Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Lari Atau Beri Kesempatan?

Ini kali pertama aku pergi ke bar, dalam keadaan yang kacau dan memesan banyak minuman. Tidak masalah bukan jika anak penurut dan jarang keluar rumah sepertiku ini tiba-tiba main ke bar? Toh aparat sekalipun yang seharusnya menjaga citra malah pergi ke bar dan menghamili wanita di bar. Ck, aku malah ingat lagi perbuatan suamiku.

Di meja bartender kulihat ponselku yang terus menyala, sayangnya hanya satu telepon tak terjawab dari Eric di antara banyaknya teman dan telepon dari ibu yang tidak aku jawab. Sepertinya Eric tidak sama sekali mengkhawatirkanku karena ada wanita lain di rumah kami.

Aku menolak semua telepon mereka dan memberi penjelasan apapun pada siapapun, mereka akan mendapatkan berita perceraianku secepat mungkin, ini inti dan akhir perjalanan cintaku dengan Eric seperti yang mereka ingin ketahui nantinya.

Kuteguk segelas alkohol di atas meja, entah untuk ke berapa kali. Pandanganku mulai sedikit demi sedikit mengabur, dentuman musik di sana juga semakin membuatku tidak fokus. Satu yang aku sadari hanyalah telepon masuk dari Felix. Dari sekian banyak orang yang menghubungiku, aku hanya mengangkat satu telepon dari saudara laki-lakiku.

“Xaviera, apa kau terluka?” Suara berat Felix membuat dadaku sesak. Aku ingin menjerit menceritakan semuanya tapi suaraku tercekat terlalu malu untuk mengatakannya.

“Ibu bilang kau susah dihubungi. Sesuatu terjadi di pesta pernikahanmu, apa pria itu melukaimu?” Aku mengangguk berulang kali, Felix tidak bisa melihat ini tapi lega rasanya untuk sedikit diam-diam mengakui rasa sakit meski tak terlihat langsung oleh orangnya.

“Apa kau bisa membawaku ikut ke Paris?” Entah kenapa kesadaranku tiba-tiba pulih saat mengatakan ini. Aku mencengkram sloki alkohol di tanganku dengan gemetar, menahan perih di dada dan takut Felix akan marah jika tahu kebenarannya. Felix terdiam di ujung telepon sana, dan aku benar-benar takut, tidak ingin membuatnya khawatir atau marah seperti saat kami kecil dulu. Siapapun yang melukaiku, menyinggungku, dan merundungku akan berhadapan langsung dengan seorang Felix–tanpa kuminta. Apalagi orang ini berstatus suamiku sendiri, seseorang yang seharusnya akan membersamaiku hingga tua, entah akan seberapa marah Felix jadinya nanti.

Untungnya ia masih bersikap dengan santai, seakan ia hanya perlu mengetahui apa yang sedang aku alami di sini dengan jujur, lalu ucapanku yang tiba-tiba ini telah menjawab seluruh tanya dalam benaknya.

“Aku akan menjemputmu," ucapnya tanpa basa-basi lagi.

***

“Kau darimana saja?” Eric menghujaniku dengan banyak pertanyaan saat aku sampai ke rumah. Tapi saat ia melihatku berjalan dengan gontai menuju lantai dua ia berhenti berbicara dan berusaha membantuku. Aku menepis tangannya ysaat kulihat Leticia duduk di ruang tamu rumah yang dikatakan Eric adalah rumah yang ia berikan untuk kado pernikahan kami. Wanita itu masih disini rupanya, dengan anaknya yang selalu menangis ketika kutatap.

Menyebalkan, tangisan anak itu tiap kali melihatku seolah sudah mencap diriku sebagai ibu tiri, padahal aku istri sah di sini.

Aku tak berniat untuk mengatakan apapun, aku ingin segera sampai kamar dan mempersiapkan kepergianku menuju Paris. Felix akan segera menjemputku, aku akan mengakhiri hubungan ini, karena aku tidak sudi untuk berbagi suami–berulang kali itu yang ada di dalam isi kepalaku hingga sampai ke rumah.

Saat aku mengambil koperku, aku tak menyadari Eric mengikuti hingga ke kamar. Ia masuk dan mengunci pintu kamar, dengan emosi yang tidak bisa kupahami dari raut wajahnya. “Kenapa kau pulang dalam keadaan seperti ini?” Eric menahan tanganku yang hendak memasukan pakaian ke dalam koper.

“Kau pikir menyenangkan pernikahan kemarin?” Aku tertawa.

“Aku tahu kau masih sulit menerima semua ini, Xaviera. Tapi tolong, kita baru saja menikah. Apa kata orang jika kita bertengkar seperti ini? Dan apa maksudmu dengan koper ini?” Aku berhenti dari aktivitasku, kini menatap Eric yang seakan takut aku pergi, menjijikan sekali.

“Kau masih mementingkan bagaimana hubungan kita di mata orang sedangkan hubungan kita bahkan telah tercoreng di tengah-tengah pesta pernikahan kemarin.” Eric terlalu banyak diam sejak Leticia tiba-tiba datang di antara kami. Ini menyebalkan, aku tahu Eric juga berat pada wanita itu.

“Aku tahu akan ada banyak spekulasi yang timbul karena kejadian kemarin. Hanya saja terlalu dini bagi rumah tangga kita diterpa isu seperti ini,” ucap Eric.

“Lucu sekali, pak polisi. Semua orang terlanjur melihat Leticia dan putrinya, terlanjur melihat ekspresi kita, terlanjur bertanya-tanya kenapa tiba-tiba acara pernikahan yang belum selesai dihentikan setelah Leticia datang,” ucapku tak mau kalah. Namun untuk pertama kalinya aku melihat ekpresi Eric yang mengeras.

“Kau istriku, Xaviera. Kita akan mengurus Patricia dan membiarkan Leticia tinggal di sini sementara waktu. Tolong jangan keras kepala, tidak akan ada sesuatu yang terjadi.” Sialnya aku melihat kesungguhan pada sorot mata Eric yang sangat kukenali, dan aku merasa aku telah luluh kembali pada ucapan manisnya.

Lagipula manusia adalah tempatnya berbuat salah, ini kali pertama Eric melukaiku separah ini, apa aku tidak bisa memaafkannya sekali ini saja? Eric bilang kita hanya akan mengasuh Patricia, dan membiarkan Leticia sementara waktu disini. Itu berarti Eric tak berniat mendua, dan bagiku ini tidak terlalu berat dibandingkan dengan harus berbagi suami, lantas menunggunya mengetuk pintuku untuk bercinta.

“Apa kau mau bersabar dan menerima Patricia?” Eric menggenggam tanganku dengan erat, ia tidak menyangkal bayi itu, lewat perkataannya ia meyakinkanku tidak akan ada sesuatu yang terjadi antara dirinya dan Leticia.

Aku berpikir sesaat, tidak mungkin bagiku untuk langsung menerima ucapan Eric sekalipun ini jauh lebih baik untuk rumah tangga kita yang baru berjalan satu hari. Eric menatap mataku dengan tatapan memohon, “Patricia perlu seorang ibu, dan kau selalu mengatakan bahwa sebagai aparat aku tidak boleh berlaku jahat. Aku akan bertanggung jawab, tolong terima Patricia sebagai anakmu juga.”

Eric menunggu jawabanku dengan sabar, matanya mulai berair, hampir tumpah jika saja tak kutahan dengan tanganku agar tak jatuh ke pipinya. Aku mulai merasa iba, ini kesalahan pertama Eric, apa tidak bisa aku memberinya sebuah kesempatan? Mengurus anak bukanlah hal yang mudah apalagi jika itu anak dari wanita lain. Tapi pernikahan yang baru berjalan satu hari menjerit ingin dipertahankan lebih lama oleh ego masing-masing.

Di saat yang tepat sebuah telepon dari Felix tiba ke ponselku. Tanganku yang terulur mengusap air mata Eric, kini harus terhenti saat melihat nama pada layar ponselku. Felix, pasti menungguku, “Xaviera, aku baru selesai dengan urusanku. Aku akan segera pergi menjemputmu, sekarang juga. Apa kau sudah selesai berkemas?"

Aku melirik ke arah Eric, sepertinya ia tidak mendengar suara Felix, akan rumit menjelaskannya jika ia tahu aku berniat untuk lari. “Xaviera, jawab aku dulu. Apa kau mau menerima Patricia dan memaafkanku?” Eric kembali bertanya dan sukses membuatku mematung, di sebrang telepon kudengar Felix juga memanggil-manggil namaku.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel