Bab 16 Rasamu
Bab 16 Rasamu
Mereka memutuskan pulang karena sudah terlalu larut. Dalam perjalanan pulang, hanya suara Agnes yang terdengar berceloteh. Angga tersenyum melihat adiknya begitu riang dan bahagia. Tapi keningnya berkerut saat melihat Agung yang hanya diam dan seperti membeku. Agnes mematikan lampu di bagian belakang dan mulai menyandarkan tubuh ke punggung kursi.
Sesekali ia melirik Agung dalam keremangan, menatap hidungnya yang runcing dengan mata sangat bahagia. ‘Harusnya aku memberanikan diri dari dulu untuk mengajaknya jalan-jalan’ batin Agnes. Tangan gadis itu ragu-ragu ingin menyentuh jari-jari panjang Agung yang terteletak begitu saja di pangkuan. Jari-jari putih itu selalu menarik perhatiannya.
Tapi ia melirik lagi ke wajah Agung, "Gung. Rambutmu memang sengaja tidak dipotong?" tanyanya pelan.
Agung tersentak, bicara soal rambut ia jadi ingat permintaan Pakde agar Agung segera memotong rambut. Dan juga jam malam beliau. Agung menghempas nafas, ini sudah hampir tengah malam, mungkin beliau sudah menunggunya lagi di kaki tangga seperti kemarin.
"Iya, ingin tahu saja, kalau rambutnya panjang akan terasa panas atau tidak," gumam Agung, Agnes dan Rintan tertawa.
"Kalau tidak panjang rasanya citra sebagai pelukis belum lengkap ya, Gung?" gurau Angga. Tawa meledak lagi dalam mobil mungil itu.
"Ya, kira-kira begitulah Mas. Tapi tidak enak juga terlalu panjang, ya ini sudah maksimal," jawab Agung. Ia menoleh pada Agnes, sedianya ingin bertanya apakah gadis itu tidak menyukai rambut panjangnya. Tapi yang ia temukan justru tatapan penuh pemujaan dari Agnes.
"Seperti ini saja jangan dipotong dulu, ya," ujar Agnes sedikit berbisik
"Kenapa?"
"Aku suka," jawabnya dengan wajah sedikit merona, Agung tersenyum.
Keduanya turun ketika mereka sampai di rumah dan menjauh dari pasangan Angga dan Rintan yang masih bertahan di dalam mobil.
"Pamitannya jangan lama-lama," goda Agnes.
"Hus hus," Angga menggerakkan tangannya bermaksud mengusir adiknya yang menatap mereka dengan wajah usil.
"Mbak, terima kasih ya," Agnes sedikit mengeraskan suaranya, Rintan menurunkan kaca di sisinya dan tersenyum pada Agnes. Ia hanya mengangguk pada Agung yang juga mengangguk kaku padanya.
"Tidak turun dulu?" tawar Angga, Rintan menggeleng.
"Sudah terlalu malam, Papa sudah menelepon," jawabnya. Angga mengangguk, sebelah tangannya mengusap rambut panjang Rintan.
"Hati-hati ya, kabari Mas kalau kamu sudah sampai di rumah," ujar Angga. Rintan mengangguk dan keluar dari mobil bersamaan dengan Angga untuk kemudian duduk di belakang kemudi.
Angga menutup pintu untuknya dan berbicara melalui kaca yang diturunkan. "Selamat malam," ujarnya pada Rintan yang tersenyum menatapnya. Menyinggahkan sebuah kecupan singkat di dahi gadis itu, yang wajahnya seketika merona.
"Pulang ya, Mas," pamit Rintan pada Angga yang melambai menatapnya pergi. Di perjalanan ia mengusap keningnya yang baru saja dikecup Angga. Angga memang baik dan sangat pengertian tapi ia jarang bersikap mesra seperti ini. Seulas senyum super tipis membayang di bibir Rintan. Tidak, yang ada di benaknya saat itu bukan Angga, tapi lirikan Agung di sepanjang makan malam mereka.
Entah bagaimana ia mulai memberi tempat pada pemuda itu di bagian terkecil memorinya. Sedikit tapi ia seperti kutil, kecil dan mengganggu.
**
Di rumah Angga
Pemuda itu menoleh pada Agung dan adiknya yang masih berbincang di halaman. Seperti tidak ada puasnya, pikir Angga. Tersenyum melihat tingkah adiknya yang malu-malu tapi menggoda.
"Jangan terlalu malam Nes!" teriak Angga, Agnes dan Agung menoleh.
"Iya Mas!" balas Agnes, tapi bibirnya maju beberapa senti menatap kakaknya yang berjalan masuk ke rumah.
Teriakan Angga yang mengingatkan mereka membuat Agung merasa malu dan tidak enak. "Aku pulang ya, sudah terlalu malam," ujarnya. Membuat Agnes makin mengerucutkan bibir.
"Mas Angga cuma bercanda," sungutnya.
"Tapi memang sudah malam," ujar Agung, ia ingat jam malamnya.
"Ya sudah, tapi besok telepon ya," pinta Agnes manja. Mau tidak mau Agung tersenyum dan mengangguk.
"Agung, terima kasih ya untuk malam ini," ujar Agnes kemudian. "Aku senang kita bisa pergi bersama," sambungnya.
"Sama-sama Nes," ujar Agung.
Mereka berjalan menuju motor Agung yang diparkir manis di pojok halaman.
"Masuklah, ini sudah malam," Agung mengingatkan Agnes tapi gadis itu menatapnya dengan senyum dan ia menggeleng atas saran Agung.
"Aku masuk setelah kamu pergi," jawabnya, senyum malu-malunya membuat Agung heran. Agnes menarik-narik tali tas selempangnya, seperti gelisah.
"Ada yang ingin kamu katakan?" tanya Agung, Agnes menggeleng. Ia hanya menatap Agung dengan sedikit menggoyang-goyangkan bahunya. Agung memandangnya dengan menahan tawa.
"Ada apa?" tanyanya heran, lagi-lagi Agnes hanya tersenyum. Agung menghidupkan motor tuanya dan mengambil helm. Sebelum si helm nangkring indah di kepala Agung, Agnes dengan malu-malu mendekat dan mengecup pipi Agung sekilas. Pemuda itu tentu saja terkejut, ia memandang Agnes yang tersenyum super manis.
Jantung Agung memacu lebih cepat karena kecupan singkat itu. Apalagi saat melihat pipi Agnes yang perlahan-lahan semakin merona. Mata mereka bertemu, Agnes terlihat sedikit malu tapi senang. Ekspresinya membuat Agung tertawa kecil, mengusap pipinya sebentar dan memasang helmnya.
"Aku pulang ya," pamit Agung, Agnes mengangguk dan membekalinya senyum sebelum motor butut itu melaju pelan keluar dari halaman. Agnes masih melambai bahkan ketika motor Agung tidak lagi terlihat dan gerbang rumahnya sudah ditutup oleh penjaga.
Agnes masuk ke dalam rumah dengan riang, bersenandung kecil menuju kamarnya. Ibunya yang memegang gelas menuju kamar menatapnya heran.
"Baru pulang, Sayang?" tanyanya, Agnes menoleh dan tersenyum sumringah.
"Iya, Ma."
"Sepertinya sedang bahagia," goda Mama, Agnes tertawa kecil dan masuk ke kamar.
"Bahagia Mama, sangat. Agnes masuk ya Ma," ia berkata di ambang pintu dan kemudian menghilang ke kamar.
Membersihkan diri sebelum kemudian menghempaskan tubuhnya ke kasur. Memeluk guling dengan bahagia bahkan memberi kecupan pada boneka beruang super besar di sisi tempat tidurnya. "Aku senaaang!" teriaknya pada si boneka.
Kemudian bergegas mengambil ponselnya dan menghubungi Maura. "Ada apa Agnes?" tanyanya dengan suara mengantuk di seberang sana.
"Aku senang Mauraa," ia menjerit kecil dengan suara sangat gembira.
"Hmm, ya aku tahu kamu senang. Tapi ini sudah malam," keluh Maura.
"Mauraa…," mata Maura terbuka lebar mendengar nada sedih Agnes.
"Katanya senang, kenapa suaranya jadi sedih begitu?" tanya Maura. Mau tidak mau ia harus menyediakan telinga untuk sahabatnya yang tengah bahagia itu.
"Jadi?"
"Aku baru pulang, jalan-jalan bersama Agung," suara riang Agnes kembali terdengar. Maura menghempas nafas.
"Akhirnya…," sambut Maura dengan suara riang yang sama. "Kalian kemana saja?"
"Makan malam di House of Reminten," jawab Agnes. "Agung datangnya sudah terlalu malam, karena membantu mobil temannya yang mogok. Jadinya tidak bisa kemana-mana selain makan dan main sebentar di alun-alun."
Maura tertawa,"Memang ya, untuk yang lagi jatuh cinta begitu saja sudah senangnya setengah mati," godanya.
"Hehe," pipinya memerah ketika ingat bibirnya menjejak pipi Agung.
"Ya sudah, besok aku datang. Cerita semuanya ya," ujar Maura kemudian, terdengar setengah menguap.
"Ya, jangan tidak datang," pinta Agnes. Gadis itu meletakkan ponselnya dan kembali memeluk guling. Bayang-bayang Agung membuat kantuk tidak singgah padanya malam ini. Senyumnya membuat bibir Agnes tidak bisa berhenti tersenyum.
Agnes mengangkat tangannya, memandang lama telapak tangan kanan. Rasa hangat kulit Agung masih terasa di sana, perlahan Agnes membawa telapak tangannya ke bibir dan mengecup tangannya sendiri. ‘Wangi Agung masih tersisa di sini,’ batinnya dan sekali lagi menciumi telapak tangannya.
Memegang bibirnya sendiri, Agnes merasa pipinya panas. Entah keberanian dari mana, ia mencium Agung. Tapi melihat reaksi Agung yang justru tersenyum Agnes tahu bahwa ia tidak ditolak. Rasa dingin pipi Agung yang diterpa udara malam masih membekas di bibirnya.
Apa yang dipikirkan Agung tentang ciuman itu? Semoga dia mengerti kalau aku sangat menyukainya, harap Agnes. Ia menatap bonekanya, sekali lagi berbicara pada benda yang paling setia itu. "Menurutmu dia tidak marahkan? Dia suka aku kan?" Dengan ujung jarinya, gadis itu menjawil-jawil hidung beruangnya.
Hingga menjelang subuh, Agnes hanya berguling bolak balik kiri kanan dengan bibir tak henti tersenyum. Bayang-bayang Agung yang berjalan di sisinya dan membiarkan Agnes sesekali memengang lengannya yang kokoh tak mau pergi, menempel seperti lintah dalam memorinya.
*Bersambung*
