Bab 3 Lukisan Tiga Puluh Juta
Bab 3 Lukisan Tiga Puluh Juta
Keesokan harinya, sesuai janjinya pada pemilik Galeri Sapu Lidi, Agung membawa beberapa lukisannya ke galeri untuk diikutkan dalam pameran. Disambut Budi Kartomo dengan senyum lebar yang menenangkan. Laki-laki paruh baya itu membantu Agung membawa beberapa lukisannya. Menatanya satu per satu di ruang pameran.
"Ah, ini di luar ekspektasi, Gung. Bagus," ujarnya ketika anak buahnya menggantung beberapa lukisan Agung.
"Yang ini," ia memegang lukisan Agung yang berjudul ‘Pelangi Hampa’ "Gantungkan di bagian sini," membawa lukisan itu ke salah satu pojok terdepan. Tempat di mana biasanya lukisan unggulan dipamerkan.
"Apa yang kau pikirkan saat melukis ini?" tanya Budi Kartomo setelah lukisan itu selesai dipajang. "Ini bukan tentang keluargamu, kan?" tanyanya lagi.
Agung tersenyum menggeleng. "Kalau Bapak bicara tentang keluarga inti, saya menjawabnya tidak. Tapi, ini terkait dengan keluarga besar saya. Sebagian dari kami ada yang terlalu mementingkan ego mereka untuk sebuah keinginan. Yang sebagian merenggut rasa ingin yang lain," jawab Agung.
Tangannya membelai pinggiran lukisan, di mana nama dan tanda tangannya ia goreskan. Lukisan ini, mengingatkannya pada masa kecil dia dan para sepupunya. Bintang dan Rina, keduanyalah yang memberi ide pada Agung untuk membuat lukisan ini.
Air mata Rina yang secara diam-diam sering ia lihat dan menikam jantungnya dengan rasa bersalah. Sepupunya yang tertekan dengan ego sang ayah. Keluarga yang harusnya menjadi pelindung baginya justru menjadi momok yang membuatnya kehilangan rasa penghargaan terhadap orang tua. Keluarga yang tadinya ia pikir akan bahagia justru terpecah dengan perginya Bintang.
"Baiklah, besok datanglah lebih cepat, sebaiknya kamu sudah di sini sebelum pameran di buka," sahut Budi. Agung pun mengangguk dan pamit.
Mengendarai motor lamanya, Agung menyusuri jalanan menuju Yogya. Bersiul sepanjang perjalanan merupakan kesenangan tersendiri baginya. Tidak menyadari mobil berwarna merah darah mengiringinya sejak keluar dari galeri. Siulan Agung terhenti ketika ponselnya berdering, masih cukup nyaring di antara siur angin laut Parangtritis yang menjangkau dari kejauhan.
Agung menepikan kendaraannya dan memeriksa ponsel, Agnes, membatin sendiri. Berniat menelepon balik, mobil merah darahnya berhenti di sisi motor jadul Agung. Mengenali kendaraan itu, Agung mengumbar senyum bahkan sebelum pemilik kendaraan keluar dari mobilnya.
"Hai," senyum Agnes merekah begitu matanya bertemu dengan mata Agung. "Kamu itu, dipanggil tidak dengar," menggerutu dengan bibir menjalin senyum, gadis itu berdiri di sisi Agung.
"Sendiri?" tanya Agung, karena biasanya Agnes selalu bersama perangkonya yang bernama Maura, sahabat dari masa kecilnya yang tak bisa melepaskan diri barang sejenak dari Agnes.
Tertawa kecil, Agnes menggeleng. "Tadi masih ada urusan sedikit di kampus, jadi Maura pulang dulu. Kamu, ada apa tadi ke Sapu Lidi?"
"Oh, itu. Pak Budi Kartomo memintaku untuk membawa lukisan buat pameran," senyum Agung.
"Lukisanmu?" tanya Agnes dengan mata berbinar. Agung mengangguk.
"Wow, kapan pamerannya dibuka. Aku pasti datang."
"Besok, sebelum jam makan siang. Datang saja langsung," ujar Agung. "Kalo bisa bawa teman-teman yang lain juga," sambungnya.
"Siapa saja yang ikut?"
"Cukup banyak, ada beberapa teman kampus kita juga tapi sebagian juga dari komunitas," jawabnya. Agnes mengangguk.
"Tidak enak berhenti di pinggir jalan begini. Nyambung di mana yuk," gadis itu memberikan penawaran yang sebenarnya ingin ditolak Agung. Ia sedang ingin buru-buru pulang karena ingat Rina yang sedari kemarin terlihat sangat tertekan. Tapi, mata penuh harapan Agnes membuatnya tak berdaya.
"Ya sudah, terserah kamu mau di mana, aku ikut," jawabnya dengan suara renyah yang membuat Agnes seketika sumringah.
"Ikutin aja ya," ujarnya lembut dan kembali duduk di belakang stir. Agung menunggu kendaraan Agnes melaju lebih dulu.
***
Gallery Sapu Lidi
Halaman gallery mulai didatangi beberapa pengunjung yang semakin siang semakin banyak. Acara pembukaan yang sebentar lagi berlangsung membuat dada Agung sedikit berdebar, ini pameran resmi pertamanya. Sebelum-sebelumnya, Agung dan beberapa teman kampusnya hanya melakukan pameran kecil-kecilan di kampus. Memajang lukisan-lukisan mereka di sepanjang koridor jurusan menuju perpustakaan jurusan. Dan di beberapa koridor lain yang mereka tahu banyak dilewati mahasiswa lain.
Atau memajangnya di kantin jurusan dan kafe-kafe kecil sekitar kampus. Dengan cara seperti itu, mereka bisa menjual lukisan mereka satu per satu dengan harga sekedarnya. Tapi, cukup memuaskan. Karena itu, pameran ini membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Adrenalinnya seperti berpacu dan ia sangat menantikan reaksi para pengunjung gallery.
"Woy, kamu keliatan tegang banget, kenapa?" tanya salah satu temannya yang sama-sama mengikuti pameran. Agung menyeringai.
"Pameran pertama aku, rasanya tidak karuan," kekeh Agung.
"Santai, Gung," salah satu seniornya yang memang sudah berkali-kali mengikuti pameran menepuk pundaknya. "Ini akan lebih seru daripada kita majang lukisan di event kampus atau event prodi lain," kekehnya. Beberapa teman mereka lainnya ikut tertawa.
"Ya, ini seru Gung. Dan nanti selain kurator resmi, pengunjung juga akan bertindak sebagai kurator untuk lukisan kita. Apa pun komentar mereka, nikmati saja. Manis, bagus, maupun kritik pedas itu adalah sisi yang paling kita nantikan. Karena di situ pada akhirnya kita mengerti, lukisan kita bernilai atau tidak."
Agung menghempaskan napas, mengusir rasa gugup yang sedari kemarin mengoyak dadanya. Pameran ini juga suatu pembuktian bagi Agung pada pamannya Wira Pramudya, lelaki yang selalu berpikir melukis bukanlah sesuatu yang bisa dijadikan profesi. Meskipun sudah mengundang kakak dari ayahnya itu untuk mencoba datang ke gallery, Agung tahu dia tidak akan datang. Que sera sera lah, pikirnya setengah kesal. Yang penting pameran pertamanya bisa membuat orang-orang mengenal lukisannya.
Sebagai penganut aliran surealis, Agung tahu tidak akan banyak orang yang mengerti dengan makna di balik lukisannya. Tapi, Agung berharap, kurator seni yang menurut pemilik gallery akan datang hari ini bisa membuat banyak orang mengerti lukisannya. Kurator yang sengaja didatangkan merupakan salah satu kurator terbaik. Dan itu yang membuat jantung Agung semakin berdebar.
"Rasanya lebih berdebar ketimbang nunggu jawaban saat menyatakan cinta," kekeh Agung.
"Seperti kamu pernah saja, Gung," ledek temannya, mereka tertawa membahak.
Budi Kartomo mendatangi gerombolan pelukis muda yang berkumpul dengan beragam gaya itu. "Kalian tidak ingin mendampingi pengunjung?" tanyanya. Serentak kelima pemuda itu bangkit dan mengikuti langkahnya menuju ruang pameran.
Pembukaan secara resmi dilakukan oleh Kepala Dinas Pariwisata, seorang wanita yang menurut Budi Kartomo juga seorang pelukis otodidak yang sangat menyukai lukisan surealis. Wanita itu terlihat berdiri di antara lukisan Agung dan lukisan lain yang Agung tahu milik Budi Kartomo. Pengguntingan pita dilakukan setelah banyak seremonial yang tidak tercatat dalam memori Agung.
Yang tercatat dalam memorinya hanya ketika para pengunjung menatap lukisan ‘Pelangi Hampa’ miliknya dengan pandangan kagum. Lukisan yang sejak awal memang sangat dipuji oleh pemilik gallery, yang kemudian dipajang di bagian paling depan ruang pameran, di mana semua orang pasti mengaksesnya.
Kurator yang mendampingi sang Kepala Dinas dan sejumlah tamu penting lainnya menjelaskan makna lukisan itu pada semua orang, yang turut terpesona. Mereka mengagumi garis lukisan yang sangat halus dan sarat makna.
"Ini pelukisnya," Budi Kartomo mendorong pundak Agung hingga hampir semua pengunjung bisa melihatnya. Wajahnya sedikit panas ketika semua mata menatapnya dengan wajah ingin tahu dan sebagian mengagumi.
"Masih sangat muda," komentar Kepala Dinas. "Lukisanmu indah, sarat makna, tapi mengapa terasa begitu sedih? Kau tidak bertutur tentang keluargamu dalam lukisan ini kan?" tanyanya lembut.
Agung melengak dan menggeleng pelan. "Hanya terinspirasi dari seorang teman, Bu," gumamnya dengan bibir mengorak senyum.
Di tengah perbincangan dengan rombongan kepala dinas dan beberapa pengunjung lain, mata Agung tak sengaja menemukan seraut wajah ayu yang sangat memikat. Mata sendunya bereaksi seperti magnet bagi Agung, seperti membetot semua rasa terpesonanya sehingga sejenak ia merasa hanya ada dirinya dan si wanita bermata sendu itu dalam ruang pameran. Kecantikannya sejenak mengalihkan dunia Agung, ia seperti melompat dan berpindah ke dimensi yang berbeda dan hanya mampu berdiri dengan terpesona di sisi lukisannya.
Agung ingin mengejarnya, setidaknya ingin mengetahui nama si ayu bermata sendu itu. Tetapi beberapa orang yang meriung di lukisannya mulai bertanya ini dan itu, mereka datang silih berganti membuat Agung kehilangan ruang gerak. Apalagi kemudian Budi Kartomo mendekati Agung dengan senyum selebar tampah.
"Lukisan ini sangat disukai semua orang. Sebagian besar pengunjung membicarakannya. Dan salah satu majalah seni, sangat tertarik untuk membedahnya dalam edisi terbaru mereka bulan depan," senyum merekah di bibir Agung mendengar kalimat panjang Budi Kartomo.
"Banyak yang berminat, beberapa tadi mengajukan penawaran. Tapi di atas semua itu, Gung, saya yang paling tidak ingin lukisan ini jatuh pada orang lain. Tiga puluh juta, Gung, untuk lukisan ini. Akan saya letakkan di ruang utama pameran harian. Bagaimana Agung?"
Tiga puluh juta? Untuk sebuah lukisan bagi pelukis kecil seperti dirinya, itu jumlah yang sangat fantastis. Agung hampir tak bisa menahan ledakan kebahagiaan di dalam dadanya.
*Bersambung*
