Bab 10 Bertemu Rintan
Bab 10 Bertemu Rintan
Keduanya keluar dari pondok bakso, Agnes tak bisa berhenti tersenyum. Otaknya sudah merancang rencana untuk akhir pekan nanti. Pertama kalinya ia akan pergi bersama Agung, hanya berdua. Meskipun pada dasarnya bukan keinginan murni Agung, tapi tetap saja mereka akan pergi berdua kan? Agung yang sedikit pendiam dan tidak terlalu peduli pada gadis-gadis di sekelilingnya, bersedia pergi bersama Agnes, bukankah itu suatu kebahagiaan?
Agnes menghentikan mobilnya di depan Galery Sapu Lidi, Agung turun setelah mengucapkan terima kasih. "Hati-hati," pesan Agung, membuat bunga kecil yang baru tumbuh di hati Agnes seketika menjalar tinggi dan kuntumnya mulai mengelopak.
Hampir tiga tahun mengenal pemuda itu, baru kali ini Agung mengucapkan kata yang sangat berarti bagi Agnes. Kata yang mungkin terdengar biasa dan tidak ada apa-apanya bagi orang lain tapi bagi Agnes itu adalah bukti bahwa Agung memiliki perhatian padanya, meskipun sedikit. Gadis itu tersenyum dan melambai pada Agung yang melangkah memasuki halaman gallery, melambai pelan saat mobil Agnes meninggalkan gallery.
Setengah berlari Agung memasuki ruang pameran, ruangan itu nyaris kosong, hanya ada beberapa orang yang masih melihat-lihat di sana. Semua teman-teman Agung sepertinya sudah pulang. Bergegas ia mengemasi seluruh perlengkapannya. Menurunkan beberapa lukisannya yang tidak terjual dan mengikatnya menjadi satu.
Saat itu matanya tak sengaja menemukan sosok itu, tengah menatap lukisan ‘Pelangi Hampa’ Agung yang sekarang jadi penghuni tetap Gallery Sapu Lidi. Gemuruh di dada Agung mendadak menderu seperti ombak yang membuih di lautan. Sejenak ragu untuk menghampirinya, tapi ketika gadis itu membidik lukisannya dengan kamera yang sejak tadi ia pegang, Agung memutuskan untuk mendekat.
"Belum pulang?" tanya Agung sopan. Gadis itu menoleh, sedikit terkejut melihat ada orang selain dirinya di ruangan ini.
"Belum," suaranya yang merdu terasa seperti alunan nada di telinga Bayu, mendayu-dayu.
"Menunggu Pak Budi?" tanya Agung lagi, gadis itu menggeleng sekarang.
"Tidak, Papa sudah pulang sejak tadi," sahutnya. Sekali lagi membidik lukisan Agung, yang Agung tidak tahu bidikan terakhir itu memuat dirinya yang tengah berdiri di sisi lukisannya. Tersenyum sendiri saat melihat hasil bidikannya.
"Ini lukisanmu kan?" tanya Rintan, Agung mengangguk. "Papa sangat memujinya," sambung Rintan yang membuat dada Agung mengembang seketika.
"Ah, beliau mungkin hanya melebih-lebihkan, banyak pelukis lain ikut dalam pameran ini yang jauh lebih baik dari saya," ujarnya sedikit tersipu.
"Tidak kok. Buktinya Papa membeli lukisan ini dengan harga lumayan kan?" senyum Rintan. Dia bilang lumayan? Padahal itu jumlah yang besar bagiku, gumam Agung dalam hati.
"Beliau mungkin sedang memotivasiku saja," elak Agung, Rintan tertawa.
"Jangan salah, Papa orang yang kadang terlalu jujur lho. Beliau tidak akan segan mengatakan buruk jika memang itu buruk. Coba kamu lihat di aplikasi Cukar, beliau kurator senior di sana. Beberapa pelukis terutama pemula banyak yang merasa tersinggung dengan kritikannya. Jujur saja, kau satu-satunya pelukis pemula yang beliau puji setinggi langit," tutur Rintan.
Mendadak bunga-bunga mekar di hati Agung, ia tak menyangka akan bisa berbincang selama ini dengan gadis yang sejak dua hari terakhir mengganggu jantungnya. Agung melirik ke luar gallery, malam semakin pekat dan pengunjung semakin sedikit. Beberapa panitia sudah bersiap untuk menutup gallery.
"Belum mau pulang?" tanya Agung, Rintan menggeleng.
"Tunggu sebentar lagi," jawabnya, membawa kameranya keluar ruang pameran diiringi Agung yang menenteng ransel butut dan lukisannya.
"Lukisannya mau dibawa ke mana?" tanya Rintan.
"Pulang," jawab Agung singkat.
"Kenapa?"
"Pamerannya sudah selesai. Jadi harus dibawa pulang."
"Kata siapa? Kamu bisa kok meninggalkannya di sini siapa tahu pengunjung gallery yang sesekali datang tertarik dan ingin membelinya."
Agung menatapnya bingung, "Memangnya boleh?" tanyanya. Rintan tertawa kecil.
"Tentu saja boleh," sahutnya, "Kamu lucu," tawanya terdengar indah di telinga Agung yang tengah terpesona.
"Ah, aku Rintan," ujar Rintan mengulurkan tangannya.
Agung melongo, dua hari yang lalu Budi Kartomo sudah memperkenalkan mereka. "Aku tahu kita sudah bertemu dan berkenalan dua hari yang lalu, tapi itu kan Papa yang mengenalkan," ujar Rintan tersenyum saat melihat kebingungan Agung.
Dengan konyol, Agung menyambut tangan halus Rintan. "Agung," ujarnya.
"Ayo, kembalikan lukisanmu ke dalam," ajak Rintan, Agung terlihat ragu.
"Tidak apa-apa, nanti aku yang bicara dengan Papa," kata Rintan berusaha menghapus keraguan Agung.
"Benar tidak apa-apa?" ulang Agung, Rintan yang tidak sabar meraih lukisan dari tangan Agung.
"Tentu saja," ujarnya mendahului langkah Agung masuk kembali ke ruang pameran di sayap kanan.
"Atraksimu tadi bagus," ujar Rintan setelah mereka memajang kembali tiga lukisan Agung.
"Ah, hanya kebetulan. Dia teman kuliah yang selalu meminjamkan catatannya padaku. Melukisnya kujadikan sebagai hadiah untuk kebaikannya selama ini," ujar Agung, berharap Rintan tidak berpikir yang aneh-aneh tentang hubungannya dengan Agnes.
"Sudah malam, sebaiknya kita pulang," ajak Agung. Gadis di sisinya mengangguk dan mereka melangkah keluar dalam diam.
"Kamu bawa kendaraan?" tanya Agung saat mereka sampai di parkiran. Rintan mengangguk, menunjuk mobil mungil yang terparkir manis di jalan masuk gallery.
Mikir apa, Gung, tegur Agung pada dirinya sendiri saat melihat mobil Rintan. Tentu saja gadis itu membawa kendaraan, lagipula tidak mungkin kan dia mau diantar pulang dengan motor butut Agung.
Pikiran itu membuat Agung menghembuskan nafas berat.
"Aku pulang dulu ya," ujar Rintan, Agung mengantarnya sampai ia masuk ke mobil. Melambai manis saat Agung membekalinya dengan senyum ketika mobilnya bergerak meninggalkan halaman gallery.
Agung kembali ke motor king jadulnya, menunggang kuda besi yang lebih sering mogok itu dengan siulan ringan membelah malam. Bunga-bunga sedang tumbuh mekar di hati Agung. Tapi ia sendiri tengah bingung bunga itu mekar karena siapa, Agnes atau Rintan?
Agung berjinjit seperti biasa saat memasuki rumah Pakdenya. Ruang utama dan ruang keluarga sudah gelap menandakan penghuninya sudah lelap dalam mimpi di kamar masing-masing. "Selalu pulang malam," suara itu mengagetkan Agung. Matanya terasa sangat silau saat lampu mendadak dinyalakan.
Wira Pramudya berdiri angkuh di kaki tangga. "Kemana saja kamu?" tanyanya, mata hitam Wira menyorot Agung seperti lampu sorot di stadion saat pertandingan bola.
"Dari gallery Pakde," jawab Agung sopan. Wira mendecih.
"Heran, bagaimana bisa adikku membesarkan anak tanpa cita-cita sepertimu," gerutunya.
Agung menggaruk kepalanya yang gatal karena kesal. Benar, selama ini Pakdenya menjadikan Agung sebagai role mode bagi anak-anaknya, tapi itu semata karena di matanya Agung adalah anak penurut yang selalu patuh pada orang tua. Berbeda dengan Bintang dan Rina yang selalu menentang keinginannya.
"Pelukis itu cita-cita lho, Pakde," Agung menampilkan senyum jengkel yang terbungkus dalam kemasan sopan santun yang manis, membuat Wira tak menyadari bahwa sesungguhnya keponakannya itu tengah mengejek dirinya.
Wira mengibaskan tangan atas kata-kata Agung. "Apa yang bisa kamu dapatkan dari melukis?" gerutunya.
"Dan mengapa rambutmu masih belum dipotong?" sergah Wira. Agung mengusap rambutnya yang mulai menyentuh tengkuk, meremasnya perlahan.
"Anu…, belum sempat Pakde," sahut Agung dengan cengiran lebar di wajahnya. Wira mendesis kesal.
"Sibuk apa kamu?" Agung baru membuka mulut untuk mengatakan bahwa ia mengikuti pameran di sela-sela jadwal kuliahnya. "Pakde tidak mau tahu, pokoknya besok potong rambutmu!" suara Wira terdengar tegas dan menyakitkan di telinga Agung.
"Dan tidak ada lagi pulang di atas jam 8 malam, Agung!" pria itu menatap lurus keponakannya yang setengah menunduk. "Lalu, Pakde tidak suka melihatmu kemana-mana pakai motor bututmu itu, membuat malu keluarga saja. Kalau ayahmu tidak bisa membelikan motor baru, kamu bisa pakai motor yang ditinggalkan Bintang!" Wira menaiki tangga, meninggalkan keponakannya yang menekan semua rasa kesal di dadanya.
Sebenarnya motor butut itu bukan karena ayah Agung tidak mampu membelikan yang lebih bagus, atau bukan karena dia tidak menyukai motor sport Bintang. Agung hanya suka dengan motor jadulnya itu, mengendarai motor butut itu membuat Agung bisa menikmati perjalanannya ke mana pun dia pergi.
*Bersambung*
