BUNGA MATAHARI
"Terserah kau mau berkata apa." Chandra bangkit dari duduknya. Kepalanya sedikit pening karena semalam tak tidur mengurus istrinya yang sakit.
Dengan ekor matanya,Nila mengikuti ke mana suaminya itu melangkah.
Gerakan Chandra terhenti,saat ia akan membuka handle pintu.
"Kau bebas memaki ku." ia berkata tanpa menoleh kebelakang."Tapi itu tidak akan merubah apa pun.Raksa tak akan kembali,dan kau tetap Istriku."
Teriakan histeris serta bunyi benda yang di lempar mengenai pintu terdengar,berbarengan dengan Chandra yang menutupnya.
"Jika dia sudah tenang,bereskan kamarnya seperti biasa."perintah Chandra pada seorang pelayan wanita yang menunggu di depan pintu.
Marni,pelayan yang di pekerjakan khusus untuk melayani segala keperluan Nila,mengangguk patuh.
Chandra masih mendengar makian yang terlontar,serta suara benda pecah dari balik pintu kamar,sebelum ia memutuskan untuk pergi.
Bagi penghuni rumah mewah tersebut. Hal seperti itu sudah biasa terjadi. Nyonya rumah mereka yang berwajah sendu,tak ramah pada siapa pun,termasuk pada suaminya sendiri.
Segala makian dan sumpah serapah sering kali para pelayan dengar.Tapi mereka memilih tutup telingan.Mereka menganggap,jika saat ini,Nyonya nya hanya sedang tertekan,karena nyinyiran dari pihak keluarga suaminya yang terus menyebutnya mandul,sebab dua tahun menikah belum juga bisa memberi keturunan.
Padahal,Tuannya adalah satu-satunya anak lelaki di keluarga Admaja yang terhormat.
Sedikit unik,di keluarga konglomerat tersebut,hanya anak laki-laki pertama lah yang boleh mewarisi semua. Baru setelahnya,dari sang Pewaris ini mengelola bersama saudaranya yang lain. Jika ia meninggal,maka harta warisan tak bisa jatuh ke tangan istrinya.Melainkan,adik laki-lakinya.Tapi lain cerita,jika ia punya anak lelaki,maka sudah pasti semuanya akan di wariskan pada si anak.Meski ada Paman yang lebih tua.
Begitulah Keluarga Admaja yang konon masih keturunan keluarga kerajaan jawa,sangat menjunjung anak laki-laki.
"Bajingan! Binatang!Aku benci padamuu..!" Nila menangis dan berteriak.
Hidupnya bagai sangkar emas. Semua orang iri dengan kehidupannya yang terlihat sempurna.Tanpa mereka tahu,semenderita apa batinnya.
Ia menangis,meringkuk di bawah kaki ranjang dengan kamarnya yang berantakan bak di gempur gempa.
Ingin pergi,tapi tak tahu ke mana.Ia tak punya apa pun sejak Ayahnya kecelakaan dan Kakak lelakinya mengadaikan semua aset ke meja judi.
Beberapa jam telah berlalu,Chandra sudah rapi dengan kemeja polos biru tua,yang di padu celana panjang hita.
Rambutnya tersisir sempurna dengan cambang tipis yang melingkari sekitar dagu.Menambah menawan wajahnya yang terkesan dingin dengan dua alis tebalnya dan ia yang jarang tersenyum.
"Silahkan,Tuan." seorang Pelayan wanita meletakkan secangkir kopi panas di atas meja.
Chandra hanya mengangguk.Ia sedang berkonsentrasi pada layar laptopnya yang menyala dan tengah mendengar rekan kerjanya yang sedang berbicara, melalui apliaksi zoom meeting.
"Permisi.." dengan sangat pelan,pelayannya undur diri.Ia sempat melirik ke arah Chandra yang memimpin rapat secara online,sebelum akhirnya tak berani berpikir lebih dan keluar dari ruang kerja.
Chandra memang seorang yang berkharisma.Pembawaanya tenang,dan cerdas dalam hal pekerjaan. Itu bisa di lihat seperti saat ia menerangkan sesuatu,meskipun hanya melalui zoom meeting.Tapi semua karyawan menyimak dengan,tak ada yabg berani menyela,atau pun sekedar tersenyum,apa lagi sampai bercanda.
Iya,Chandra adalah kepala keluarga Admaja saat ini,dan juga yang membawahi semua bisnis keluarga tersebut.Semua di bawah kendali tangannya,yanh membuat ia begitu di segani meski usianya masih di bilang muda.
Satu jam berlalu,Chandra mengakhiri rapat.Di matikan layar laptopnya,lalu menyesap kopinya yang telah dingin.
Di lihatnya jam dinding yang berada tepat di depannya,berpikir sejenak,sebelum bangkit dari duduknya.
Beberapa pelayan masih membersihkan kamar tidur istrinya,saat ia mengamati dari ambang pintu. Kamar itu sangat berantakan,dengan beberapa benda yang rusak dan pecah.Bahkan kaca rias bercat putih dengan ukiran indah,yang ia belikkan ketika di Thailand itu retak bekas terlempar sesuatu.
Chandra menghela nafas panjang,lalu berjalan menelusuri lorong.
Rumah ini adalah istananya.Ia membangun dengan mendatangkan Arsitek luar yang berpengalaman.
Dengan gaya vintage Eropa, kesukaan Istrinya.Pilar-pilar yang megah di buat menyeruapi kuil Partheon Athena di Yunani. Detail yang luar biasa indah di tiap sudut,di tambah halaman luas dengan kebun bunga matahari,yang sekali lagi adalah bunga kesukaan istrinya.
Semua yang ada di dalam rumah ini adalah refkeksi cintanya untuk Nila.Tapi sayang,istrinya itu tak akan pernah mau memahami.
Ia berdiri di lantai atas atas,di depan sebuah jendela besar yang langsung menghadap kebun bunga matahari.
Sinar mentari bersinar menembus kaca, membias wajah tampannya yang tak berkedip,meskipun sinar yang terik menyorot matanya.
Chandra memandang istrinya telah duduk di bangku taman,menatap kebun bunga matahari yang terhampar dengan bunga kuningnya yang bergoyang-goyang tertiup angin.
Nila diam seperti patung,dengan baju terusan warna putih dan rambut panjangnya yang sedang di sisir Marni,pelayannya.
"Suka banget sama bunga matahari."
Ingatan Nila melambung pada masa-masa indahnya dulu.
"Biasanya perempuan lebih suka mawar."
Lelaki berseragam sekolah itu terkekeh,memperlihatkan lesung pipinya yang hanya ada di sebelah kanan.
Mata Nila yang kosong berair,saat memgingatnya.
"Tahu nggak, kenapa di sebut bunga matahari?" Dia yang saat itu masih berusia 17 tahun bertanya pada sosok lelaki itu.
"Karena bentuknya kayak matahari." ia menjawab asal.Membuat Nila memukul pundaknya pelan.
"Itu benar, tapi kurang tepat." Nila tertawa.
Mereka berdua yang masih mengenakan baju putih-abu,duduk memandang perkebunan biji bunga matahari yang membentang sejauh mata memandang.
"Coba lihat." tunjuk Nila pada salah satu bunga matahari paling besar. "Kemana matahari bersinar, ke arah situ lah bunga matahari menghadap." Nila memandang kekasihnya. "Itu seperti aku padamu, Raksa." dia tersenyum.
Wajah Nila memerah,mencoba membendung air matanya. Masa mudanya yang indah.Yang ia sulam dengan suka,cita serta cinta.
Mewarnainya dengan tawa dan manisnya sebuah hubungan. Kini berakhir,dan di ganti tangis,pilu serta sesak di relung hati.
Nila seakan berada di atas perahu. Terobang-ambing dalam ombak besar. Tapi untuk melompat ke samudra dia tak punya keberanian,untuk tetap tinggal ia tak sanggup.Hanya bisa pasrah oleh keadaan.
"Aku ingin ke Rumah sakit." ia berkata tanpa menoleh pada pelayannya yang telah selesai menata rambutnya.
Si pelayan sedikit terkejut.Tapi kemudian ia tersenyum. "Saya akan segera menyampaikan pada Tuan." ia beekata.
Dia melirik ke beberapa penjaga tukang kebun yang sedang menyiram dan membersihkan daun kering yang berguguran,lalu berbalik pergi.
Nila tahu,mereka bukan tukang kebun atau apalah terserah Chandra memperkerjakan mereka.Yang jelas,ia tahu,jika orang-orang itu bertugas mengawasi agar ia tak ke mana-mana.
Chandra masih memperhatikan Nila dari balik jendela besar, saat Marni datang memberitahu apa yang di inginkan Nyonyanya.
"Bawa beberapa Penjaga." Ia berkata tanpa memandang lawan bicaranya.
Marni menunduk hormat.
"Beri jarak agar Nila tetap mempunya privasi dan nyaman."
"Baik." Marni undur diri.
Ke Rumah sakit bagi Nila bukan untuk berobat,meski tubuhnya sering sekali merasa lelah dan pusing. Tapi untuk menjenguk seorang,yang ia sangat sayangi dan kasihi,namun juga yang menempatkannya pada posisi sekarang.
Seorang yang membuat Nila tak bisa beranjak pergi sari sisi Chandra,karena hanya Chandralah penyokongnya agar tetap hidup.
"Papa.."
Dari pintu kaca Nila menatap tubuh seorang pria tua yang terbaring koma, dengan berbagai alat medis yang menempel pada tubuh kurusnya yang tinggal tulang.
