Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 Pertemuan Kedua

Bab 6 Pertemuan Kedua

Galery Sapu Lidi

Menjelang malam, Agung mengemasi beberapa lukisan yang sempat dikeluarkan saat pameran. Bersama teman-temannya bersiap untuk menutup gallery, sedikit terkejut ketika Budi Kartomo menghampirinya.

"Kalian sudah mau pulang?" tanyanya, tanpa melepaskan senyum pada mereka. Para pemuda itu mengangguk sopan.

"Iya, Pak. Besok lagi," ujar salah satu senior Agung. Budi Kartomo mengangguk, menghampiri Agung dan menariknya agak menjauh.

"Bapak minta rekeningmu, Agung. Uang pembelian lukisan akan Bapak transfer besok," ujarnya.

"Saya kirimkan di WA saja ya Pak," sahutnya.

"Oh, boleh, boleh. Nomor Bapak ada, kan?" tanya Pak Budi, Agung mengangguk.

"Ada, Pak."

Agung mengambil ponselnya, berkutat sebentar dengan benda pipih itu sebelum kemudian menoleh pada Budi Kartomo. "Sudah saya kirimkan, Pak."

Budi Kartomo mengangguk dan mengecek ponselnya. "Oke."

Bersamaan dengan itu, seorang gadis terlihat berjalan mendekati mereka. Agung terkejut ketika mengenali gadis itu, si ayu bermata sendu yang tadi siang sempat mengganggu jantungnya. Gadis itu tersenyum saat akhirnya mencapai Agung dan Budi Kartomo.

"Pa? Masih lama?" tanyanya dengan suara sangat mendayu, membuat jantung Agung berdenyut tidak karuan. Sekali lagi, gadis itu tersenyum padanya. Budi Kartomo menoleh dan merangkul pundak gadis itu.

"Ah, iya. Kenalkan ini Agung," ujarnya kemudian. "Dia pelukis yang lukisannya tadi Papa bilang sama kamu," ujar Budi Kartomo. Gadis itu mengangguk dan tersenyum memperlihatkan lesung pipinya yang mengintip malu-malu pada Agung.

"Agung, ini Rintan. Putri bungsuku," Budi Kartomo mengawasi keduanya saling berjabat tangan.

Agung menggenggam tangan halus itu cukup lama, matanya terpaku menatap mata indah Rintan yang begitu teduh. Tatapannya membuat dunia di sekitar Agung sejenak menguap dan terasa hanya ada mereka berdua di sana.

"Ehm!" Budi Kartomo berdehem cukup keras, melotot pada genggaman tangan Agung dan Rintan yang tak kunjung dilepaskan. Terkejut Agung menarik tangannya, menggumamkan kata maaf dengan wajah merah pada Rintan maupun Budi Kartomo.

Laki-laki paruh baya itu tertawa melihat wajah tersipu Agung. "Tidak apa-apa, bukan hanya kamu yang terpesona padanya," ujarnya dengan tawa kecil yang membuat wajah Agung semakin merah.

Rintan mencolek ayahnya dengan wajah seperti kepiting rebus, "Papa… jangan begitu. Malu," bisiknya. Budi Kartomo menguar tawa dan menepuk bahu Agung.

"Oke, besok kita bertemu lagi sekalian Bapak akan ambil lukisannya. Istirahatlah karena besok masih akan ada banyak pengunjung," ujarnya. Agung lagi-lagi hanya mengangguk. Menatap punggung ayah dan anak itu menjauh.

Rintan, gumamnya membatin. Nama itu tersemat dengan indah dalam hatinya. Hatinya berbunga, akhirnya bisa bertemu lagi setelah seharian tadi berusaha untuk bisa melihatnya lagi. Bunga-bunga semakin subur mekar di hati Agung ketika Rintan menoleh kembali ke arahnya sebelum keluar dari gallery. Tersenyum sangat manis. Agung membalas senyumnya buru-buru, berharap gadis itu memiliki kesan baik padanya.

Akhirnya Agung pulang, seperti biasa sambil bersiul sepanjang perjalanan. Kebahagiaan benar-benar menguasainya saat ini. Tidak hanya karena lukisannya terjual dengan harga cukup fantastis, tapi juga karena kehadiran Rintan. Gadis yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

Senyumnya yang malu-malu masih terbayang di pikiran Agung, mengoyak tanpa memberinya kesempatan untuk memikirkan nama lain. Gadis yang sangat indah, batin Agung. Sebersit Agung merasa ragu. Rintan sepertinya halnya Agnes juga berasal dari keluarga kaya. Mungkin tidak akan mundah mendapatkan hatinya, tapi senyumnya sudah meracuni Agung.

Hatinya penuh dengan gadis itu. Tak lagi memberi tempat pada yang lain.

Aku jatuh cinta? pikir Agung heran sendiri. Bagaimana bisa ia jatuh cinta hanya dengan sekali pertemuan. Shit, jatuh cinta pada pandangan pertama itu ternyata memang ada, keluhnya. Dan sekarang dirinya yang terjebak dalam perasaan itu. Perasaan yang membuatnya merasa lebih bahagia dari siapapun.

Rumah sepi, para penghuninya mungkin sudah berdiam di kamar masing-masing. Agung yang merasa sedikit lelah langsung masuk ke kamar dan membersihkan diri. Merebahkan tubuh sambil mengecek aplikasi Cukar yang diinstal Agnes di ponselnya. Terkejut ketika melihat cukup banyak reaksi positif untuk lukisan-lukisannya di sana. Ada beberapa yang memberinya penawaran.

Senyum mengembang di bibir Agung, ada rasa bangga yang menelusup perlahan-lahan dalam hatinya. Mendecih perlahan ketika perhatiannya terganggu dengan panggilan, tapi ketika melihat nama Agnes tertera di nama pemanggil Agung buru-buru menjawabnya.

"Halo, Nes?"

"Malam, Agung. Aku mengganggumu?" tanya Agnes dengan suara halus yang sangat merdu, terasa seperti angin yang meniup hati Agung.

"Tidak. Apa yang bisa kubantu?" tanya Agung. "Ah, iya. Terima kasih sudah menginstal Cukar tadi sore."

"Iya, iya. Bagaimana? Sudah ada yang melihat lukisanmu?" tanya Agnes bersemangat.

"Ada, lumayan banyak dan ada beberapa yang memberikan penawaran," jawab Agung. Agnes heboh sendiri seketika.

"Betulkan? Aku sudah yakin orang-orang akan suka dengan lukisanmu. Waah, selamat ya Agung," suaranya terdengar sangat riang di seberang sana, mau tidak mau Agung ikut tersenyum dan mengucapkan terima kasih berkali-kali.

"Tidak perlu berterima kasih, aku senang melakukannya untukmu," Agnes mengatakan itu dengan sangat tulus. "Aku senang kalau kamu senang," sambung Agnes.

Ah, seandainya dia bukan dari keluarga yang secara ekonomi sangat mapan, Agung mungkin akan memberikan kesempatan pada dirinya sendiri untuk mengejar Agnes. Tapi gadis itu terasa sangat jauh dari jangkauannya. Dia terlalu ekslusif untuk Agung.

"Um, Agung besok jadi, kan?" tanya Agnes setelah pembicaraan mereka berpindah dari satu topik ke topik lain.

Deg, Agung baru ingat ia belum meminta persetujuan Pak Budi Kartomo untuk melukis Agnes di galeri.

"Jadi, kan? Aku mau kamu melukisku di pameran, anggap saja sebagai atraksi. Ya…," pintanya. "Lagipula besok hari terakhir pameran, kan? Akan bagus jika kita menutup pamerannya dengan sedikit atraksi," sambungnya.

Agung terdiam, "Aku mau saja Nes, tapi tetap harus meminta izin dulu pada Pak Budi," sahut Agung. Diam sejenak.

"Memangnya kamu belum bicara pada Pak Budi?" tanya Agnes, terdengar sedikit kecewa.

Agung menggigit ujung jarinya sedikit merasa bersalah, ia benar-benar melupakan Agnes karena fokus perhatiannya tertuju pada Rintan. Rintan, nama itu menggema dalam pikiran Agung yang secara otomatis mengirimkan sinyal ke jantungnya. Membuat debaran di dadanya jadi lebih berirama dan lebih kuat.

"Gung?" suara Agnes di seberang mengagetkan Agung.

"Ah, Ya. Kenapa Nes?"

"Besok jadinya bagaimana?"

"Aku tanya penyelenggara dulu, kalau mereka mengizinkan aku akan hubungi kamu besok pagi ya," ujarnya kemudian. Terdengar desahan kecewa dari seberang. "Aku akan berusaha agar mereka setuju," ucap Agung lagi.

Wajah Agnes menjadi riang kembali, mengulum senyum dan menatap ponselnya seakan-akan si ponsel adalah Agung. "Jangan lupa besok pagi harus kabari aku ya," ujarnya lembut.

"Ya," jawab Agung.

Diam sejenak, Agung yang merasa lelah berharap gadis itu menutup panggilan tapi sepertinya Agnes belum berniat mengakhiri perbicangan mereka.

"Gung?" suara pelan Agnes menggapai gendang telinga Agung, mendayu-dayu di sana.

"Ya, kenapa?" tanya Agung, dada Agnes berdebar mendengar suaranya yang sangat lembut.

"Mm, tidak apa-apa. Selamat tidur," akhirnya hanya kalimat itu yang diucapkan Agnes sebelum menutup panggilan mereka.

"Ya, Nes. Terima kasih. Selamat malam," balas Agung. Termangu cukup lama setelah Agnes mengakhiri panggilan mereka. Agung menghempas nafas berat, hampir tiga tahun mengenal Agnes gadis itu selalu baik padanya. Sering membantunya dalam banyak hal terutama soal catat-mencatat materi.

Agnes bahkan sengaja membuat dua catatan, satu untuk dirinya dan satu untuk Agung. Gadis itu juga banyak memberinya support untuk terus lebih baik dalam melukis, mengenalkannya pada beberapa pelukis yang membuat Agung banyak belajar dari mereka. Tak jarang juga Agnes memberinya support berupa kanvas, kuas atau cat kualitas terbaik. Dan saat Agung sibuk dengan kegiatan melukisnya Agnes akan datang dengan makanan kesukaan Agung.

Agnes, Agung mengeja nama itu dalam hati. Sejak pertama kali bertemu, ia tahu Agnes tertarik padanya dan jika mau jujur Agung juga merasakan hal yang sama. Tapi sekali lagi, gadis itu terlalu eksklusif bagi Agung. Dia terbiasa dengan barang-barang bermerk sementara Agung hanya mengandalkan motor king jadulnya. Terkekeh sendiri ketika membayangkan dirinya harus mengajak Agnes jalan-jalan dengan si jadul kesayangannya itu dan motornya mogok di jalan.

Lupakan Agnes, bisik Agung pada dirinya sendiri. Sekuat apapun perasaan mereka, Agung tak akan pernah bisa menggapainya. Keluarga Agnes tidak akan pernah bisa menerima Agung yang hanya berasal dari keluarga biasa.

Sadar Gung, batinnya.

*Bersambung*

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel