TAK BAHAGIA
Rahmawan Argo,65tahun.Terbaring koma,sejak kecelakan mobil yang mengakibatkan pembekangkan otak dan melumpuhkan syaraf pusatnya.
Dokter hanya berkata, hanya keajaiban yang membuatnya mampu selamat,meski kini kondisinya lebih menyedihkan dari kematian itu sendiri.
Nila menatap nanar tubuh yang dulu berisi, kini hanya tinggal tulang dengan rambut seputih kapas dan wajah yang semakin menua.
Kening Nila berkerut sedih,saat mengingat kecelakaan yang merengut segalanya dari hidupnya.
Rahmawan tak meninggalkan wasiat apapun,kecuali rencana pernikahan Putrinya dengan Direktur Utama Admaja Raya, suatu Holding Company yang membawahi banyak Perusahaan lain.
Nila yang saat itu masih Kuliah,tak dapat melakukan apapun. Tak pula bisa memenuhi janji pada Kekasihnya yang telah menunggu untuk hidup bersama ke tempat yang jauh.
"Kau mau ke mana?" tanya Chandra kala itu,saat melihat Nila sudah berkemas.
"Rumah ini memang sudah jadi milikmu.Tapi bisa kah kau mengetuk pintu dulu saat masuk ke kamar ku?" ucap Nila tak suka.
"Kau ingin pergi dengannya ?" tak mengubris omongan Nila,Chandra maju mendekat.
Nila memejamkan matanya rapat-rapat,mengingat awal peristiwa naas tersebut.
Peristiwa yang makin meruntuhkan semangat hidupnya.Mimpi buruk yang menjadi nyata,saat ia membuka mata dan iblis tak berperasaan itu lah yang pertama kali ia lihat.
Tubuh Nila limbung,ia memgangi kepalanya yang berdenyut nyeri.
"Nyonya?" Marni terkejut. "Nyonya tidak apa-apa?" tanyanya khawatir.
Di bantu Nyonyanya untuk duduk di bangku berderet,terbuat dari besi yang banyak terdapat di sudut Rumah Sakit.
"Masih sakit,Nyonya?" ia tampak cemas.
Nila tak mengubris.Baginya,baik pelayan itu,atau siap pun hanya tampak seperti mata-mata suaminya.
"Ini sudah lewat jam makan siang. Bagaimana kalau kita lekas pulang, Nyonya?" Marni menyarankan.
Nila tak menjawab,lalu tanpa berkata apa pun,ia bangkit berdiri.
Marni menghela nafas dengan sikap Nyonya nya tersebut. Tapi kemudian, dengan langkah terburu,ia mengikuti langkah majikannya.
Sampai ia berhenti pada satu pintu bertulisakan,dr. Diana Putranto,Sp.Og.
Dengan cangung Marni menunggu di depan pintu,saat ia berniat ikut masuk. Tapi Nila tak mengijinkan,dengan langsung menutup pintu dan membiarkannya sendirian di luar.
"Akhirya kau datang" Dokter wanita berambut pendek itu tersenyum sambil memeluk Nila sesaat,lalu mempersilahkanya duduk. "Hampir saja tadi aku pulang." ia bergurau.
Nila tersenyum tipis. "Kau sedang hamil ?"tanya Nila saat melihat perut Diana yang sedikit membuncit.
"Kau jeli sekali." ia terkekeh. "Sudah masuk bulan empat." lanjutnya.
"Kau dan Eddo pasti bahagia." bibir pucat Nila kembali menyunging senyum.
"Iya,Eddo sangat senang saat pertama kali aku beritahu. Dia bahkan sudah membeli box bayi,dan mulai membaca panduan persalinan." Diana tertawa.
"Sejak dulu, Eddo memang suka anak kecil."Nila berkata. "Dia pasti akan menjadi Ayah yang baik."senyum mengembang di bibirnya.Tapi jelas ada nada getir dari suaranya.
Diana dan Eddo adalah teman SMA nya dulu bersama Raksa.Mereka berempat selalu bersama, berawal dari sama-sama mengidolakan Freddie Mercury dan musik-musik Queen, lalu berlanjut ke persahabatan kemudian pernikahan. Namun sayang, kisah Nila dan Raksa, tak seindah cerita cinta Diana dan Eddo.
"Apa kau masih mengkonsumsi pil KB?" tanya Diana,membuat Nila mengangkat wajah.
"Tentu saja." ia tersenyum samar. "Aku ke sini juga karena pil-pil tersebut sudah habis."
"Nila.."Diana mengengam jemari tangannya yang berada di atas meja.
Nila menghindari tatapan mata sahabat lamanya tersebut.
"Kau sudah bertahun-tahun meminum itu." ucapnya pelan. "Itu kurang baik untuk kesehatanmu"Diana menasehati.
"Kau tak bisa terus-terusan seperti ini.Dengan meminumnya,bukan berarti kau tak bisa hamil."ia melanjutkan.
"Setidaknya sampai saat ini,aku masih bisa mencegah untuk tak hamil." Nila berkata tanpa memandang Diana.
"Tapi efek kedepannya tidak bagus,Nila." Diana mengenggam erat jemari tangan temannya yang keras kepala itu. "Kau masih muda,bagaimana jika ke depan kau jadi susah hamil?" Diana menakut-nakuti.
Tapi Nila tetap tak terpengaruh.
Diana menghela nafas,dan menyandarkan punggungnya pada kursi. "Coba lah kau buka sedikit hatimu untuk dia."
"Aku tidak mau membicarakannya." ucap Nila ketus.
Ia menatap Diana tajam. "Aku ke sini untuk meminta pil kontrasepsi,bukan untuk bimbingan konseling,Diana."
Kembali Diana menghela nafas."Tempo hari Chandra ke sini." ia berkata.
Nila menunjukkan raut wajah tak peduli.
"Dia bertanya macam-macam soal kehamilan.Sepertinya dia sangat mengharap keturunan darimu." ucapnya.
Nila tersenyum sinis. "Dia bisa mendapatkan anak dari wanita manapun.Tapi bukan aku."
Diana tak berkata apa pun lagi. Sahabatnya yang dulu ceria,kini sudah berubah muram dan keras kepala.
Segala nasehat tak pernah di dengar.Sebegitunya pernikahan tanpa cinta merubah tabiat seseorang.
Mungkin selamanya,Diana yang bisa hidup bersama orang yang di cintai dan mencintai,tak akan mengerti posisi Nila,untuk itu pun,ia tak lagi memaksakan kehendakannya.
"Iya, saat ini Nyonya sedang bersama Dokter Diana di ruangannya." Marni yang berdiri agak jauh,memberikan laporan pada Chandra.
"Sudah sekitar 30 menit yang lalu Nyonya berada di dalam." dia kembali berkata setelah terdiam beberapa saat.
Di ruang kerjanya Chandra mendengarkan si Pelayan berbicara malalui telpon gengam.
"Awasi terus." ia berkata."Begitu dia keluar,segera pulang,karena sudah lebih dari jam makam siang."
Chandra menelpon sambil mengetik-ngetik sesuatu di laptopnya yang menyala.
"Payungi dia saat berjalan ke arah parkiran. Siang ini matahari terik, dia sering pusing jika terlalu lama di tempat panas." Chandra memperingatkan.
Setelah beberapa saat,ia menutup ponselnya dan meletakkan di sisi laptopnya,dan kembali fokus ke pekerjaanya,ketika pintu ruang kerjanya di ketuk seseorang.
Seorang pelayan wanita membuka pintu," Tuan,ada Nona Anna." ia mempersilahkan seorang wanita berpakaian kantor masuk ke dalam.
"Saya membawa laporan yang Anda minta,Pak Chandra." bibirnya yang di warna pink lembut menyunging senyum,saat si Pelayan sudah menutup pintu.
"Kau bisa mengirinya lewat email,tidak perlu repot-repot kemari." Chandra menerima map cokelat yang di sodorkan sekretarisnya tersebut.
"Saya tidak repot Pak." ia tersenyum.Sayang Chandra terlalu acuh,sehingga tak memperhatikan dan lebih fokus dengan berkas yang baru ia terima.
"Saya lebih suka menyerahkan langsung pada Pak Chandra." Anna menatap Chandra dari matanya yang di lapisi softlenst warna biru muda.
Chandra menghentikan aktifitas membuka lembaran berkas dari map yang di bawa oleh Anna tadi, dan balik menatap wanita yang duduk di depannya itu.
