa. “Waduh, Raka dapat layanan VIP ini dari Tante Meta!” seru salah satu dari mereka.

“Semangka khusus untuk Raka!”

“Raka ini kan teman sekelasnya Alisa, jadi udah Tante anggap anak sendiri,” jawab Tante Meta tanpa beban.

Aku cuma bisa tersenyum canggung, berusaha santai sambil menikmati semangka itu. Suasana jadi lebih hangat; canda tawa teman-teman dan perhatian Tante Meta membuat hati terasa ringan.

Waktu berlalu begitu cepat, jam hampir setengah dua. Setelah prosesi formal selesai, panitia memberi kami waktu istirahat dan ganti pakaian. Malam nanti akan ada resepsi santai dengan tamu terbatas, kebanyakan teman dekat kedua mempelai.

Aku langsung pulang, rumahku cuma sepuluh rumah dari lokasi hajatan. Veron ikut nimbrung, alasan klasik: rumahnya terlalu ramai dengan adik-adiknya.

Di kamar aku rebahkan. Veron selonjor di lantai dengan kaos oblong dan kolor, asyik main ponsel sambil tertawa sendiri.

Pikiranku masih tak tenang. Bayangan Tante Meta, dengan kebaya hijaunya, lirikan matanya, cubitannya di pinggang, dan elusan manja di selangkanganku, terus menghantui.

Aku melirik ke arah Veron.

“Eh, bro,” kataku, pura-pura santai. “Tadi waktu lu ikut ke masjid… gue sama Tante Meta sempet—”

Belum selesai kalimatku, Veron langsung menoleh, wajahnya curiga sekaligus penasaran. “Apaan, Bro? Jangan bikin gue kepengen dong. Serius, apaan tadi?”

Aku cuma nyengir, menimbang-nimbang: apakah harus cerita jujur soal chat absurd itu, atau biarkan dia penasaran.

“Ya… biasa ngobrol basa-basi lah. Sekalian jaga hubungan baik sama nyokap temen.”

Veron langsung meledak ketawa, sampai ngeplak jidatnya sendiri.

“Basa-basi pala lu, Raka! PDKT sama tante-tante gayanya gitu amat, basi. Hahaha!”

Aku agak panas juga, pikiranku sudah ngebayangin dia bakal iri atau kepo. Ternyata malah diketawain.

“Apaan sih, Bro. Emang kenapa kalau PDKT?” tanyaku, agak sewot.

Veron malah meraih ponsel-nya, buka aplikasi chat, lalu nyodorin ke mukaku. “Nih, liat! Lu kira lu paling jago? Gue udah lebih jauh, Bro.”

Aku melirik ke layar ponsel-nya, dan langsung melongo. Nama kontaknya jelas: Bu Lely. Tetangga kami, panitia hajatan juga, yang terkenal cerewet tapi supel.

Isinya bikin kuping panas.

Mbak Sri: [Ron, nanti kalo ibu lagi di dapur, kamu jangan cuma lewat. Sekalian aja curi sentuh biar ibu makin semangat masaknya]

Veron: [Halah, Ibu ini masih belum puas ya semalam… Hati-hati loh, bisa ketahuan]

Mbak Sri: [Lagian siapa juga yang mau ketahuan. Yang penting kamu berani kaya semalam]

Aku nyengir kecut. Pantes aja Veron nggak panas pas aku cerita soal Tante Meta, ternyata dia udah main di level absurd yang lebih gila.

“Gimana, bro? Lu baru PDKT, gue udah sparing di pojok taman belakang tadi malam,” ejek Veron sambil ngakak.

Aku menepuk jidat. “Edan lu, Ron. Sama Mbak Sri berani. Suaminya preman, galak banget dia!” pekikku tak percaya.

Veron makin ngakak, “Justru itu tantangannya, bro. Lu masih bocah sih, hahaha!”

“Ron… lu kenal nggak sama Alisa, anaknya Tante Meta?” tanyaku, penasaran.

“Alisa teman sekelas lu? Kenal, cuma selewat aja. Ayahnya Dokter Richard, kan? Kadang mereka main ke rumah si Yuda, jadi ya otomatis gue kenal dikit,” jawab Veron sambil nyengir.

“Nah itu dia masalahnya. Masa gue godain ibunya teman sendiri?” Aku mengernyit.

Veron tertawa ngakak, matanya bersinar nakal. “Bro, jangankan ibu teman, ibu tiri, menantu, ipar… semua bisa diembat kalau nafsu udah nguasain.”

Aku cuma geleng-geleng kepala. “Gue bimbang, bro…”

Veron mencondong, setengah serius setengah usil. “Lu deket banget nggak sama si Alisa?”

“Gak terlalu deket,… cuma waktu kelas dua lumayan deket, satu kelompok belajar, sering main juga ke rumahnya. Makanya gue kenal Tante Meta,” jelasku.

Veron terkekeh. “Sikat aja, bro. Kapan lagi dapat kesempatan emas, Tante tajir yang ngebet duluan sama kita, susah dicari zaman sekarang!”

Aku menghela napas panjang. Di satu sisi, rasa bersalah masih menghantui, tapi di sisi lain, hasrat yang sejak lama tertahan kini menuntut realisasi.

“Kita liat saja nanti perkembangannya di acara malam, oke!” pungkasku sambil tiduran.

^*^

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel