Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 Tekad Maura dan Ribetnya Agnes

Bab 5 Tekad Maura dan Ribetnya Agnes

Sepanjang perjalanan, senyum tak berhenti mengurai dari bibir manis Agnes. Gadis itu terlihat sangat bahagia. Maura yang duduk di sampingnya menggodanya habis-habisan.

"Yang mau dilukis idaman," kekehnya tersenyum.

"Ah, rasanya aku sampai gemetar, Maura," ujar Agnes, membawa mobilnya berbelok menuju gerbang rumah.

"Saking bahagianya atau gugup?" tanya Maura, sedikit tertawa.

"Sepertinya untuk kedua hal itu. Aku tidak menyangka Agung akan menawarkan untuk menjadi model lukisannya," tangan Agnes rasanya kebas, panas dingin dan berkeringat. Membayangkan hanya berdua dengan Agung dalam satu ruangan. Pikirannya mengembara.

"Nes, Mas Angga ada?" tanya Maura setelah mereka turun dan memasuki ruang utama rumah Agnes. Gadis itu melirik jam tangannya.

"Sepertinya belum pulang," jawab Agnes. Maura mengeluh kecewa, selain persahabatannya dengan Agnes, magnet yang membuat Maura sering datang dan berlama-lama di sini adalah Angga. Kakak kedua Agnes, pria muda yang sangat tampan dan menggoda iman Maura.

"Kecewa," goda Agnes, membuat Maura meringis miris.

"Susah untuk bisa bertemu Mas Angga," keluhnya.

"Memangnya mau apa? Kamu kan tahu Mas Angga sudah dijodohkan," ledeknya.

"Ah, kamu Nes. Selama janur kuning belum melengkung, ya sah sah saja suka," ujar Maura dengan bibir mengerucut.

Agnes tertawa, "Maura, bukan aku tidak merestui rasa sukamu ya, jujur mungkin aku akan lebih senang kalau yang jadi kakak iparmu itu kamu. Tapi Mas Angga itu sudah sangat pasrah dengan perjodohannya."

"Jadi ingin tahu, perempuan seperti apa yang menjadi tunangannya," keluh Maura.

"Cantik, sangat cantik," jawab Agnes sengaja memanas-manasi. Maura merengut seketika.

"Ah, kamu ini, malah membuatku makin patah hati," sungutnya.

"Kan aku sudah bilang, Maura. Kamu menyerah saja," kekeh Agnes.

"Tidak ada kata menyerah dalam kamus Maura, Nes," gerutu Maura, Agnes tertawa melihat gayanya yang sok kuat itu.

"Tapi kok mau ya Mas Angga dijodohkan Nes?" tanyanya heran. "Di era begini, masih main jodoh-jodohan," keluhnya.

"Waktu itu, Papa bermimpi agar menjodohkan anaknya dengan anak salah satu temannya, dan di saat yang sama anehnya teman Papa juga bermimpi sama. Mendapat petunjuk agar anak mereka dijodohkan," jelas Agnes.

"Sebentar, kamu bilang perjodohan itu terjadi hanya karena ada dua orang yang bermimpi?" herannya.

"Ya, melalui mimpi. Catat Maura, kedua kepala keluarga bermimpi tentang hal yang sama di saat yang hampir bersamaan. Aneh kan? Menurut Papa begitulah cara wangsit datang dan Papa tidak mau melewatkannya," ujar Agnes lebih jelas.

‘Konyol’ pikir Maura, perjodohan hanya karena ada wangsit. Wangsit? Untuk Maura yang tidak pernah bersentuhan dengan hal-hal seperti itu, kata-kata wangsit yang mendasari perjdohan itu sangat konyol dan aneh.

"Pasti berpikir itu konyol kan?" tanya Agnes, Maura mau tidak mau mengangguk.

"Jangan heran. Papa dan Mama masih sangat percaya hal-hal seperti itu, dan Mas Angga juga," kekehnya.

"Kamu?"

"Setengah percaya setengah tidak," ujar Agnes dengan tawa meledak.

"Kupikir kamu idem," sungutnya.

"Untuk beberapa hal aku percaya, Maura."

Maura menghembuskan nafas berat. Mungkin karena seluruh keluarganya begitu, pikirnya.

Saat itu Angga datang dari kantor, Maura yang melihatnya datang langsung merapikan pakaian dan rambutnya. "Kamu, mau dirapikan berapa kali pun Mas Angga pasti tidak akan melirik," ujarnya tertawa.

"Kita lihat saja nanti," sungut Maura. Ia memasang senyum pencetus diabetesnya begitu Angga melewati mereka.

"Sore Mas," senyumnya. Angga menoleh sebentar, tersenyum tipis pada Maura dan memandang Agnes dengan dahi berkerut.

"Dari mana Dik? Jam begini baru pulang," tanyanya.

"Ah, tadi mampir sebentar Mas di gallery Sapu Lidi," jawabnya. Mata Angga terlihat sedikit berbinar mendengar nama gallery itu disebut.

"Ada apa di sana?"

"Sedang ada pameran Mas, kebetulan beberapa teman Agnes ikut pameran di sana."

"Salah satunya idola Agnes, Mas," ujar Maura ember. Agnes menyikutnya dengan wajah memerah. Angga memperhatikan perubahan itu dan tersenyum.

"Ganteng?" tanyanya, lebih pada Maura yang senang luar biasa diajak bicara oleh laki-laki favoritnya.

"Ganteng Mas, tapi lebih ganteng Mas Angga," ujarnya malu-malu meremas ujung gaunnya perlahan. Angga tersenyum, berlalu setelah mengacak lembut rambut adiknya.

"Semoga sukses Dik. Dan tidak kecewa," sahutnya seraya berjalan menuju kamar.

Agnes lalu mengajak Maura ke kamarnya, seperti biasa kamar bernuansa biru langit dengan nuansa jingga di bagian utara itu membuat Maura merasa damai. Gadis itu melempar tubuhnya ke kasur dan menenggelamkan wajah di bantal. Suara Angga yang serak dan terdengar seksi terngiang-ngiang di telinganya.

Menggelengkan kepala berkali-kali ia tersenyum sendiri. Agnes ikut berbaring di sisinya setelah meletakkan tas dan membersihkan wajah. "Kumat gilanya," ujar Agnes terkikik.

Maura mengangkat wajah dari bantal, "Setelah sekian lama, akhirnya Mas Angga mengajakku bicara, Nes. Rasanya bahagia sekali," ia mengguncang lengan Agnes yang menatap foto Agung di ponselnya.

"Maura, untuk besok enaknya pakai baju apa ya?" tanyanya gundah. Maura melihat wajah sahabatnya yang terlihat bahagia itu.

"Maunya kamu?"

Agnes bangkit dan berjalan menuju lemari pakaiannya. Membuka lemari besar itu dan memilih beberapa pakaian. Meletakannya di kasur, Maura melotot melihat semua pakaian itu.

"Yakin Nes?" tanyanya, karena semua pakaian yang dikeluarkan Agnes modelnya sama, akan memperlihatkan sebagian besar lekuk tubuhnya yang indah itu.

"Yakin kamu mau dilukis dengan pakaian seperti itu?" tanya Maura, sedikit merasa aneh dan ada khawatirnya juga.

"Kenapa Mau? Aneh ya?" tanyanya sedikit malu. Dalam hati, Agnes memang ingin membuat Agung terkesan dan terpesona pada tubuh indahnya. Ia ingin Agung menyadari bahwa Agnes bisa melakukan apa saja untuk merebut hati pemuda tampan pendiam itu.

"Jangan merendahkan diri sendiri begitu," akhirnya kata-kata itu tercetus dari bibir Maura. "Nanti Agungnya malah berpikir kamu mau menggoda dia lho," nasehat Maura. "Kan tahu sendiri, dia tidak suka gadis yang terlalu mengumbar tubuhnya. Kalau perlu, kamu dibungkus Nes," candanya.

Agnes menggerutu, "Dih, kamu pikir aku lemper?" sungutnya. Mereka tertawa bersama.

Agung memang tidak seperti teman-teman seninya yang lain, dia berbeda. Agung tidak pernah tertarik pada wanita yang berpenampilan seksi, karena itu selama ini Agnes tidak pernah memakai koleksi baju seksinya itu untuk ke kampus. Karena ia tahu, Agung tak begitu menyukainya.

"Lalu baju apa Maura?" memasukkan kembali baju-baju kekurangan bahan itu ke lemari, Agnes terlihat frustrasi. Memandang Maura dengan penuh harap.

"Hum, dilukis itu kesempatan langka, Nes. Kita harus mencari pakaian yang bisa membuatmu terlihat cantik dan indah di saat bersamaan. Dengan karakter kuat dan sedikit misterius," ia terlihat seperti memikirkan sesuatu.

"Apa? Kamu jangan berpikir yang aneh-aneh," ketus Agnes, tapi keduanya tertawa beberapa saat kemudian.

"Hm, kamu punya pakaian jawa tradisional?"

"Untuk apa?" tanya Agnes heran.

"Punya?" tanya Maura lagi. Agnes terlihat berpikir sejenak.

"Sebentar, aku cek dulu. Sepertinya pernah punya waktu resepsi pernikahan sepupu," ujarnya, mulai mengaduk-aduk lemarinya sekali lagi.

"Hanya ada ini," keluh Agnes setelah mengeluarkan hampir separuh isi lemarinya. Mengangkat pakaian lurik yang ia temukan dalam lemari. Mata Maura bersinar melihat baju berwarna gelap itu.

"Nah, itu bagus," ujarnya, bangkit dari tempat tidur dan meraih baju yang dipandang Agnes dengan rasa ngeri.

"Ini?" tanyanya tak yakin.

"Iya, ini," sahut Maura, mengukur baju itu pada tubuh Agnes. "Tanpa terlihat sengaja memamerkan, kamu akan terlihat seksi dan sekaligus indah dalam baju ini. Terkesan lembut dan manis," lanjutnya.

Agnes masih tidak yakin, perlahan meraih baju itu dari tangan Maura dan memakainya. Lama mematut dirinya di cermin, berputar dan tersenyum sendiri.

"Sini," Maura memutar tubuh Agnes menghadapnya. "Kita harus menambahkan beberapa aksesoris di sini, dan juga menata rambutmu," ujarnya.

Tangannya yang cekatan mulai mencoba beberapa hiasan yang ia temukan di kamar Agnes. Memasangnya di baju lurik Agnes. "Rambutnya dicepol atau dikuncir ya?" ia berpikir sejenak sebelum kemudian mengurai rambut panjang Agnes. Membentuknya dalam sanggul modern yang membuat Agnes terlihat jauh lebih cantik.

"Nah, selesai," akhirnya ia memutar Agnes agar bisa melihat dirinya dalam kaca. Gadis itu terpaku saat menatap dirinya sendiri dalam cermin. Tersenyum dan mengusap wajahnya sendiri.

*Bersambung*

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel