Bab 18 Bekas Bibirnya?
Bab 18 Bekas Bibirnya?
Merasa puas dengan karya maha agungnya, Agung mulai kehausan. Sedari membuka mata ia belum membasahi kerongkongannya dengan setetes air pun. ‘Bahagia ternyata bisa menghilangkan haus,’ pikir Agung sembari keluar dari kamar untuk mengambil segelas air di dapur.
Tak sengaja berpapasan dengan Rina yang baru mencapai puncak tangga. "Itu, pipimu kenapa?" tanyanya dengan lagak seorang kakak pada adiknya yang ketahuan melakukan hal-hal aneh, ya semacam menempel tisu di pipi seperti Agung. Bibirnya mengukir senyum iseng.
"Tidak apa-apa," elak Agung, berusaha menghindar dan ingin buru-buru turun. Tapi Rina sedang tidak ada pekerjaan dan mengusili Agung adalah kebahagiaan tersendiri di minggu menyebalkan seperti ini. Minggu yang seperti biasa selalu ia lewatkan dengan perdebatan dengan ayahnya. Ia menghalangi langkah Agung untuk turun.
"Tidak apa-apa, terus mengapa harus ditutup seperti itu? Hei, jangan-jangan itu bekas cakaran ya?" godanya. Paras Agung mulai membayang rona merah.
"Cakaran? Kamu pikir aku mainnya sama kucing?" gerutu Agung mangkel.
"Lha? Terus itu kenapa?" iseng, tangannya berusaha merenggut tisu jimat Agung. Pemuda itu menghindar dengan lihai.
"Jangan dilepas!" sergahnya dengan mata melebar, Rina terkekeh melihat reaksinya. Rasa penasarannya makin tebal. Agung menyingkir makin merapat ke pegangan tangga. Tapi sepupunya itu tak mau kalah. Ia turun satu anak tangga dan merentangkan tangannya di sana, Agung menggeram antara kesal dan kehausan.
"Rin, aku mau minum," ujarnya dengan wajah sedikit memelas.
"Tapi katakan dulu itu kenapa?" tanyanya lagi. "Jangan-jangan bekas tamparan? Ayo kamu melakukan apa semalam?" ledeknya.
"Bukan," sungut Agung.
"Kalau bukan, lalu kenapa?"
"Harus ya kamu tahu?"
"Harus, demi segelas minum kan?"
Menelan salivanya jengkel, akhirnya Agung terpaksa mengaku. "Iya, ini bekas bibir," sahutnya tanpa menatap mata Rina terbelalak sebelum kemudian meledak tertawa.
"Bibir? Bibir siapa? Sapi?" ledek Rina, Agung panas mendengarnya. Berdecak kesal ia mengetuk dahi mulus Rina dengan jari telunjuknya yang runcing.
"Sapi? Memangnya kamu yang hanya ikhlas dicium sapi? Ini bekas bibir seorang gadis," ujar Agung dengan gaya angkuhnya. Rina memegang perutnya tertawa.
"Hahaha, memangnya ada ya yang mau menciummu? Jarang mandi begitu," kekehnya.
"Ya, pasti ada. Bukan kamu lho, yang selalu memeluk guling sambil tersedu-sedu di pojok kamar," rasanya puas sekali Agung melontarkan kalimat ejekan balasan itu. Rina mendengus dan berlalu ke kamar dengan menghentakkan kakinya. Agung tertawa menuruni tangga, tak lagi mendengar omelan sepupunya.
Setelah mengambil segelas penuh dan minum sepuasnya, Agung kembali ke kamar. Masuk ke kamar mandi dan menatap lagi si pipi yang sekarang berhias tisu itu. Mengambil pencuci muka dan mengoleskan busanya dengan sangat hati-hati agar si tisu pelindung tak tersentuh. Menggunakan satu jari Agung mengoleskan busa ke pipi kirinya dan menggunakan handuk basah untuk membasuh busanya.
Tersenyum puas ketika wajahnya bersih dan si tisu masih kering dan damai di pipinya. Tapi senyumnya mendadak lenyap ketika menatap surai singa di kepalanya. Rambutnya jejingkrakan dan tampak mengerikan. Ia benar-benar tak bisa melewatkan keramas pagi ini. Dan demi bekas ciumannya tak terhapus air, Agung akhirnya keramas di wastafel. Berhati-hati agar airnya tak setetespun mengaliri pipi.
Mengeringkan rambut dengan meminjam hairdryer Rina, gadis itu terbahak-bahak melihat Agung muncul dengan kepala terbungkus handuk di kamarnya. Memelas meminjam hairdryer demi bekas ciuman tak tersentuh air.
"Gung," kekeh Rina, Agung mengambil hairdryer dari tangan Rina.
"Itu mau kamu bungkus sampai kapan?" herannya, geleng-geleng kepala melihat kelakuan ajaib sepupunya.
"Kenapa?" tanya Agung heran.
"Mm, aku khawatir kamu bungkus begitu nanti malah tumbuh jerawat lho," tawanya. Agung mengembalikan hairdryer setelah yakin rambutnya kering.
"Tumbuh jerawat?" tanya Agung dengan wajah ngeri.
"Iyalah! Dibungkus, tidak tersentuh air lama-lama berjamur lho Gung," puas sekali Rina melihat wajah khawatir Agung. Pemuda itu kembali ke kamarnya dengan handuk tersampir di bahu dan tangan menekap pipi kiri. Jerawat, jerawat, jerawat, kata itu berputar-putar seperti mantra di benak Agung.
Kembali ke kamar mandi dan menatap wajahnya di cermin. "Tidak boleh ada jerawat," tekadnya. Jadi balutannya harus dibuka sesekali agar tidak berjamur, begitu di pikiran Agung saat mandi sambil bersenandung. Ah, kalian sungguh tidak ingin mendengar dia bersenandung karena biasanya setiap kali ia mulai mengeluarkan suara barisan para cicak di dinding buru-buru melarikan diri demi menyelamatkan telinga mereka dari suara kaleng rombeng Agung.
Seharian, Agung bertahan di kamar demi menyelamatkan bekas ciumannya dari pertanyaan Pakde Wira. Kalau beliau melihat otomatis tisu pelindungnya harus disingkirkan. Dan Agung sungguh tidak rela.
Besoknya di kampus, Agung muncul dengan wajah sumringah. Menebar banyak senyum hampir pada semua orang yang ditemuinya, membuat beberapa teman perempuannya mengernyit heran. Dia yang biasanya seperti kulkas berjalan hari ini tiba-tiba berubah jadi vas bunga yang menebar wanginya ke semua orang. Sedangkan teman-teman prianya berpikir wajah sumringah Agung terkait dengan lukisannya yang laku terjual di aplikasi Cukar milik keluarga Agnes.
"Ada berapa yang lalu, Gung?" tanya salah satu temannya.
"Ah, hanya tiga," jawab Agung masih dengan senyumnya.
"Tiga lumayan Gung, kalau satunya lima juta sudah bisa untuk bayar kosan setahun itu," kekeh yang lain. Agung yang hanya bisa menyeringai atas candaan teman-temannya terkejut ketika mereka mulai ribut meminta traktiran. Agung menelan salivanya seret dan terpaksa mengatakan ya semua permintaan itu.
Pagi yang sibuk untuk Ibu Kantin, mendadak gerombolan kelaparan dari seni rupa murni masuk dan menyuarakan banyak pilihan. Maura yang melihat raut bingung Agung tertawa dan mendekatinya.
"Jadi, kalian memutuskan untuk pacaran?" tembaknya langsung. Mata Agung membola dan menggeleng buru-buru.
"Tidak kok, eh belum," jawabnya kacau. Maura tertawa, ia mengerling Agnes yang baru masuk ke kantin dan bergabung dengan mereka. Menatap heran pada sahabatnya yang menertawakan Agung.
"Ada apa? Tidak biasanya ramai," herannya mengedarkan pandangan ke sekeliling kantin.
"Um, ini calon pacarmu sedang banyak rezeki sepertinya," gurau Maura, Agnes menatap Agung dengan rona merah menjalari pipinya.
"Itu, lukisan yang ada di Cukar kebetulan ada yang membelinya, tiga buah sekaligus," jawab Agung canggung, mengacak sendiri rambutnya di bagian belakang.
"Selamat ya," Agnes duduk di sisinya, rapat. Kalau mengikuti perasaan, Agnes sudah memeluknya. Senyum gadis itu membuat hati Agung mengembang dengan bunga-bunga bermekaran di sana. Dompetnya yang menipis digerogoti gerombolan kelaparan teman-temannya terlupakan begitu bibir Agnes mengukir senyum hanya untuknya.
"Kalau begitu, aku minta ditraktir sendirian boleh ya," ujar Agnes dengan nada manja. Agung mengangguk.
"Siang ini? Kita makan siang ya," menyentuh lengan Agung yang merasa tersengat begitu jari-jari lembut itu merangkul lengannya. Maura yang melihat itu, tersenyum simpul.
"Aku ikut ya," ujarnya dengan wajah usil.
"Kita perginya dengan motormu ya, Gung," ujar Agnes sengaja, otomatis bibir Maura mengerucut lucu.
Agung mengangguk, sedikit tertawa melihat bibir lucu Maura. "Kasihan," bisiknya pada Agnes yang mengikik senang.
"Tidak apa-apa, sesekali dia ditinggal," kekehnya.
"Agung!" beberapa suara memanggilnya dengan kencang, Agung menoleh dan tersenyum sambil melambai pada teman-temannya yang baru datang.
"Selamat ya. Kamu jadi pembuka jalan untuk kita semua di Cukar," salah seorang mendekat dan menepuk bahunya dengan bersahabat.
"Oh, iya. Terima kasih, Roki," jawab Agung, menerima genggaman erat tangan temannya. Beberapa yang lain menyusul Roki dan melakukan hal yang sama.
Agnes tersenyum melihat wajah sumringah Agung, sesekali mata mereka bertemu di tengah-tengah ucapan selamat dari teman-teman Agung. Tatapan yang hanya sebentar-sebentar itu cukup untuk membuat mereka merasa bahagia. Dan Agnes tak lagi melepaskan tangan Agung hingga mereka keluar dari kantin.
"Begini, begitu kalian bersama aku ditinggalkan," sungut Maura, merangsek di antara Agnes dan Agung, memutus genggaman tangan keduanya dengan wajah tak bersalah. Menyeringai pada Agung yang berpaling begitu melihat wajah menggodanya. Agnes menghadiahkannya sebuah sentilan manis di kening untuk kelakuan kurang ajarnya itu.
"Uh, kamu ini adik ipar yang menganiaya kakak ipar, lho," sungutnya mengusap-usap keningnya yang memerah.
"Salah sendiri," Agnes berjalan lebih dulu dengan bersungut-sungut.
*Bersambung*
