Hasrat 4
Namun sebelum perasaan absurd itu semakin berkembang, Tante Meta sudah kembali membawaku pada panasnya malam. Mata kami kembali terkunci. Dalam remang, pandangan Tante Meta seperti magnet, nggak bisa kulepaskan.
Tanpa kusadari, jemarinya yang cekatan bergerak cepat membuk asabuk celanaku dan menurunkan retsletingnya dengan hati-hati, lalu dengan sangat mantap memegang batangku dengan sangat keras.
“Hmmm, sudah gak pakai daleman ternyata,” godanya genit.
“Tante… jangan—” suaraku tercekat. Tapi kata-kataku langsung terhenti saat mulutnya kembali melumat mulutku dengan lembut dan penuh gairah.
“Luar biasa…” desahnya lirih disela ciuman kami. Napasnya hangat di wajahku. Tangannya kini benar-benar memegang batangku, jemarinya melingkari, mengusap pelan seakan sedang menilai karya seni.
“Tante bahkan tak menduga batang kejantanmumu sebesar dan sepanjang ini aslinya,” bisiknya lagi.
Aku nyaris roboh. Seluruh syaraf tubuhku meledak. Lututku gemetar, keringat bercucuran. Ini terlalu gila, terlalu nayata untuk dipercaya.
“Baru kelas tiga SMA, tapi… hmm ukurannya sudah kaya punya orang barat…” Tante Meta menggigit mesra bibir bawahku sebentar.
“Tante jadi penasaran seberapa kuat kamu bisa bertahan,” lanjutnya.
Aku masih terbengong, jantung berdentum tanpa irama. Rasanya seperti terseret arus deras, tak punya kendali dan tak bisa kembali.
“Tante sangat butuh madu perjakamu, Raka…” bisiknya lagi, suara makin rendah menusuk telingaku.
Sebelum sempat aku mencerna, tubuhnya perlahan turun, berjongkok tepat di depan selangkanganku. Aku refleks mundur setengah langkah, tapi punggungku sudah mentok kena tiang gazebo.
“O-Astaghfirullah…” Aku bergumam lirih, tapi suaraku tercekat saat Tante Meta mencium kepala batangku dengan lembut, tangannya tetap menggenggam batangnya.
Tubuhku gemetar hebat. Aku menunduk, menatap pemandangan yang rasanya mustahil terjadi.
Istri seorang dokter ternama, mama dari Alisa, teman sekelasku, wanita setengah baya berjilbab, saat ini berjongkok tepat di depan selangkanganku yang terbuka dan dengan penuh gairah mengisap dan menjilati batang kejantananku.
Tante Meta mendongak, matanya tajam menusuk mataku. Senyum tipis muncul di bibirnya. “Tenang, Raka. Justru itu yang tante mau. Rasa pertama kali… asli, murni. Itu madu paling manis dan paling nikmat di dunia.”
Tangannya masih menggenggam batangku, kini dengan gerakan yang lebih berani dia mengocoknya. Dia juga berusaha memasukan kepala dan seluruh batangku ke dalam mulutnya, walau hanya bisa setengahnya. Aku hanya bisa pasrah, tubuhku kaku, pikiran kacau antara dosa, rasa takut, rasa nikmat, nafsu dan hasrat yang tak bisa ditolak lagi.
“Oooh… Tanteeee... Metaaaa...” suara itu nyaris lolos dari tenggorokanku.
Aku buru-buru menutup mulut dengan kedua tangan, tubuhku berguncang hebat. Sensasi asing yang menyambar sekujur tubuh membuatku hampir tak sanggup berdiri. Ini jauh lebih dahsyat dari seribu kali onani, padahal belum muncrat.
Aku menatap ke bawah, Tante Meta makin bersemangat memaju-mundurkan kepalanya di selangkanganku, matanya sesekali menatapku di atasnya, pipinya mengembung, ekspresinya penuh kenikmatan yang aneh, seolah sedang menikmati rahasia terlarang yang hanya kami berdua tahu.
“Tenang, Raka…” bisiknya lirih di sela-sela gerakan kecil yang membuatku hampir kehilangan kesadaran.
“Biar tante yang tuntun kamu. Malam ini kamu akan belajar jadi laki-laki sejati....”
Suara musik dari pesta masih samar terdengar, bercampur tawa para tamu. Tapi di balik gazebo gelap ini, dunia terasa terhenti, menyisakan aku yang gemetar di ambang batas, antara takut, dosa, dan kenikmatan pertama yang membuat seluruh pikiranku berantakan.
Tanpa sadar kedua tanganku memegangi kepalanya yang terbungkus jilbab, dan membantunya maju mundur, agar batang kejantananku makin dalam masuk ke mulutnya.
Namun tiba-tiba sekujur tubuhku serasa tersambar petit dan mataku terbelalak.
“Aduuuh!” Aku berteriak kecil sambil menarik selangkangan ke belakang hingga batangku terlepas dari kuluman Tante Meta.
“Ada apa Raka?” Tante Meta bertanya kaget.
Tangaku refleks merapikan celana, dan mataku melongo tertujua pada dua sosok yang muncul dari arah rumpun bambu sebelah kanan. Yang seorang sepertinya laki-laki sedang membereskan celananya sambil jalan, sementara yang wanita sedang merapikan rambut dan rok yang dikenakannya.
Saking kagetnya batangku pun otomatis loyo dan mengecil. Gairah birahiku pun seolah hilang sirna.
Sebelum dua orang tak kukenal itu mendekat ke arahku, aku langsung merapikan celana celanaku dan mundur dua langkah. Nyaliku yang barusan terasa menggelegak mendadak runtuh.
“Maaf, Tante… aku… aku nggak sanggup lagi. Aku takut....” Suaraku serak, tulangku serasa lunak. Keringat dingin bercucuran di pelipis.
Tante Meta berdiri dan menatapku lama, sorot matanya tajam tapi juga lembut. Ia merapikan gaun dan jilbabnya, lalu mendekat. Jemarinya menyentuh pipiku sebentar.
“Raka…” bisiknya lirih, “jangan minta maaf. Kamu cuma belum siap. Tante yang salah, terlalu cepat, terlalu bernafsu dan di sini memang bukan tempat yang layak.”
Aku menunduk makin dalam, benar-benar tak berani menatap wajahnya. Sementara dua sosok itu telah kembali menghilang entah kemana. Aku menelan ludah dan berucap.
“Maafkan akuTante, aku pulang duluan ya,” ucapku tanpa menunggu jawabnnya, balik badan dan melangkah pergi.
Di luar, suara pesta kembali menyambut: musik, tawa, percikan air kolam renang. Semua terasa kontras dengan apa yang barusan terjadi.
Aku berjalan setengah berlari keluar dari kerumunan pesta dan cepat pulang, tak peduli Veron yang melambai-lambai mengajrku dari jauh. Aku bahkan tak berani menoleh lagi.
Sesampainya di rumah, langsung mengurung diri di kamar. Menutup mata, menarik napas panjang, mencoba tidur. Tapi ponselku tiba-tiba bergetar.
Notifikasi WhatsApp masuk. Dari Tante Meta. [Raka… jangan takut. Malam ini cuma awal. Tante nggak akan maksa kok, Sayang. Tante tahu kamu belum siap]
Tubuhku langsung merinding, menatap layar ponsel dengan mata terbelalak, tak tahu harus balas apa.
Tiba-tiba ingatanku melayang pada pengalaman yang hampir mirip, tapi tak sejauh yang dilakukan Tante Meta.
Dulu, waktu kelas tiga SMP, aku pernah kemping di pinggir pantai bersama teman-teman sekolah.
Kala itu, Bu Indri, kepala sekolahku, meminta diantar buang air kecil malam-malam. Awalnya aku nggak curiga sama sekali, tapi ternyata maksudnya berbeda… dia mencoba memegang dan meremas batang kejantananku dari balik celana.
Aku yang masih benar-benar bocah polos, langsung panik dan kabur tunggang-langgang, jantung berdebar kencang.
Sejak saat itu, aku sampai takut masuk sekolah. Untungnya beberapa bulan kemudian, pindah sekolah ke Bogor, dan perasaan takut itu pun perlahan hilang.
Sebelum cerita ini berlanjut pada bagian super gila yang mendebarkan, sebaiknya aku kenalan dulu...
Namaku Raka Pratama Rifai, kelas tiga SMA Budi Pekerti, anak sulung dari dua bersaudara. Aku lahir dan dibesarkan di sebuah kabupaten ternama di Jawa Barat. Kalau sekarang aku menjadi anak buahnya KDM, Kang Dedi Mulyadi.
Awalnya, kehidupan keluargaku cukup harmonis. Saat aku duduk di bangku kelas tiga SMP, orang tuaku memutuskan pindah domisili ke Bogor. Namun, ketika aku memasuki kelas dua SMA, keadaan keluarga mulai berubah drastis.
Ibuku memutuskan menjadi TKW di Malaysia, sementara ayah tetap bekerja sebagai pemborong bangunan. Adik perempuanku tinggal bersama nenek di Bandung, sedangkan aku memilih tetap di Bogor bersama ayah, karena malas harus pindah sekolah lagi.
Sejak saat itu, aku merasa hidup sendiri di Bogor. Ayah lebih sering bepergian, mengerjakan proyek di berbagai kota, atau mungkin sudah memiliki kehidupan lain. Meski begitu, mereka tetap bertanggung jawab terhadap kami anak-anaknya. Dan sampai detik ini aku masih belum jelas, apakah ayah dan ibuku sudah bercerai atau masih berstatus suami istri.
Dari sisi finansial, kami tidak pernah kesulitan. Bahkan, ibu sudah membelikan aku mkotor buat sekolah dan merenovasi rumah nenek di kampung. Tempat aku mudik jika sedang suntuk di Bogor.
Karena ayahku yang bernama Aria, memiliki sedikit darah Belanda dari buyutnya, aku dan adikku punya penampilan yang sedikit berbeda dibanding teman-teman sebaya. Kulit kami lebih cerah, hidung lebih mancung. Postur tubuhku lebih tinggi besar. Bahkan, saat memakai pakaian santai, tidak jarang orang menilai aku sudah mahasiswa tingkat dua.
Karena posturku yang berbeda, ada satu yang tak bisa kusembunyikan, ialah batang tubuhku di balik celana. Tak jarang, tonjolannya menarik perhatian teman-teman sesama lelaki yang sebaya. Mereka menatap dengan rasa iri.
Tonjolan itu juga membuat gadis sebaya dan ibu-ibu, termasuk guru-guru di sekolah sering menoleh dengan tatapan yang sulit diartikan. Kadang, aku merasa sedikit risih dengan perhatian mereka, tapi mau bagaimana lagi, itu sudah menjadi bagian dari diriku yang tak bisa kututupi.
Sampai saat ini belum pernah pacaran karena malas ribet. Bagiku, lebih nyaman berteman dan fokus belajar daripada ikut-ikutan urusan percintaan remaja. Jadi apa yang terjadi dengan Tante Meta, adalah pengalaman pertama.
^*^
Jika menyukai cerita yang lebih panas tentang rumah tangga coba baca "DIGILIR SUAMI ORANG" cari saja di pencarian dan jangan lupa masukan ke daftar pustakamu.
