Bab 17 Bunga-Bunga
Bab 17 Bunga-Bunga
Di sisi lain, Agung yang pulang dengan pikiran melayang-layang karena ciuman singkat Agnes di pipinya bersenandung sepanjang jalan. Lupa akan jam malam Pakdenya. Bahkan masuk rumah pun masih bersenandung sembari mengusap-usap pelan pipi kirinya. Seolah-olah ingin memungut sisa-sisa kecupan Agnes dari sana. Keberuntungan Agung tengah bagus malam ini, tidak ada Wira Pramudya di kaki tangga yang bisa mengganggu malam bahagianya.
Melempar diri ke tempat tidur setelah melepas sepatu, Agung masih memegangi pipinya. Menyesal karena tadi tak membalasnya dengan secercah kecupan juga. Terkejut dengan keberanian Agnes yang memulai lebih dulu, tapi Agung menikmatinya.
Menyeringai sendiri ketika mengingat saat bibir Agnes singgah, rasanya seperti bunga-bunga mendadak tumbuh di kepala dan dadanya. Berkali-kali ia menghempas nafas agar sesak karena debar jantungnya yang berpacu lebih cepat. "Ah, tidak menyesal datang terlambat," gumamnya konyol.
Dan sebuah ide konyol singgah di kepala Agung. Bangkit dari tempat tidurnya, ia meraih buku kumpulan gambar acakadulnya. Beberapa lama mencoret-coret di sana, tersenyum sendiri dengan muka panas saat melihat hasil coretannya. Menggaruk-garuk kepala sendiri ketika menyadari yang ia gambar adalah dirinya saat menerima kecupan singkat Agnes.
"Maaf ya, tadi aku terlalu malu membalasnya. Kubalas di sini saja, boleh?" ciuman itu disambut suara nyaring cicak di dinding yang sepertinya tertawa melihat Agung berceloteh pada bukunya. Apalagi ketika kemudian pemuda yang setengah sinting karena cinta itu mendaratkan ciuman pada Agnes yang baru saja ia gambar dalam bukunya. Semua cicak otomatis melarikan diri dari dinding kamar Agung, takut tiba-tiba dicium.
Sayangnya mereka lari dengan suara berisik, saling bernyanyi sebelum bersembunyi di antara sela langit-langit kamar. Sedikit mengganggu konsentrasi Agung yang tengah bergumam tak jelas pada bukunya. Pemuda itu mendelik ke dinding yang sekarang kosong. Sementara para cicak mengintip kegilaan Agung berikutnya yang membawa bukunya berdansa dengan senandung asal bunyi dari bibirnya yang tak berhenti tersenyum.
Kegilaan yang akhirnya terhenti ketika ia terpuruk di kasur dengan mata super berat. Jika Agnes berhasil menahan kantuknya dengan rasa bahagia, kebahagiaan Agung ternyata belum seampuh itu untuk membuatnya terjaga sampai pagi. Beruntung tidak mendengkur, sehingga para cicak kembali berkeliaran di dinding dengan rasa aman untuk berburu nyamuk.
Bangun di minggu pagi, ralat, hampir jam sebelas ia baru bisa membuka mata, setelah pintu kamarnya di gedor Wira Pramudya. Agung yang masih mengempit bantal berjalan dengan kaki terseret menuju pintu kamar. Kantuknya sontak hilang ketika menemukan wajah kakak ayahnya itu menyorot seperti lampu stadion di ambang pintu.
"Baru bangun, Gung?" tegur Wira melirik pedas bantal di ketiak Agung. Menyeringai sambil menggaruk kepala, Agung mengangguk dengan raut merana dan menyesal. Harusnya ia ke kamar mandi dulu sebelum membuka pintu kamar.
"Iya, Pak De. Semalam keasyikan melukis," seringainya berusaha menutupi kebohongan yang hakiki itu. Wira mendelik tak percaya, tapi karena sedang tidak ingin berdebat pria itu berlalu dari kamar keponakannya.
"Jangan melanggar jam malam lagi," cetus Wira sebelum melangkah menjauh. Tidak lagi mendengar ucapan "Ya Pak De," dari Agung.
Menutup pintu dengan sangat pelan, Agung kembali ke tempat tidur. Berguling sekali sebelum kemudian bangkit dan menatap diri di depan cermin. Rambut kusut, wajah kusut tapi seringainya tidak kusut saat menatap pipinya dan raut malu-malu Agnes mampir di memori paginya.
Sedikit lebih mendekatkan diri pada cermin, Agung memperhatikan dengan seksama pipinya yang semalam dikecup. Otak bangun tidur Agung berpikir di sana akan tertinggal jejak bibir Agnes, seperti yang sering terjadi di film-film atau novel romantis. Tapi tidak ada bekas apa-apa di sana, hanya benaknya saja yang masih merekam jejaknya.
Agung menatap rambutnya yang kusut, butuh keramas, pikirnya. Mengacak-acak rambutnya yang mulai gondrong itu membuatnya semakin mekar seperti surai singa jantan yang sedang marah. ‘Untung tidak coklat,’ kekehnya dalam hati.
Teringat jadwal keramasnya, Agung jadi teringat lagi ciuman pertamanya. "Tidak boleh hilang," gumamnya sendiri. Lalu sibuk mencari sesuatu agar bekas ciuman yang tidak ada bekas apapun itu agar tidak luntur saat ia mencuci muka dan rambut. Menoleh ke sana kemari dalam kamarnya yang tidak ada apapun itu kecuali kertas dan buku penuh gambar. Kemudian menemukan sebungkus tisu yang dia sendiri akhirnya heran bagaimana benda itu ada di kamarnya karena Agung tak pernah menggunakan tisu.
"Ah, terserah punya siapa. Pakai saja," lagi-lagi menggerutu sendiri. Kemudian menutup bekas ciuman Agnes itu dengan selembar tisu yang ia rekat dengan isolasi. Tersenyum dengan mengacungkan jempol pada dirinya sendiri melihat hasil karya cerdasnya itu.
***
Di rumah Agnes
Maura datang paginya dengan wajah sumringah, karena pastinya Angga ada di rumah di penghujung minggu seperti ini. Harapan gadis itu terkabul saat ia bertemu Angga di tangga menuju halaman. Memamerkan senyum pencetus diabetesnya, ia menegur Angga dengan super ramah. Sayangnya pemuda itu menggunakan earphone sehingga ia hanya membalas senyum Maura tanpa menjawab sepatah katapun ucapan selamat paginya.
Dengan bibir maju beberapa senti, Maura berderap menuju kamar Agnes setelah menyalami orang tua sahabatnya itu. Sebelum sosok di teras rumah menghilang dari jarak pandangnya, Maura menoleh sekali lagi pada Angga yang masih melakukan peregangan di sana. Dadanya berdenyut-denyut seperti kening yang baru saja terbentur sisi meja, perih karena ucapan ‘selamat paginya’ terabaikan.
"Mauraaa!" jeritan melengking Agnes memecah pagi, membuat sang Mama menggeleng sambil mengurut dada. Lupa dulu saat hamil Agnes mengidam apa sampai anak gadisnya itu bisa memiliki kelakuan ajaib begitu. Lebih mengurut dada lagi saat kedua gadis itu melonjak-lonjak seperti bocah mendapat hadiah sebungkus permen, saling berpegangan tangan dan melompat.
"Nes, kalau kalian menggelinding ke bawah tangga, Mama tertawa ya," tegurnya sebelum kepalanya lebih pusing dengan teriakan mereka.
Keduanya berhenti melompat-lompat, mengerling pada Mama Agnes yang menggeleng-geleng tak habis pikir di kaki tangga. Mengikik pelan sebelum kemudian masuk ke kamar Agnes. Keduanya melempar tubuh ke tempat tidur dengan tawa riang, layaknya bocah yang tengah bersuka.
"Jadi?" Maura tengkurap di atas boneka beruang super besar Agnes, menatap wajah riang sahabatnya.
"Aku menciumnya," bisik Agnes dengan pipi merah.
"Ha? Yang benar saja?" Maura meringis menatap wajah sumringah Agnes.
"Pipi Maura, pipiii," sungut Agnes melihat wajah heran plus mengerikan Maura.
"Terus? Agungnya?"
"Dia tersenyum dan langsung pulang setelah itu," jawab Agnes. "Kuharap dia tahu kalau aku mencintainya," harap Agnes.
Maura menggeleng kesal. "Semoga dia tidak berpikir kamu genit," sungutnya.
"Dia tidak menolak kok," Agnes membela diri dengan bibir meruncing.
"Ya jelas tidak menolak, kamu kan mencium dia tiba-tiba. Pasti terkejutlah," ujar Maura kejam, membuatnya menerima lemparan beberapa boneka sekaligus.
"Lalu, artinya kalian sekarang pacaran?" tanya Maura, dengan nada lebih kejam di telinga Agnes. Mau tidak mau kalimat itu menskakmat detak kebahagiaan yang tengah bertalu-talu di dada Agnes.
Mereka tidak punya kesepakatan apapun dalam hubungan ini. Tidak tercetus satu kata pun tentang cinta atau pacar. Bahkan sesaat Agnes ragu apakah huruf P dari kata pacar sudah muncul di antara dia dan Agung.
"Belum," jawab Agnes setengah kelu. "Kurasa aku tak bisa Maura secepat itu memintanya untuk pacaran," lanjutnya antara malu dan gundah.
"Padahal sejak tahun pertama kalian sangat dekat," ujar Maura.
"Tapi ini perkembangan bagus," ujar Agnes menghibur diri.
"Tentu saja, lagi pula kalau menurutku Agung juga menyukaimu. Dia selama ini tidak pernah dekat dengan gadis manapun kecuali kamu," sambung Maura. Membuat rona merah jambu kembali mengambil kuasa atas pipi Agnes.
"Nes," sepertinya sekarang giliran Maura untuk mencurahkan keresahannya. Agnes memandang sahabatnya dengan mata bertanya.
"Mas mu," sungutnya.
"Mas Angga? Kenapa?"
"Masa kutegur diam saja," keluh Maura dengan wajah super merana. Agnes tidak bisa menahan tawanya. "Padahal dia tersenyum saat aku tersenyum padanya," sambung Maura.
"Memangnya kamu bertemu Mas sebelum ke sini?" tanya Agnes.
"Iya, dia sedang pemanasan sebelum jogging di teras."
"Oh, berarti sedang mendengarkan musik. Biasanya begitu," tebak Agnes.
Bibir Maura tersenyum mendengar tebakan itu, karena itu berarti bukan karena Angga tidak mau menyahuti tegurannya bukan? Tapi semata karena memang Angga tidak mendengarnya. Hati Maura bersorak.
*Bersambung*
