Bab 4 Penawaran Agnes
Bab 4 Penawaran Agnes
Tiga puluh juta? Untuk sebuah lukisan bagi pelukis kecil seperti dirinya, itu jumlah yang sangat fantastis. Agung hampir tak bisa menahan ledakan kebahagiaan di dalam dadanya. Rasa itu membludak dalam dada Agung, karyanya diapresiasi begitu besar oleh seseorang.
"Jadi, kamu merelakan lukisan ini saya beli?" tanya Pak Budi. Agung mengangguk dengan sangat antusias.
"Saya justru senang sekali, Pak," ujarnya sopan. "Rasanya seperti mimpi, karya saya dihargai begitu tinggi oleh Bapak," lanjutnya. Budi Kartomo tertawa renyah.
"Jangan memandang rendah karyamu sendiri. Lukisan-lukisanmu, harus Bapak akui sangat bagus. Mungkin bagi sebagian orang tidak begitu dimengerti, tapi sekali seseorang bisa menyelami makna lukisanmu mereka tidak akan bisa keluar dari pesonanya," Pak Budi menepuk pundak Agung, penuh penghargaan.
"Bapak ke dalam dulu," ujarnya kemudian, Agung mengangguk dan tersenyum sopan.
Agung nyaris bersorak begitu Budi Kartomo hilang dari pandangannya, mengucapkan ‘yes’ berkali-kali dalam hati. Tidak hanya bahagia, tapi juga rasa bangga memenuhi dadanya. Memasuki tahun ketiga kuliah, baru kali ini ada yang begitu menghargai karya, rasanya ia tak menyesal memilih pelukis sebagai cita-citanya sejak kecil.
Biasanya bersama teman-teman satu jurusan, Agung hanya menitipkan lukisan-lukisan mereka di beberapa kafe. Syukur-syukur ada yang tertarik dan bersedia membelinya, tapi sejauh ini pembeli hanya menawar dengan harga sangat kecil. Jumlah satu juta saja sudah sangat besar bagi mereka.
"Wow, Agung. Kau hebat, Pak Budi sendiri yang membeli lukisanmu. Beliau tidak hanya seorang seniman dan pelukis, tapi beliau juga kurator seni. Dipuji Pak Budi adalah anugerah, Agung," seorang teman sesama peserta pameran memeluk Agung penuh rasa bangga.
Beberapa teman yang lain bergabung dengan keriangan itu. "Lukisan kalian bagaimana?" tanya Agung, agak merasa tidak enak karena hanya lukisannya yang menjadi perhatian.
"Ah, tenang. Hampir semua lukisan kita mendapat perhatian dan pujian. Juga ada yang terjual. Ini baru hari pertama, besok dan lusa pasti akan ada lebih banyak pengunjung dan orang yang berbeda dengan pemahaman dan selera yang berbeda pula," ujar mereka optimis. Kelompok kecil pemuda berpenampilan unik itu melakukan tos dan saling tertawa.
Di saat bersamaan, mata Agung menemukan Agnes yang datang bersama sahabatnya Maura. Keduanya melambai dengan heboh pada Agung yang menyambut dengan tawa yang sama riangnya. Agnes bahkan memberikan pelukan singkat pada Agung, sebagai ucapan selamat atas pameran pertamanya.
"Selamat ya, aku harap banyak yang menyukai lukisanmu," ujar Agnes dengan wajah sedikit malu. Ia baru menyadari semua teman Agung memperhatikannya saat ia memeluk pemuda itu. Wajahnya semakin memerah ketika Maura bahkan menggodanya.
"Duh, yang bahagia idolanya dapat perhatian," senyum Maura.
"Maura," lirih Agnes, tangannya bergerak mencubit Maura antara malu dan bersikap manja.
Agnes yang sangat menyukai Agung sejak tahun pertama mereka, menatap raut bahagia laki-laki idamannya itu tanpa bisa berhenti tersenyum.
"Nes," Maura menyikutnya, membuat Agnes mengerucutkan bibir dan mengalihkan matanya dari Agung.
"Apa?" tanyanya setengah jengkel.
"Itu lho, matanya jangan melotot. Sudah tiap hari juga bertemu di kelas," sungut Maura pura-pura kesal, membuat Agnes tersenyum malu.
"Lukisanmu yang mana saja?" tanya Agnes pada Agung, teman-temannya yang lain mengerti dan meninggalkan keduanya sendirian di sana. Hanya ada beberapa pengunjung yang masih setia memperhatikan lukisan demi lukisan.
"Yang pertama ini," Agung menunjuk lukisan ‘Pelangi Hampa’-nya, Agnes cukup lama memperhatikan lukisan yang membuat hatinya bergetar dalam nada yang berbeda. Dalam hati bertanya-tanya, apa yang terjadi dengan kehidupan Agung di luar kampus sehingga ia membuat lukisan yang terkesan sangat sedih namun memiliki semangat untuk bisa bertahan.
Perhatian Agnes terpecah ketika Agung mengajaknya berkeliling gallery, melihat satu per satu lukisan yang sedang dipamerkan. "Lukisanmu ada berapa yang dipamerkan?" tanya Agnes.
"Delapan," jawab Agung.
"Wow, ternyata kamu produktif juga. Itu tidak termasuk yang sering kalian pamerkan di kafe-kafe sekitar kampus kan?" tanyanya.
"Ya, yang sudah dipajang di sana tidak dibawa. Aku hanya membawa semata yang kulukis dalam enam bulan terakhir," jawabnya.
Agnes menatapnya dengan mata penuh kekaguman. Ingin, sangat ingin rasanya ia memeluknya dan mengucapkan kata-kata manis untuk menunjukkan bahwa ia ikut bahagia atas keberhasilannya.
"Aku beruntung, bisa bertemu Pak Budi Nes. Beliau sangat baik, tidak banyak pemilik gallery yang mau menerima pelukis pemula dan masih kuliah seperti aku," sahutnya.
"Aku turut senang," ujar Agnes, tanpa sadar menyentuh lengan Agung yang sedikit terkejut. Keduanya membuat jarak di antara mereka dengan wajah sama-sama panas.
Senyum canggung menemani mereka sesaat sebelum melanjutkan langkah kembali ke lukisan pertama Agung. Agnes berkali-kali melirik Agung yang terlihat santai di sisinya, hanya saja ia tak pernah mengetahui bagaimana cepatnya jantung Agung berdetak saat itu.
"Jangan terlalu sering melirik, Nes. Nanti jatuh cinta lho," gurau Agung. Pipi Agnes memerah perlahan.
"Kamu nya saja yang tidak mengerti," jawabnya pelan, melirik Agung yang sekarang jadi salah tingkah sendiri.
‘Aku bukan tidak mengerti, Agnes. Tapi kamu terlalu jauh dari jangkauanku. Aku bukan laki-laki yang pantas kamu’ Agung membatin.
Agung menghentikan langkah, membuat Agnes heran. "Ada apa, Gung?"
"Tidak apa-apa," jawab Agung tersenyum.
"Apa, katakan ayo," ujar Agnes dengan nada manja, memegang lengan Agung. Pemuda itu menggeleng dan mengulum senyum.
"Pasti ada sesuatu, buktinya kamu tersenyum," Agnes mengeratkan genggamannya di lengan Agung.
"Kamu itu punya segalanya dan banyak yang menyukaimu," ujar Agung.
"Tapi aku kan sukanya sama kamu," rajuknya.
"Gadis premium seperti kamu berhak dapat yang lebih baik," ujar Agung.
"Premium? Kamu pikir aku bahan bakar?" ujar Agnes dengan nada ketus, tapi Agung tahu ia bercanda.
"Premium dalam arti kamu terlalu berkualitas untuk Agung," jawab Agung tertawa.
"Pasti soal bisnis keluargaku lagi kan?" keluh Agnes. "Itu usaha keluarga, Gung. Punya Papa dan Mas Angga. Aplikasi Cukar hanya aplikasi menengah yang baru berkembang. Oh iya, lukisan kamu bisa dijual di sana," tiba-tiba ia mendapat ide untuk membuat lukisan Agung lebih dikenal.
"Laku ya lukisanku di sana?" tanya Agung ragu.
"Kita tidak akan tahu kalau tidak mencoba, Agung," Agnes gemas sendiri. "Sini, mana ponsel kamu. Aku install aplikasinya ya," ia meraih ponsel yang diulurkan Agung dengan ragu-ragu.
Berkutat sebentar dengan ponsel pintar itu dan kemudian menarik Agung lebih dekat padanya. "Ini, kamu tinggal foto lukisannya, terus upload fotonya di sini," menjelaskan dengan perlahan.
"Ah, ayo kita foto salah satu lukisanmu," ujarnya bersemangat. Menarik lengan Agung kembali ke lukisan ‘Pelangi Hampa’. "Lukisan ini sangat menarik, kita coba dengan lukisan ini saja ya," ujarnya. Mengambil foto lukisan dari beberapa angle.
"Tapi, Nes…," Agung berusaha memberitahu kalau lukisan itu sudah terjual. Tapi Agnes terlalu bersemangat.
"Ayo, ambil foto yang lain juga," ia menyeret Agung kembali ke dalam, memotret beberapa lukisan.
"Nah, upload di sini, kemudian beri beberapa keterangan singkat dan kirim ke gallery," ia mencontohkan dengan beberapa lukisan Agung yang lain.
"Lukisan yang ini tidak usah di kirim ke aplikasi ya," ujarnya menatap lukisan ‘Pelangi Hampa’. "Lukisan ini sangat bagus. Agung, aku ingin lukisan ini. Kamu menjualnya?" tanyanya perlahan.
Belum sempat menjawab pertanyaan itu, Maura dan teman-teman mereka yang lain kembali berkumpul di tempat yang sama. Maura yang melihat mata Agnes berbinar-binar menatap wajah Agung, menyikutnya dengan wajah menggoda.
"Senang, bisa berduaan," godanya, mendorong lembut bahu Agnes dengan bahunya. Pipi gadis itu merona.
"Agung makin ke sini makin tampan ya," ujar Maura lagi, melirik Agnes yang wajahnya makin panas dan merah. Dengan ekspresi malu-malu ia melirik Agung yang tengah berbincang riang dengan teman-temannya.
"Agung," panggilnya. Agung menoleh.
"Ya? Ada apa Nes?" tanyanya.
"Itu, lukisannya bolehkan aku yang membelinya?"
Sejenak Agung menatap wajah cantik di hadapannya. "Bukan tidak boleh, Agnes. Tapi lukisan itu sudah dibeli Pak Budi, pemilik gallery ini," jawab Agung agak tidak enak hati. "Maaf, Nes," sambungnya.
"Beliau membeli dengan harga berapa?" tanya Agnes.
"Tiga puluh juta," sahut Agung, untuk sesaat Agnes terlihat kesal.
"Berikan padaku, aku akan membelinya dengan harga 40 juta," ujarnya, harga dirinya yang berasal dari keluarga kaya entah mengapa sedikit tersentil ketika mengetahui harga lukisan Agung.
Kening Agung berkerut mendengar nada arogan yang sempat terdengar dari suara Agnes. "Maaf, Nes. Tapi aku sudah berjanji untuk menjualnya pada Pak Budi. Tidak baik menyalahi janji," ujar Agung.
Agnes terlihat sedikit kecewa, tapi tetap menebar senyum. "Kok minta maaf? Aku mengerti kok. Pak Budi orang besar di dunia seni, lukisanmu dipuji dan dibeli beliau itu adalah suatu anugerah. Aku ikut senang, Agung."
"Terima kasih, Nes. Oh begini saja. Bagaimana kalau besok aku membuat lukisan dengan kamu modelnya?" tawar Agung. Mata Agnes berbinar seketika.
"Sungguh?" katanya girang. Agung mengangguk, sedikit terkejut ketika Agnes hampir memeluknya.
"Maaf," sahut Agnes, melirik teman-teman mereka yang tertawa melihat situasi canggung keduanya. "Aku terlalu gembira."
"Tidak apa-apa. Besok datang lagi ke sini, aku lukis kamu di sini ya," ujar Agung.
"Besok?" tanya Agnes, terdengar agak tidak sabar.
"Ya, besok. Datanglah setelah jam kuliahmu selesai."
Mereka berpisah, Agung menatap punggung kedua gadis itu dengan perasaan yang berbeda.
