Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8 Melukis Agnes

Bab 8 Melukis Agnes

Setelah yakin dengan penampilannya, Agnes mencari Agung. Menemukan pemuda itu tertawa bersama teman-temannya. Keningnya berkerut karena ada Muara terselip di antara mereka. Gadis berparas ayu itu membulatkan matanya begitu melihat Agnes.

"Wow Agnes! Kamu cantik sekali… seperti gadis desa," kelakarnya. Semua mata menatap Agnes dengan tatapan yang sama, kagum dan terpesona. Membuat gadis itu sedikit malu, ia melirik Agung yang menatapnya dengan senyum.

Semoga dia suka, harapnya dalam hati.

"Nes, kamu dilukis menggunakan baju itu?" tanya teman Agung, matanya tak bisa lepas dari pipi merona Agnes.

"Iya, Mas," jawab Agnes jengah. Tatapan pemuda itu membuatnya risih. Agung mengambil alih tas Agnes, menitipkannya pada teman-temannya dan mengajak Agnes ke bagian depan gallery di mana ada sebuah studio terbuka.

"Duduklah di sana," ujar Agung, ia mempersiapkan beberapa peralatannya sementara Agnes duduk manis di jarak dua meter dari Agung. Pemuda itu menata kanvasnya dengan hati-hati, memilih beberapa jenis kuas dan cat.

Seorang panita penyelenggara mengumumkan akan ada atraksi seni di studio terbuka mereka, beberapa pengunjung lantas menuju ke sana. Penasaran dengan atraksi yang akan dipertontonkan.

"Begini cukup?" tanya Agnes ketika akhirnya Agung duduk di kursinya dan bersiap dengan kuas di tangan. Pemuda itu menatapnya sejenak.

"Mungkin kamu bisa bergeser lima senti ke kiri?" tanya Agung, Agnes menggeser tubuhnya perlahan.

"Sedikit tengadah," ujar Agung. Agnes mengikuti arahannya tapi sepertinya Agung belum mendapatkan angle yang pas sesuai yang ia inginkan. Pemuda itu berdiri dan mendekati Agnes.

"Maaf," ujarnya, memegang bahu Agnes dan memperbaiki posisinya. Menatap rambut Agnes agar terlihat lebih rapi dan juga mengangkat dagunya sedikit. Posisi yang memungkinkan mata mereka bertemu. Dada Agnes bergejolak ketika sentuhan Agung di wajahnya membuat pipinya sangat panas.

"Ah, maaf," Agung melepaskan tangannya dari dagu Agnes dan kembali ke kursinya. "Jangan bergerak, tetaplah di posisi itu," pintanya. Agnes mengancungkan tanda oke dengan jarinya.

"Kalau kamu merasa pegal beritahu aku, kita bisa istirahat nanti," ujar Agung. Ia mengerti ini pertama kalinya Agnes dilukis dan pastinya ia belum terbiasa duduk diam dalam posisi yang sama untuk beberapa waktu. Lagi-lagi Agnes mengacungkan jempol untuk menyatakan bahwa ia mengerti dengan arahan Agung.

Sejujurnya Agnes ingin mengajak Agung bicara tentang hal apa saja, terutama yang menarik perhatiannya selama pameran. Tapi, melihat wajah serius pemuda idamannya itu, Agnes memilih diam. Ia ingin Agung fokus agar lukisan pertama Agnes ini selesai dengan hasil maksimal. Benak halu Agnes membayangkan wajahnya sendiri dalam lukisan Agung.

Akan seindah apa, tanyanya dalam hati. Berdebar sendiri membayangkan wajahnya di atas kanvas. Agung yang sangat fokus pada pekerjaannya tidak menyadari tatapan Agnes yang lekat di wajahnya. Agnes sendiri nyaris tak bisa menahan kebahagiaannya.

"Gung," panggilnya pelan. Sejenak Agung mengalihkan tatapannya dari kanvas pada Agnes.

"Ya?" kemudian kembali fokus pada kanvasnya.

"Mm, kita sudah kenal lama tapi kamu sama sekali tidak pernah mengajakku jalan-jalan seperti yang lain," ujar Agnes, wajahnya memerah ketika mengucapkan kalimat itu. Agung mengerlingnya.

"Aku tidak pernah kemana-mana, Nes," jawabnya.

"Tapi aku ingin pergi denganmu," pinta Agnes.

"Hm, jalan-jalan kemana?"

"Kemana saja," sahut Agnes, asal denganmu, sambungnya dalam hati.

"Kamu tahu kan, aku tidak punya mobil sepertimu," jawab Agung, tangannya menggurat sebuah garis sangat halus untuk menggambar mata indah Agnes.

"Tidak apa-apa," jawab Agnes. Menggunakan motor rasanya lebih romantis, pikir Agnes senang. Aku bisa memelukmu, soraknya dalam hati.

"Motorku hanya motor jadul yang sering mogok di tengah jalan," ujar Agung.

"Aku mau di ajak jalan-jalan dengan motormu. Sepertinya akan romantis," sahut Agnes, kali ini sambil sedikit merendahkan suaranya dan menunduk. Agung sekali lagi mengerlingnya, tersenyum melihat wajah malu-malu Agnes.

"Kamu yakin?" tanya Agung, Agnes langsung mengangguk yakin.

"Ya mau Agung. Ke mana saja dengan apa saja aku mau," jawabnya dengan senyum yang membuat jantung Agung berdenyut cepat.

"Ya sudah. Malam ini aku akan menjemputmu," akhirnya Agung memberanikan diri menyetujui permintaan Agnes. Entah keberanian dari mana, tapi dia setuju. Lagipula ia sedang memegang uang yang cukup untuk membelikan Agnes makanan yang cukup mahal. Pak Budi Kartomo sudah mentransfer uang pembayaran lukisannya.

Tanpa mereka sadari, jumlah pengunjung yang melihat proses Agung melukis Agnes semakin banyak. Gerakan lincah tangan Agung di atas kanvas ternyata membuat pengunjung tertarik dan kagum. Mereka berkumpul di studio terbuka Gallery Sapu Lidi, terpesona pada kecantikan Agnes. Beberapa pengunjung membicarakan kecantikannya yang terlihat alami.

Tapi sebagian besar merasa sangat kagum pada kelincahan Agung melukis. Setiap gerakannya seolah sihir yang memukau semua mata. Pengunjung pameran mengabadikan keduanya dalam bentuk foto bahkan ada yang memvideokan prose Agung melukis.

"Wah, itu pelukisnya licah sekali," gumam seorang pengunjung yang menatap Agung tak berkedip.

"Bukan hanya lincah di kanvas, tapi juga tampan," sambut yang lain, membuat banyak gumaman berkembang. Dan pengunjung yang berkumpul di sana semakin banyak.

Budi Kartomo yang melihat itu segera mendekati Agung, duduk di belakang pemuda itu dan memperhatikannya dengan seksama. "Kamu memang sangat berbakat," ujarnya, Agung yang tidak mengetahui kehadiran Budi Kartomo sedikit terkejut.

Tersenyum sedikit malu ia saat Budi Kartomo menepuk pundaknya. "Lanjutkan, atraksimu menarik banyak pengunjung hari ini. Seharusnya kita lakukan sejak kemarin," ujar Budi Kartomo. Ia keluar dari studio terbuka dan kembali ke dalam gallery.

Yang tidak disadari Agung, di antara banyak pengunjung yang menonton ia melukis, ada sepasang mata sendu nan indah, menatapnya tanpa jeda. Sepasang mata yang sejak kemarin membuat dada Agung berdebar sangat cepat. Mata itu bersinar sama seperti sinar yang terpancar dari mata Agnes. Terkesima pada kelincahan pemuda di depannya. Lebih dari itu semua, ia juga terkesima dengan wajah tampan dan tenang Agung.

Bibir gadis itu sesekali menyunggingkan senyum saat melihat betapa seriusnya wajah tenang itu. Bahkan tidak terpengaruh dengan bisikan-bisikan yang semakin keras di sekitarnya. Juga suara-suara gumam kekaguman yang memujinya. Gadis itu bergerak sedikit lebih maju, ia berada cukup dengan dengan Agung yang masih fokus pada kuasnya.

Tanpa sengaja, saat mengambil kuas yang lebih kecil, mata Agung bersirobok dengan mata sendu itu. Sejenak Agung lupa apa yang hendak ia lakukan, mata itu sangat menghipnotisnya. Membuat Agung sejenak melayang keluar dari studionya. Rintan tersenyum saat mata Agung menemukannya, pemuda itu balas tersenyum.

"Gung?" panggil Agnes, ketika ia menyadari Agung menunduk terlalu lama.

"Ah, iya." Agung tersentak, buru-buru mengambil kuas dan kembali ke kanvasnya. Sialnya ia mengambil kuas yang salah. Rintan tersenyum melihat kegugupan Agung, yang kembali mencari kuas kecil untuk goresan finish lukisannya.

Agung menyempatkan diri menoleh sekali lagi pada Rintan sebelum benar-benar fokus pada lukisannya kembali. Senyum gadis itu mengguncang ketenangannya.

Untung dia datang saat sudah hampir selesai, gumam Agung dalam hati. Ia yakin, jika ia melihat Rintan sebelum lukisannya selesai mungkin bukan wajah Agnes yang tercetak di sana tapi wajah Rintan. Wajah tenang yang bisa membuat Agung tersenyum sendiri.

Rintan melangkah meninggalkan studio terbuka sambil melihat video Agung di kameranya. Entah mengapa, pemuda ini sangat menarik perhatiannya sejak ia melihatnya pertama kali di hari pertama pameran. Rintan tidak mengerti, ada sesuatu yang membuatnya tak bisa berpaling dari wajah tampan Agung. Wajah yang membuat sesuatu di dalam dadanya berdenyut dengan irama yang sangat indah dan manis.

"Final," ujar Agung, setelah menggoreskan garis terakhir dan tanda tangannya di pojok kanan bawah kanvas. Agnes berdiri dengan wajah riang dan berjalan ke sisi Agung.

"Aku penasaran," ujarnya. Gadis itu mendekati Agung dan menatap wajahnya yang terukir di kanvas.

"Bagaimana?" tanya Agung. Agnes menoleh padanya dengan wajah memuja.

"Agung, ini bagus sekali," jeritnya senang. "Aku terlihat sangat cantik ya di sini," ia berpaling pada Agung, tersenyum dan memegang kedua lengan Agung dengan bahagia.

"Terima kasih," ujarnya, nyaris saja mendaratkan secercah kecupan di pipi Agung yang untungnya sudah melangkah menjauh dari Agnes sebelum gadis itu sempat memeluknya.

*Bersambung*

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel