Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Kegelisahan Agnes

Bab 7 Kegelisahan Agnes

Agnes bolak balik sendirian di kamar, terlihat sangat gelisah. Sebentar-sebentar ia melirik telepon genggamnya yang tergeletak manis di atas nakas. Suara yang ia harapkan akan terdengar dari benda pipih yang biasanya rewel itu, tidak kunjung terdengar. Entah mengapa pagi ini ia menjadi sangat pendiam, mengesalkan, batin Agnes.

"Dik, sarapan!" suara kakaknya terdengar memanggil dari lantai satu, Agnes berdecak untuk ke sekian kalinya. Dengan bibir maju beberapa senti ia akhirnya turun, menggenggam erat ponselnya. Berharap dering yang ia tunggu sejak membuka mata akan segera terdengar. Duduk menghadapi sarapannya, Agnes sesekali masih melirik ponselnya.

"Agnes, fokus pada makananmu!" tegur ayahnya, gadis itu terkejut dan buru-buru mengangguk.

"Iya Pa," gumamnya pelan, mendesis setengah kesal karena ponselnya masih diam. Bahkan sebuah pesan pun tidak kunjung masuk. Apa semua orang bertekad melupakannya pagi ini? heran Agnes.

Angga melirik adiknya yang terlihat gelisah dengan kening berkerut. Entah kemana perginya wajah riangnya kemarin sore. "Ada apa, Dik?" tanyanya pelan, kebetulan mereka duduk berdampingan. "Kamu kehilangan sesuatu?" tanyanya.

Agnes menggeleng, "Tidak, Mas," jawabnya lesu.

"Lalu?"

"Tidak apa-apa," bertekad untuk tidak memberitahu siapa pun bahwa ia tengah kesal karena Agung tidak kunjung menghubunginya untuk memastikan rencana mereka hari ini. Sementara Agnes sudah menyiapkan semua peralatan dan busananya. Angga menatap wajah adiknya yang penuh cuka dan menggeleng pelan.

"Hhm, pemuda yang disebut temanmu kemarin tidak menghubungimu?" tebaknya, wajah Agnes seketika merona. Bagaimana Mas Angga tahu, pikirnya.

"Siapa juga yang menunggunya," ujar Agnes menggerutu. Tapi, justru wajahnya yang merona membuat Angga senang dan ingin menggodanya lebih lanjut. Hanya saja mata tajam ayah mereka menangkap pembicaraan bisik-bisik itu dan melotot.

"Kalian! Tidak bisa diam saat di meja makan?" tanyanya dengan suara mengguntur. Seketika kakak dan adik itu bungkam, menutup mulut rapat-rapat dan makan dalam diam.

"Aku sudah selesai," ujar Angga, bangkit dan beranjak ke ruang keluarga, mengambil tas kerja yang sudah ia letakkan sebelum sarapan di sana.

"Pa, Angga berangkat lebih dulu," pamitnya, pria setengah baya yang masih terlihat gagah di usia tuanya itu mengangguk.

"Jangan lupa, rapat hari ini di gedung pusat," sahutnya sebelum Angga menghilang dari pandangannya.

Agnes buru-buru menyelesaikan makannya sebelum ceramah panjang sang ayah singgah di telinganya.

"Mau kemana, Nes?" tanya sang ayah.

"Ke kampus, Pa. Ada jadwal kuliah pagi," sahutnya, membawa tangan sang ayah ke keningnya bergantian dengan tangan ibunya.

"Hati-hati, Sayang," ibu Agnes, seorang wanita anggun yang sangat ramah, memeluknya erat. Membekali putrinya dengan selembar senyum yang membuat kekesalan di hati Agnes sedikit berkurang.

"Jangan membawa kendaraan dengan wajah penuh cuka begitu. Ayolah, seulas senyum akan membuat harimu lebih ceria," ujarnya. Mau tidak mau Agnes menerbitkan senyum super tipis demi menenangkan sang ibu.

Kembali ke kamar untuk mengambil tasnya, Agnes berpikir untuk tidak membawa persiapan ia dilukis. Ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya menyambar travel bag itu. Tunggu di tempat Maura saja, pikir Agnes. Dan berjalan gontai menuruni tangga, sesekali melirik ponsel di genggamannya. Bahkan hingga Agnes menghidupkan mesin mobil, Agung masih belum menghubunginya.

"Atau aku telepon dia saja?" bergumam sendiri, sekali lagi menatap ponselnya penuh harap. "Aah Agung, kamu ke mana?" kesalnya, mengetuk-ngetuk setir mobilnya kesal.

Ke rumah Maura saja, pikir Agnes kesal dan mulai menjalankan mobilnya. Tapi di saat bersamaan telepon genggamnya berdering, gadis itu tersenyum riang saat nama Agung tertera di sana. "Hai Agung," ujarnya begitu panggilannya tersambung. "Selamat pagi."

"Ah, selamat pagi, Nes. Maaf aku baru sempat meneleponmu," ujar Agung dari seberang sana, masih dengan suara mengantuk.

"Iya, tidak apa-apa," ujar Agnes lembut.

"Pak Budi dan penyelenggara mengizinkan untuk kita melakukan atraksi hari ini. Tapi, mungkin setelah siang Agnes. Karena hanya di jam-jam itu pengunjung lebih banyak," ujar Agung. Agnes bersorak dalam hati, tidak peduli jam berapa yang penting Agung melukisnya!

Menahan sorakan keriangan dalam hatinya, Agnes tersenyum sendiri. "Ya, baiklah. Kebetulan aku juga ada jadwal kuliah sampai siang," ujarnya.

"Baiklah, sampai bertemu di pameran ya," tutup Agung.

"Baik," Agnes menatap ponselnya riang. Dengan bersenandung gadis itu melajukan kendaraannya menuju kampus.

***

Setelah makan siang, Agung yang baru sampai di gallery menatap pengunjung yang terhitung jauh lebih banyak dari hari pertama dan kedua. Dengan senyum lebar ia menghampiri teman-temannya yang menyambut pemuda itu dengan tawa riang.

"Akhirnya dia datang," ujar salah satu dari mereka, melemparkan kuas yang tengah ia pegang pada Agung. Pemuda itu menangkapnya dengan ketangkasan seorang pemain basket amatiran.

"Ada apa?" tanya Agung.

"Beberapa pengunjung menanyakan tentang lukisanmu," Agung tersenyum lebar demi mendengar penjelasan pendek itu.

"Sepertinya impianmu mulai terlihat hilalnya, Gung," gurau temannya yang lain, tawa menguar di ruangan kecil itu.

"Ah, kemarin aku melihat lukisanmu di pajang di aplikasi Cukar," yang lain bertanya, Agung mengangguk.

"Iya, Mas, coba-coba siapa tahu ada yang berminat," sahut Agung.

"Banyak, kulihat sampai pagi ini sudah lebih dari seratus orang yang memberikan pujian untuk lukisanmu di sana."

"Seratus?" tanya yang lain dengan suara takjub.

"Itu luar biasa, aku sudah hampir satu bulan memajang lukisan di sana hanya lima puluh orang yang melihat," ia menatap Agung yang garuk-garuk kepala karena bingung harus mengatakan apa dengan mata kagum.

"Hanya kebetulan mungkin, Mas," ujar Agung asal. Saat itu ponselnya berdering.

"Kamu di mana? Aku sudah di depan gallery," suara Agnes yang riang memasuki gendang telinga Agung.

"Ya, sebentar aku ke sana," ujar Agung. Teman-temannya menatap Agung ingin tahu.

"Agnes," jelasnya tanpa diminta. "Dia ingin dilukis hari ini, sebagai salah satu bentuk atraksi untuk menutup pameran hari ini," sambung Agung.

"Kamu akan melukiskanya di tengah pengunjung?"

"Iya."

Mereka akhirnya bersama-sama menuju bagian depan gallery. Agung melambai pada Agnes yang terlihat sedikit kesulitan menurunkan travel bag-nya. Agung menggeleng heran setengah geli melihatnya dan berusaha membantu gadis itu membawa tas tersebut.

"Untuk apa bawa tas seperti ini?" tanya Agung, mengambil alih tas dari tangan Agnes yang tersipu.

"Itu pakaian yang akan kupakai saat dilukis," sahutnya, kening Agung berkerut heran.

"Sebanyak ini?" tanyanya, mengingat tas yang dibawa Agnes cukup besar, Agung membayangkan gadis itu membawa beberapa lembar pakaian.

Agnes tertawa kecil, ia membuka tas itu ketika mereka sampai di bagian dalam gallery. "Tidak hanya pakaian, tapi aku juga membawa peralatan make up," ujarnya dengan wajah agak malu. Agung tertawa melihat peralatan yang dibawa Agnes, ia tak membayangkan gadis ini akan sedemikian repot hanya untuk dilukis.

"Aku terlalu heboh ya," ujar Agnes dengan bibir agak mengerucut saat melihat Agung tertawa.

"Tidak, aku hanya bingung, untuk dilukis, kamu sampai harus membawa sebanyak ini?" tanyanya geli. Agnes mencubit lengan Agung, kesal dan malu.

"Aku kan ingin terlihat cantik," gumamnya dengan pipi merona.

"Sudah cantik, Nes," sahut Agung tanpa sadar, yang justru membuat pipi Agnes semakin panas. Agung sendiri menyesal mencetuskan kalimat tidak penting itu, apalagi ketika mata Agnes menatapnya agak mesra.

"Ah, ya sudah cepat ganti pakaianmu. Pengunjung sedang ramai, kalau menunggu lebih lama mungkin akan sedikit berkurang yang datang," ujar Agung dengan nada buru-buru. Agnes mengangguk, ia menatap berkeliling.

"Aku bisa ganti baju di mana?" tanyanya pada Agung yang kemudian membawanya ke sebuah ruangan kecil.

"Di sini saja. Ruangan ini disediakan khusus untuk pelukis biasanya. Kunci saja dari dalam ya," pesan Agung. "Aku menunggumu di depan," sambungnya.

Agnes mengangguk dan tersenyum sebelum Agung pergi. Dengan cepat ia bersalin pakaian dan mendandani dirinya ala kejawen. Agnes sengaja menggunakan obi untuk lebih mempertegas kesan ramping di bagian pinggangnya. Dan kain jarik ia pasang sedikit lebih pendek dari biasanya memperlihatkan betisnya yang indah.

Gadis itu berputar dan menatap dirinya dengan rasa puas di cermin. Agung pasti akan menyukai penampilanku, bisiknya seraya menatap rambut. Membiarkan rambut gelap tebalnya terurai dengan hiasan bunga mawar kecil di atas telinga. Agnes kemudian membawa seluruh rambutnya ke bahu kanan dan membiarkannya terurai lembut di sana.

"Sempurna," bisiknya sendiri saat melihat dirinya yang cantik paripurna di kaca.

*Bersambung*

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel