Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9 Pondok Bakso

Bab 9 Pondok Bakso

Agnes mengulum senyum, sedikit malu karena dalam keriangannya hampir saja memeluk Agung. Pemuda itu membereskan beberapa peralatan melukis yang tadi ia gunakan dan menyimpannya dalam ransel bututnya. Agnes menghampiri Agung yang tengah menatap lukisan Agnes, seolah tengah mencari kekurangannya.

"Gung, temani aku makan ya," pinta Agnes. Agung menoleh dan mengangguk.

"Tapi di dekat gallery tidak ada tempat makan yang mungkin sesuai dengan seleramu," ujar Agung sangsi. "Hanya ada pondok bakso di ujung sana," ujarnya.

"Tidak apa-apa, itu cukup," ujar Agnes. Agung menatapnya tak yakin.

"Kenapa? Kamu pikir aku tidak pernah makan bakso?" ketus Agnes melihat tatapan ragu Agung. Pemuda itu tertawa kecil.

"Bukan begitu, tapi pondok bakso di sana hanya sekelas kaki lima Nes. Nanti lidahmu kaget," ujar Agung.

"Apa maksudnya itu?" Agnes meliriknya.

"Ya, kamu terbiasa dengan makanan mahal. Aku hanya khawatir lidahmu tidak bisa menerima makanan kelas bawah seperti itu," ujar Agung.

"Aku tidak selalu makan makanan mahal, Agung. Sering juga kok sepulang dari kampus bersama Maura singgah di kaki lima," ujarnya, menggamit lengan Agung dan menarik pemuda itu keluar area gallery.

"Kita pakai mobilku saja ya," ujarnya.

"Oh, boleh," ujar Agung. "Ah, kamu tidak mau ganti pakaian dulu? Yakin mau makan dengan pakaian seperti itu?" tanya Agung. Agnes mengangguk.

"Tidak usah, seperti saja juga tidak apa-apa. Apa menurutmu aku terlihat jelek dengan pakaian ini?" tanya Agnes, sengaja memancing perhatian Agung.

Agung menatapnya dari puncak kepala sampai ke kaki. Rasanya ia tak terlalu memperhatikan Agnes sejak tadi saat melukisnya. Gadis itu terlihat berbeda dari dia yang biasa.

"Tidak, cantik kok," ujar Agung seraya memalingkan wajah. "Ah, tunggu sebentar di sini, aku akan mengambil tas mu," ia kemudian setengah berlari ke dalam gallery. Tidak sengaja bertemu Rintan yang juga baru masuk bersama ayahnya.

Gadis itu tersenyum tersipu saat mata Agung menatap wajahnya, tatapan yang buru-buru ia pindahkan karena Budi Kartomo berdehem dan memanggilnya.

"Sudah selesai melukisnya?" tanya Budi Kartomo.

"Sudah Pak," jawab Agung pelan.

"Ah iya, Bapak perhatikan ada penawaran untuk beberapa lukisanmu di Cukar. Jawab saja, karena biasanya tawaran yang terlalu lama didiamkan akan dialihkan pada lukisan lain," ujar Budi Kartomo.

Agung mengangguk takzim dan mengucapkan terima kasih. Budi Kartomo berlalu bersama anak perempuannya yang berpaling menatap Agung ketika jarak mereka sudah cukup jauh. Tersenyum ketika Agung juga tersenyum padanya. Dengan langkah ringan, Agung masuk ke dalam mengambil tas Agnes.

"Maaf, agak lama," ujar Agung ketika akhirnya ia memasukkan tas besar itu ke dalam bagasi Agnes. Gadis itu menggeleng.

"Tidak apa-apa," jawabnya. "Ayo."

"Tunggu sebentar Nes, pamerannya mau ditutup secara resmi. Tidak enak kalau aku tidak hadir," ujar Agung. Agnes tertawa.

"Iya ya, tidak sempurna penutupannya kalau bintang pamerannya tidak hadir," ujarnya. Mereka masuk kembali ke gallery, menunggu penutupan pameran.

Rintan yang tak sengaja melihat mereka dari kejauhan hanya menunduk dan mengikuti langkah ayahnya. "Mereka sepertinya sangat dekat?" ia bergumam dan bertanya pada dirinya sendiri dan sekali lagi memperhatikan keduanya berbincang bersama yang lain.

Pameran ditutup secara resmi, tapi karena jam buka gallery masih tersisa dua jam lagi pengunjung masih memadati pameran. Agung menghampiri teman-temannya.

"Titip sebentar ya," ujarnya menunjuk lukisan-lukisannya.

"Mau kemana, Gung?" tanya Maura. Agung menggaruk bagian belakang kepalanya, bingung. Haruskah ia mengatakan bahwa ia akan makan bersama Agnes? Pastinya akan menjadi bahan guyonan bagi teman-temannya. Tapi Maura menemukan Agnes yang melambai padanya, gadis itu berooh kecil pada Agung.

"Makan sebentar," jawab Agung akhirnya. "Kalian sudah makan?" tanyanya, semua teman-temannya mengangguk.

"Sudah, saat tadi kamu melukis kita makan sebentar," jawab salah satu dari mereka.

"Kalau begitu, aku titip sebentar," ujarnya seraya berjalan menuju Agnes.

Tidak menyadari sepasang mata memperhatikan mereka saat Agung memasuki mobil Agnes dan berlalu dari halaman gallery. Sepasang mata yang terlihat sedikit kecewa.

Di pondok bakso, Agnes sengaja memilih tempat duduk yang sedikit di bagian pojok di sisi jendela. Di mana ia bisa menatap kendaraan yang lalu lalang dan anginnya sedikit lebih kuat. Duduk di meja kecil itu berdua, membuat debur jantungnya menguat dari waktu ke waktu. Dari tempat duduknya ia bisa menatap Agung sepuasnya.

Ah, setiap hari juga begitu, pikir Agnes. Karena hampir di setiap mata kuliah Agnes menyisakan satu bangku kosong di sampingnya. Yang biasanya akan diisi Agung jika bangku lain sudah terisi. Tapi seringnya begitu.

"Bagaimana lukisanmu di aplikasi, sepertinya makin banyak yang menawarnya," Agnes membuka obrolan dengan riang. Senyum merekah di bibir Agung.

"Ya, seharusnya aku sudah melakukannya sejak lama," ujarnya sedikit menyesal.

"Kamu selalu menolak kan setiap kali kusarankan. Selalu berpikir bahwa lukisanmu tidak layak," ujar Agnes.

Mereka bertukar senyum, "Gung, setelah ini kamu pulang?" tanya Agnes.

"Um belum. Harus membereskan beberapa peralatan dan juga karena pameran sudah ditutup semua lukisan yang tidak terjual harus kubawa pulang," jawab Agung. Sejenak raut kecewa tergambar di wajah Agnes.

"Kamu ingat tidak hari pertama kita kuliah?" tanya Agnes, Agung mengangguk.

"Ya, hari di mana kamu nyaris masuk got," kekehnya.

"Kok yang diingat malah yang itu," sungut Agnes. Kenangan itu selalu membekas di benak Agung, saat mereka menyusuri kampus baru dan berkeliling. Karena terlalu bersemangaat, Agnes tidak menyadari ada sebuah selokan kecil di antara dua jalan yang membelah dua gedung.

Mereka tertawa tertahan mengingat kejadian itu, saat Agnes menjerit karena salah satu kakinya terperosok ke dalam selokan. "Saat itu, kalau kamu tidak berpegangan pada tiang, kita berdua berakhir di air comberan," kikik Agnes. Tawa keduanya memenuhi udara di sekitar mereka, menumbuhkan semacam konfeti hayalan di puncak kepala Agnes yang membuatnya merasa sangat bahagia.

"Aku juga belum lupa saat kita kuliah Nirmana di akhir semester satu," kekeh Agnes. "Kamu dilempar spidol karena tertidur di kelas," tawa mereka lagi-lagi menguar.

Pesanan mereka datang, Agnes mengaduk kuah baksonya dengan sangat perlahan. Sst, dia hanya sedang berusaha menjaga citranya agar terlihat manis di mata Agung. Padahal menurut Muara biasanya kalau bertemu bakso, Agnes langsung jadi barbar. Catat, menurut Maura ya.

"Kamu tidak suka pedas?" tanya Agnes, ketika memperhatikan Agung yang sama sekali tidak menyentuh saos maupun sambal di depannya.

Agung menggeleng, "Tidak," gelengnya.

"Gung, aplikasi Cukar sedang membutuhkan kurator seni, kamu mau mencoba?" tanya Agnes tiba-tiba.

Agung menggeleng, "Aku masih baru di dunia ini Nes, belum punya kepercayaan diri untuk itu," jawabnya. Agnes berdecak kesal.

"Jangan pesimis begitu, coba dulu ya," rayu Agnes, tapi Agung tetap menggeleng.

"Aplikasi itu isinya orang-orang professional semua," sahut Agung sangsi.

"Jangan sok tahu, sebagian masih kuliah seperti kita," ujar Agnes. "Kamu coba dulu, setidaknya dengan begitu pengetahuanmu tentang lukisan akan semakin luas," bujuk Agnes.

Agung masih menggeleng, membuat Agnes gemas sendiri.

"Maaf Nes. Aku ingin fokus melukis dulu," ujar Agung kemudian, merasa tidak enak melihat Agnes sedikit cemberut. Agnes tersenyum kecil, sambil menyesap es jeruknya.

"Begitu bagus juga, jadi kamu benar-benar fokus pada hal yang memang ingin kamu tekuni," sahutnya.

Sejenak kediaman memeluk mereka, keduanya sibuk dengan makanan masing-masing.

"Agung," panggil Agnes setelah menyelesaikan makannya.

"Ya?"

"Kamu sudah janji mau jalan-jalan," ujarnya sedikit malu-malu.

"Aku bisa kapan saja waktumu luang," jawab Agung diplomatis.

"Aku tidak banyak kegiatan akhir-akhir ini," kata Agnes.

"Bagaimana kalau minggu ini, akhir pekan mungkin?" tanya Agung, wajah Agnes seketika cerah.

"Sungguh?" tanyanya berusaha meyakinkan diri. Agung mengangguk, yakin.

Agnes tersenyum senang, menyelesaikan makan dan menandaskan isi gelasnya. "Sudah mulai malam, sebaiknya kamu pulang," ujar Agung. Gadis itu menatapnya sedikit kecewa.

"Akhir pekan kita bertemu lagi," sambung Agung. Ia bangkit dan beranjak menuju kasir.

"Tidak, aku saja yang bayar," ujar Agnes, tapi segera menyimpan kembali dompetnya saat melihat tatapan Agung. Menyisakan senyum agar pemuda itu tak merasa tersinggung.

*Bersambung*

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel